Saturday, November 24, 2007

Abu Hayyan at-Tauhidi; Tokoh Kontroversial Islam Klasik (Seri 4)

Manusia adalah mahluk sosial yang tidak pernah lepas dari ketergantungan antara satu sama lainnya. Sikap ketergantungan tersebut menuntut manusia untuk membuat atau menciptakan sebuah komunitas. Komunitas tercipta berdasarkan kepentingan bersama dalam mencampai tujuan yang menjadi nota kesepakatan bersama. Dalam lingkup komunitas, masing-masing individu harus memiliki pola pikir take and give. Sebagai sebuah komunitas, manusia memerlukan adanya norma-norma yang akan mengatur pola kehidupan mereka secara umum. Norma itulah yang pada akhirnya akan membentuk tatanan komunitas tersebut.

Islam sebagai agama yang menjunjung moralitas, menempatkan fungsinya sebagai norma agama yang memiliki batasan-batasan yang jelas dalam menjawab kebutuhan umat. Islam turun sebagai agama yang menempatkan kepentingan dunia dan akhirat. Ajaran-ajaran Islam tumbuh berkembang seiring dengan kemajuan dan kebutuhan jaman. Sebagai sebuah peradapan, umat Islam telah melahirkan tokoh-tokoh ternama yang membawa pembaharuan pada jamannya bahkan menjadi resensi dalam menentapkan hukum-hukum yang berkembang pada masa kontemporer ini. Ibnu Rusyd dengan disiplin ilmu
filsafatnya telah memberikan penyegaran pada umat Islam dalam dinamika rasionalitas. Ibnu Sina dengan teori kedokterannya telah menjadi inspirator dalam kemajuan ilmu kedokteran di Barat dan Timur, dan sebagainya.

Abad ke-3H/9 M sampai abad ke-4 H/10 M merupakan masa keemasan bagi perkembangan sejarah umat Islam. Kekuasaan yang dipegang oleh Dinasti Buhawwiyah tercatat sebagai penguasa yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Pada masa tersebut, lahirlah para ilmuwan-ilmuwan kenamaan yang mampu mewarnai perkembangan umat Islam. Kegemilangan ditandai oleh munculnya para filosof kesusastraan atau sastrawan yang berfilsafat yang selalu intens menyuarakan humanistik, seperti Miskaweh dan al-Tauhidi.

Pada sisi lain, sejarah perkembangan umat Islam ternodai oleh beragam bentuk kekerasan, kekerasan yang dilandasi berbagai kepentingan untuk mencapai tujuan. Sejarah kekerasan yang terjadi dalam tubuh umat Islam masih membekas sampai saat ini, Islam dicap sebagai teroris yang harus dimusnahkan, bahkan Huntington dalam tesisnya mengatakan bahwa musuh terbesar Amerika setelah Rusia adalah umat Islam. Peristiwa Irak, Afganistan dan berbagai macam peristiwa kekerasan dinisbahkan kepada umat Islam. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak lepas dari pola pemahaman umat Islam sendiri terhadap ajaran-ajaran agama terutama berkaitan dengan makna jihad.

Kemudian timbul sebuah pertanyaan, apakah memang Islam dengan perintah jihadnya membuka atau memberi ruang kepada pengikutnya untuk melakukan kekerasan? Saya yakin kalau kita mengerti dan betul-betul paham dengan ajaran Islam akan dengan tegas menjawab Tidak!. Sejarah mencatat bahwa peristiwa peperangan yang terjadi antara umat Islam dengan penganut agama lainnya masih memiliki etika dan moral perang. Tidak ada satupun penulis sejarah yang mencatat bahwa jihad atau peperangan yang melibatkan umat Islam melampaui batas kemanusiaan, lain halnya dengan para penjajah atau peperangan yang dilakukan oleh bangsa Eropa, dimana kekerasan, pemerkosaan dan perlakuan yang tidak berprikemanusiaan menodai masa-masa peperangan.

Suara-suara umat Islam tentang keseimbangan dan hak asasi manusia mulai ditenggelamkan oleh mereka yang menganjurkan kekerasan dan kebencian. Benturan ideologi menyebabkan pertumbuhan umat Islam selalau berada dalam bingkai ketertinggalan. Situasi tersebut mampu menggugah para pemikir Islam untuk berusaha dengan berbagai cara menunjukkan ke permukaan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi toleransi dan hak asasi manusia.

Problema yang dihadapi agama Islam adalah discrepancy (kesenjangan) antara idealitas ajaran agama di satu pihak dan realita sosial maupun kebutuhan umat Islam di pihak lain. Telah menjadi kesepakan bahwa modernitas telah menyebabkan kebutuhan manusia akan pemahaman dan penafsiran secara rasional terhadap segala sesuatu semakin meningkat. Dalam terma ini, tuntutan untuk “mengobjektifkan” ajaran agama menjadi semakin meningkat deras. Pada kasus ini, upaya untuk merumuskan relevansi antara apa yang esensial dari agama dan apa yang menjadi buah dari dinamika pemikiran umatnya merupakan keharusan dan sekaligus menjadi tantangan.

Problematika dan kebutahan yang semakin komplit, menuntut manusia untuk selalu melakukan tindakan-tindakan progresif dalam memenuhi hajat hidup. Peristiwa itu pula lah yang menyebabkan pemahaman terhadap Islam menjadi terpecah dan berkembang dalam bentuk disiplin ilmu pengetahuan, diantaranya; ilmu filsafat, teologi, tasawuf, politik, ekonomi dan sebagainya. Pengaruh kebutuhan dan keadaan sosio masyarakat menjadi faktor utama dalam pertumbuhan dan perkembangan pemahaman keislaman.

Pada masa kontemporer ini, kita seringkali dihadapkan pada realita-realita sosial yang mengajak kita untuk kembali memahami Islam sebagai ajaran-ajaran yang turun dari langit dengan aturan-aturan yang membumi. Pemahaman yang bersifat progresif itulah yang mengajak kita untuk kembali menggali pemikiran para pemikir Islam klasik sebagai jawaban bahwa Islam telah lama menjunjung tinggi keseimbangan dan toleransi.

Salah satu usaha konkrit untuk kembali menggali pemikiran para tokoh klasik Islam, adalah dengan mengadakan kajian para tokoh dengan ditekankan pada metodologi yang dipakai untuk melontarkan ide pemikirannya. Di sinilah penulis menganggap perlunya kembali mengangkat ketokohan Abu Hayyan al-Tauhidi yang terkenal sebagai seorang filosof yang beraliran humanistik dengan pola kajian yang lebih ditekankan pada filsafat humanistik-nya setelah sebelumnya penulis ketengahkan tentang biografi ketokohan Abu Hayyan al-Tauhidi. Penulis juga akan berusaha memaparkan beberapa pemikiran Abu Hayyan al-Tauhidi berkenaan dengan makna agama, kedudukan akal dan syariah agama,

Metodologi Filsafat Sastra Abu Hayyan al-Tauhidi

Secara etimologi sastra (adab)memiliki perkembangan dan perluasan makna dari masa ke masa. Pada masa Jahaliah, kata adab memiliki makna mengundang orang untuk jamuan makan. Setelah Islam datang, kata adab memiliki perluasan makna, yaitu pelatian jiwa dan pembekalan dengan ilmu sehingga mencapai pada tingkat akhlak yang mulia. Pada masa Dinasti Umawiyah, kata adab memiliki kandungan makna yang mengarah pada persoalan kebudayaan, syair, cerita atau dongeng dan lain sebainya selain ilmu agama. Pada akhir Dinasti Umawiyyah dan di awal Dinasti Abbasiyah, kata adab memliki makna yang lebih menyempit dengan hanya mengarah pada persoalan yang berkaitan secara langsung dengan lingustik seperti; syair, nahwu, sharaf, balaghah dan sebaginya.

Sebuah pemikiran tentunya tidak lahir dari ruang hampa, ia muncul sebagai respon atau tanggapan dari situasai yang terjadi. Sehingga bisa dikatakan bahwa pemikiran menyandarkan diri kepada situasi aktual zamannya. Untuk memahami sebuah pemikiran yang diusung oleh seorang pemikir, tentu tidak cukup bagi kita untuk sekedar mempelajari sosio historis yang terjadi, akan tetapi aktivitas dan perkembangan keintelektualan seorang tokoh harus kita pertimbangkan pula.

Sejarah mencatat bahwa filsafat Yunani memiliki sumbangsih yang cukup besar terhadap perkembangan filsafat Islam. Masa khalifah Al-Makmun merupakan starting point dalam perkembangan ilmu filsafat Islam. Kegemaran Al-Makmun terhadap berbagai ilmu pengetahuan dibuktikan dengan maraknya pernerjemahan ilmu-ilmu filsafat dari bahasa Yunani ke bahasa Arab.

Gerakan penerjemahan terhadap teks-teks Yunani ke bahasa Arab, mempermudah para pemikir Islam dalam memahami pola pikir Arestatoles, Plato, Plotinus dan Stoics. Sosok Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd adalah para filosof yang memiliki peran penting dalam memberikan pemahaman kepada umat Islam dalam menggapai kegemilangan dibidang ilmu pengetahuan.

Perkembangan ilmu pengatahuan di tubuh umat Islam dihiasai oleh berbagai pergolakan para filosof dan kaum teolog yang pada akhirnya berdampak pada perkembangan dan pola pikir para intelektual Islam dikemudian hari. Al-juwayni seorang guru dari Al-Ghazali memberikan ultimatum akan ancaman para filosof terhadap kaum teolog. Sehingga Al-Ghazali dengan maqâsid al-falâsifah berusaha mengkritisi filsafat Ibnu Sina yang bagi Al-Ghazali telah keluar dari ajaran-ajaran Islam karena menolak akan adanya hari pembalasan dan berbagai hal yang menurut Al-Ghazali mengarah pada perbuatan bid’ah atau mengada-ngada. Sementara konter balik dilakukan oleh Ibnu Rusyd sebagai seorang filosof yang beraliran Arestatolis terhadap buku tahâfut al-falâsifah karya Al-Ghazali dengan menerbitkan sebuah buku berjudul tahâfut al-tahâfut. Pertentangan kedua kubuh intelektual itulah yang pada akhirnya akan berdampak pada pola pikir Abu Hayyan al-Tahuhidi.

Pada masa dinasti Buhawiyah, para pengusa lebih memanjakan para filosof sastra atau para sastrawan filosof yang beraliran Humanistik. Bagi kaum intelektual yang bergolak dalam dunia filsafat dan sastra, sosok Abu Hayyan al-Tauhidi sudah sangat dikenal, terutama bagi kalangan peminat kajian humanistik, katakanlah seperti Muhamammad Arkoun. Sosok Abu Hayyan al-Tauhidi terkenal sebagai salah satu pemikir Islam Arab yang memiliki kemampuan luar biasa dalam merangkai kata dan dalam penyampaian kata-kata indah. Ketenaran Abu Hayyan al-Tauhidi mulai nampak ketika ia telah mampu mengkolaborasikan antara filsafat dan sastra dan menjadikan kesusastraannya sebagai titik tolak dalam dunia filsafat yang menggabungkan antara pemikiran kaum filosof dan kaum teolog. Abu Hayyan al-Tauhidi merupakan filosof yang mampu menerangkan makna filsafat seni dengan indah pada abad ke-4 H

Dalam konteks dunia filsafat, Abu Hayyan al-Tauhidi tergolong pada barisan filosof sastra dan filosof yang beraliran sufi. Dalam teori filsafat sastranya, ia memiliki metodologi yang tidak jauh berbeda dengan para filosof Yunani. Hal ini nampak pada metode yang dilakukan oleh Abu Hayyan al-Tauhidi dalam memaparkan tentang “al-tahakum wa al-sakhriah (sindiran)” dalam bukunya matsâlib al-wazîrîn. Sebuah metode lama yang telah diketahui secara umum oleh orang-orang Yunani dari tangan Sokrates. Pengaruh metode tersebut juga diperkuat oleh Al-Jâhidz dalam bukunya al-bukhalâu. Al-tahakum adalah suatu ungkapan yang sekilas nampak serius namun pada dasarnya bersifat gurawan. Metode al-tahakum yang digunakan oleh Sokrates adalah dengan mengungkapkan sebuah pertanyaan tentang sesuatu dan menampakkan kebodohan pada sesuatu itu, sehingga orang yang ditanya menganggap si penanya sebagai orang yang bodoh. Kemudian setelah mendapatkan jawaban, si penanya kembali melontarkan pertanyaan yang bisa menimbulkan kebingungan dalam diri orang yang ditanya terhadap jawaban yang pernah ia berikan. Sementara bagi kaum muhadditsin mengartikan al-tahakum sebagai metode balagha dengan menyampaikan sesuatu yang berlainan dengan apa yang dikehendaki atau dengan mengungkapkan kebalikan dari apa yang diinginkan. Hegal dalam bukunya History of Philosophy mengungkapkan, bahwa Sokrates senantiasa mengutarakan pertanyaan-pertanyaan kepada para pendengarnya jika ia menginginkan agar mereka mengajarinya. Selain metode al-tahakum, Abu Hayyan al-Tauhidi juga menggunakan metode al-jadal (debat) dalam mencari sebuah kebenaran sebagaimana dilakukan oleh para filosof Yunani dan filosof saat ini. Sebagian berpendapat bahwa metode al-jadal dan pembahasan secara ilmiah yang dilakukan Abu Hayyan al-Tauhidi berpijak pada metodelogi yang digunakan kaum Mu’tazilah. Namun pada pola penempatan fungsi akal dan metodologi pemahaman tentanng takdir, Abu Hayyan al-Tauhidi berseberangan dengan Mu’tazilah.




Read more!

Abu Hayyan at-Tauhidi; Tokoh Kontroversial Islam Klasik (Seri 3)

Karya-Karya Monumental Tokoh

Abu Hayyan al-Tauhidi terkenal sebagai tokoh yang memiliki keuletan dalam mencatat berbagai peristiwa yang ia saksikan. Diakhir hayatnya, ia membakar beberapa karyanya. Peristiwa itu ia abadikan dalam sebuah risalah (surat) yang ia kirim kepada hakim Sahal Ali ibn Muhammad pada tahun 400 H. Surat itu sekaligus dijadikan pedoman untuk menentukan waktu kelahiran Abu Hayyan al-Tauhidi. Sementara kitab-kitab yang masih ada pada saat ini menurut al-Suyuthi merupakan hasil karya yang sempat diselamatkan dari peristiwa pembakaran itu.

Secara garis besar, kita bisa membedakan hasil karya Abu Hayyan al-Tauhidi menjadi dua kategori. Pertama, karya tulis yang berbentuk risalah-risalah (surat-surat) yang ia kirimkan kepada beberapa sahabat dan para penguasa. Kedua, karya tulis dalam bentuk buku. Di antara karya tulis tersebut adalah;
1. Ikhbar al-Qudama' wa al-Dzakhair al-Hukkami
2. Akhlaq al-Waziraini
3. Al-Isyarat al-Ilahiyah
4. Al-Imta' wa al-Mu'nisah
5. Anis al-Muhadharah
6. Aushaw al-Majalis
7. Al-Bashair wa al-Dzakhair
8. Al-Tadzkirah al-Tauhidiyah
9. Tarwih al-Arwah
10. Tashawwuf al-Hukkam wa Zuhd al-Falasifah
11. Al-Hajj al-Aqli idza Dhaqah al-Fadha an al-Hajj al-Syar'i
12. Dzam al-Waziraini
13. Al-Raudh al-Khashib
14. Riyadh al-A'rifin
15. Al-Zulfah
16. Al-Shadaq wa al-Siddiq
17. 'Ajaib al-Gharaib
18. Kitab al-Hujjij
19. Kitab al-Radd 'ala ibn Jani fi Syi'ri al-Mutanabbi
20. Kitab al-Nawadir
21. Matsalib al-Waziraini
22. Al-Muhadharah wa al-Munazharah
23. Al-Risalah al-Baghdadiah
24. Risalah al-Hayah
25. Al-Risalah al-Sufiah
26. Risalah ila Qadhi ibn Sahal
27. Risalah an ibn al-Fadhal ibn al-"Amid
28. Risalah fi Akhbar al-Sufiah
29. Risalah fi al-Imamah
30. Risalah fi Tahqiqi anna ma yashdar bi al-Qudrah wa al-Ikhtiar la bi al-Karaha wa al-Idhthirar
31. Risalah fi Taqrizh al-Jahizh
32. Risalah fi al-Hinih ila al-Awthar
33. Risalah fi shalat al-Fuqaha fi al-Manazharah
34. Risalah fi al-Thabi'i wa al-Ilahiyah
35. Risalah fi Al-'Ulum
36. Risalah fi al-Kalam 'ala al-Kalam
37. Risalah fi li Abi Bakr al-Thalaqani
38. Risalah fi nawadir al-Fuqaha
39. Risalah fi Riwayah al-Saqifah.

Abu Hayyan al-Tauhidi Dalam Perspektif Para Tokoh

Sejaka awal, keberadaan Abu Hayyan al-Tauhidi selalu menimbulkan kontraveksi di antara para sejarawan, dari waktu, tempat kelahiran sampai pada nasabnya. Pada bagian ini, penulis akan berusaha membahas tentang ke-kontroversial-an Abu Hayyan al-Tauhidi dari segi pengafiran, kefilsafatan, kesufian dan pembakaran karya-karya tulisnya.

Pengafiran merupakan sebuah fenomen yang sangat naif ketika harus terjadi pada sebuah komunitas. Karena pengklaiman hanya akan menghasilkan ketimpangan dalam sosial kehidupan bermasyarakat. Timbul sebuah pertanyaan, apakah benar Abu Hayyan al-Tauhidi adalah seorang yang kafir? Untuk menjawab itu, penulis akan berusaha mengetehangkan beberapa pendapat para tokoh, kemudian penulis akan berusaha memberikan pandangan penulis sendiri tentunya setelah mengkaji beberapa pendapat yang ada.

Di antara para tokoh yang mengafirkan Abu Hayyan al-Tauhidi adalah Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya Muhammad ibn Habibi Al-Razi, Ibn Jauzi, al-Subaki, al-Dzahbi.

Para tokoh yang menentang pengafiran Abu Hayyan al-Tauhidi antara lain; Ibn Najjar, Muhib al-Din, Abu Abdullah, Yaqut al-Humawi . Sementara Ibn Hajar hanya berusaha mengambil dari beberapa pendapat yang mengafirkan Abu Hayyan al-Tauhidi dan pendapat yang menentangnya. Selain Ibn Hajar, Marjulius dan Abdul al-Rahman Badawi masih meragukan kekafiran Abu Hayyan al-Tauhidi. Pengafiran itu terjadi karena adanya perbedaan dalam memandang Abu Hayyan al-Tauhidi dan ditambah dengan hilangnya buku berjudul Al-Hajj al-Aqli idza Dhaqah al-Fadha an al-Hajj al-Syar'i yang menjadi sumber polemik.

Dalam pembukaan buku Al-Imta' wa al-Mu'anasah, Abu Hayyan al-Tauhidi mengatakan, orang yang akan selamat dari urusan dunia adalah mereka yang arif, dan orang yang akan sampai pada kebaikan akhirat adalah mereka yang zuhud, dan orang yang akan merasakan lezatnya nikmat akhirat adalah orang yang memutus ketergantungannya kepada orang lain. Dalam memaknai agama, Abu Hayyan al-Tauhidi berpendapat bahwa agama tidak hanya watak atau karakter dan bukan hanya beriman kepada Pencipta, akan tetapi, agama juga merupakan syari'ah yang menuntun untuk mengatur politik dan sosial masyarakat.

Setelah melihat dan membaca beberapa pendapat dan ucapan yang sering kali dilontarkan oleh Abu Hayyan al-Tauhidi, penulis berpendapat bahwa pengafiran terhadap Abu Hayyan al-Tauhidi kurang atau bahkan tidak didukung oleh bukti-bukti yang ada? Abu Hayyan al-Tauhidi adalah tokoh Islam klasik yang dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, ia sering kali berpindah-pindah tempat sebagai upaya mencari nafkah. Peritiwa itu menimbulkan polemik bagi para sejarawan, apakah Abu Hayyan al-Tauhidi seorang sufi sejati yang meninggalkan kecintaannya kepada dunia atau ia lari dari kenyataan karena usaha yang digeluti tidak pernah mencukupi kebutuhan hidupnya?

Salah satu tokoh yang menyebut Abu Hayyan al-Tauhidi seorang sufi adalah Yaqut al-Humawi. Kemudian Abu al-Wafa' al-Buzajani menganggap keadaan Abu Hayyan al-Tauhidi yang sangat menyedihkan karena akibat dari kerendahan hatinya dan pergaulannya bersama orang-orang miskin, orang-orang asing dan para pengemis.

Sementara dalam kitab Al-Imta' wa al-Mu'nisah, Abu Hayyan al-Tauhidi mengatakan bahwa ia masih dalam keadaan miskin dan keputusasaan, kemudian ia meminta kepada Abu al-Wafa' al-Muhandas untuk melepaskannya dari meminta-minta, membelinya dengan kebajikan, memperlakukannya dengan rasa syukur, mempergunakan lisannya untuk selalu bersyukur, memaksanya karena ia telah kehilangan semangat, mencelahnya karena ia telah lalai. Ulama salaf al-Shaleh berpendapat bahwa orang yang baik di antara kita bukanlah yang meninggalkan dunia karena akhirat, bukan pula karena meninggalkan akhirat karena dunia, akan tetapi orang yang terbaik di antara kita adalah mereka yang mampu mengambil dari keduanya. Hal tersebut yang menyebabkan polemik apakah Abu Hayyan al-Tauhidi adalah seorang sufi atau bukan. Sementara dalam sumber yang berbeda dinyatakan, Abu Hayyan al-Tauhidi mengungkapkan keputusasaannya terhadap kehidupan, setelah mencapai tingkat kemasyhuran, ia terpaksa memakan rumput di Stepa, mengemis, serta menjual agama dan harga diri (muru'ah), serta menangisi penyakit dan kemiskinan.

Untuk memastikan apakah Abu Hayyan al-Tauhidi adalah seorang sufi atau hanya lari dari kenyataan, masih diperlukan sebuah kajian yang lebih intanst terutama dalam memaknai kata sufi.

Peristiwa besar yang tidak bisa kita lewatkan dari masa kehidupan Abu Hayyan al-Tauhidi adalah pembakaran hasil karyanya. Dalam sebuah sumber, Abu Hayyan al-Tauhidi menyatakan kebulatan tekatnya untuk melakukan tindakan tersebut, muncul dari sebuah mimpi dan ia semata-mata mengikuti imam-imam pendahulunya seperti, Abu 'Amr ibn al-'Ala' seorang ulam besar, saleh dan asketis yang menimbun buku-bukunya di dalam tanah. Daud al-Tha'i yang terkenal dengan sebutan Taj al-Ummah yang melemparkan buku-bukunya ke laut, Abu Sulaiman al-Darani yang membakar buku-bukunya di dalam tungku, Yusuf ibn Asbath yang meletakkan buku-bukunya di dalam gua, Sufyan al-Tsauri yang melemparkan karya-karyanya ke udara dan Abu Sa'id al-Sirafi yang meninggalkan buku-bukunya untuk anaknya dengan sebuah pesan, jika buku-buku itu menyelewengkannya dari kebaikan, maka semua buku itu harus dihanguskan.




Read more!

Abu Hayyan at-Tauhidi; Tokoh Kontroversial Islam Klasik (Seri 2)

Kondisi Sosio Masyarakat Pada Masa Abu Hayyan al-Tauhidi
Abu Hayyan al-Tauhidi adalah salah satu tokoh Islam klasik yang terlahir pada masa Dinasti Buwaihiyyah. Dinasti ini muncul di Irak dan Iran Barat yang diawali dengan peritiwa perpecahan ditubuh dinasti Abbasiyah. Sebelum Dinasti Buwaihiyyah memasuki Irak, umat Islam terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.

Meskipun terjadi berbagai perpecahan, gagasan tentang mamlakah al-Islam (kerajaan Islam) tetap terbentang luas sepanjang India dan Atlantik. Dinasti Abbasiyyah yang mengalami kemandulan dalam bidang politik, masih menjadi simbol kesatuan kerajaan dengan otoritas kekuasaan dipegang oleh masing-masing wilayah.

Dinasti Buwaihiyyah didirikan oleh tiga bersaudara dari putra-putra Buwaih (Buya) yaitu; Ali, Hasan dan Ahmad yang kemudian mendapat gelar dari Khalifah al-Mustakfi sebagai Imad al-Daulah (Fondasi Negara), Rukn al-Daulah (Penyanggah Negara) dan Mu'izz al-Daulah (Penegak Negara).

Dinasti Buwaihiyyah, pada awal kemunculannya mampu menguasai seluruh Fars, Rayy, Ishfahan dan Jibal. Pengikut Bawaihiyyah adalah orang-orang suku Dailami yang berasal dari kabilah Syirdil Awandan, dari dataran tinggi Jilan sebelah selatan Laut Kaspian. Suku ini terdiri dari orang-orang kuat yang terkenal
dengan kekerasannya karena pengaruh dari kebebasan yang tinggi. Mereka mampu mempertahankan dirinya dengan baik di benteng pertahanan yang sekaligus digunakan sebagai sarana latihan. Benteng itu terletak di lereng gunung dengan nama Elburz yang secara efektif membentengi mereka dari arah Selatan.

Tempat perlindungan suku Dailami pernah dimasuki secara damai oleh golongan Aliyyah yang mengungsi akibat penindasan yang dilakukan oleh Bani Abbasiyyah pada tahun 175 H/791 M. Pada masa tersebut, Syi'ah muncul sebagai golongan terkuat dengan dimotori oleh Hasan ibn Zaid yang dijuluki sebagai al-Da'i al-kabir, kemudian Hasan ibn Zaid digantikan oleh saudaranya Abu Abdullah Muhammad ibn Zaid. Kurang lebih selama kurun waktu tiga belas tahun Syi'ah berkembang dengan pesat. Namun setelah Dinasti Samaniyyah mampu mengacaukan pemerintahan Aliyyah dengan menerapkan kekuasaan Islam Sunni, maka al-Hasan ibn Ali yang lebih dikenal dengan al-Nashir al-Uthrusy (w. 314 H/917 M), memperbaharui pemerintahan Aliyyah dengan menyebarkan keyakinan Zaidiyyah di kalangan suku Dailami dan Jili dengan mengubah pola-pola organisasi sosial politik, serta merubah status wilayah dari dar al-harb (wilayah perang untuk non-Muslim) menjadi dar al-islam (wilayah damai).

Pada masa Dinasti Buwaihiyyah, kekerasan antara kaum Sunni dan Syi'ah sering terjadi. Hal tersebut dipicu oleh adanya keinginan dalam memperebutkan kekuasaan dan perbedaan ideologi yang mendasar. Al-Hallaj, seorang sufi terkemuka yang mengajarkan doktrin peleburan Tuhan dan penafsiran spiritual terhadap kewajiban-kewajiaban keagamaan, termasuk pelaksanaan ibadah haji dihukum gantung di Bab al-Thaq pada tahun 922 M.

Namun ada sisi menarik yang bisa kita banggakan dalam pola dan tatanan kehidupan masyrakat pada masa Dinasti ini. Para pangeran dan wazir Dinasti ini menjadi contoh dalam memberikan dukungan terhadap berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Pada masa tersebut, Baghdad sebagai tempat berkembangnya Dinasti tersebut mengalami kemajuan yang sangat pesat. Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan. Para penguasa saling berlomba-lomba dalam mengimpulkan para sastrawan untuk menyampaikan syair-syair indahnya di istana. Sehingga bukan sebuah keanehan jika sarjana dan penyair sering kali melakukan pengembaraan dari satu istana menuju istana yang lain.

Para penguasa mengumpulkan para kerabatnya dalam sebuah majlis atau pertemuan untuk mempelajari disiplin ilmu pengetahuan seperti; ilmu kalam, hadits, fikih, kesusastraan dan lain sebagainya dengan dipandu oleh para guru yang diundang secara khusus ke dalam istana. Selain di istana, pertemuan dalam membahas ilmu pengetahuan juga diselenggarakan di masjid-masjid, rumah-rumah pribadi, kedai-kedai, alun-alun bahkan di taman-taman kota.

Abu Hayyan al-Tauhidi terkadang merujuk pada areal beberapa toko buku di Bab al-Thaq al-Harrani yang sering kali dijadikan tempat dilangsungkannya diskusi-diskusi
kesarjanaan.

Disiplin Ilmu Yang Digeluti Dan Perjalanan Kariernya

Abu Hayyan al-Tauhidi tumbuh berkembang pada masa-masa perkembangan Islam, masa itu dikenal dengan sebutan renaisans (masa kebangkitan) Islam. Masa ini, secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan Abu Hayyan al-Tauhidi. Sebagaimana ulama tempo dulu, Abu Hayyan al-Tauhidi menempuh pendidikannya dengan berpindah-pindah antar satu ulama ke-ulama lain. Di antara guru-gurunya adalah Qadhi Abu Hamid al-Marurudzi dalam bidang ilmu fikih, Abu Bakri Muhammad ibn Ali al-Qaffal al-Syasyi, Abu Sa'id al-Hasan ibn Abdullah al-Sairafi dan Ja'far al-Khuldi dalam bidang ilmu hadits, Abu Sulaiman Muhammad ibn Thahir ibn al-Manthiqi al-Sujastani, Abu Qasim Abdullah ibn al-Hasan, Ali ibn Isa al-Rumani dalam disiplin ilmu filsafat.

Selain disiplin ilmu di atas, Abu Hayyan al-Tauhidi juga mempelajari beberapa bidang ilmu di antaranya, ilmu etika, keterampilan, sastra, mantiq, sosial, ketuhanan dan teologi dalam kaca mata Mu'tazilah. Menurut Yaqut, Abu Hayyan al-Tauhidi merupakan ulama yang mendalami berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Seperti, syair, bahasa, sastra, fikih dan ilmu kalam dalam perspektif Mu'tazilah.

Selain mempelajari disiplin ilmu yang berada di Baghdad, Abu Hayyan al-Tauhidi berkelana dalam mencari ilmu sampai pada negeri Bashrah dengan berbaur dengan para ulama setempat. Setelah ia mendengar hadis yang disampaikan oleh al-Marwarrudzi berkenaan dengan penuntut ilmu (thalib al-ilm) yang mengembara di atas sayap-sayap malaikat, Abu Hayyan al-Tauhidi menyampaikannya kembali kepada sekumpulan kaum sufi dan orang-orang asing.

Abu Hayyan al-Tauhidi merupakan seorang penulis profesional, sekretaris dan anggota istana. Profesi yang digeluti memacunya untuk selalu mengabadikan berbagai kejadian dan disiplin ilmu sehingga ia sering kali dijuluki sebagai tokoh ensiklopedial yang minim dengan ilmu seni, selain itu, Abu Hayyan al-Tauhidi menjadi tokoh informer utama dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Keuletan dan keistiqamaannya sering kali membuat para wazir bertanya-tanya.

Kebutuhan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, mengharuskan Abu Hayyan al-Tauhidi berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari mata pencaharian. Berdasarkan sebuah laporan, Menteri al-Muhallabi mengasingkan Abu Hayyan al-Tauhidi dari Baghdad karena ide-ide bid'ah yang dicetus oleh al-Hallaj. Kemudian Abu Hayyan al-Tauhidi, berkunjung ke Arrajan sebuah tempat dimana ia mengadakan intraksi dengan Abu al-Wafa' al-Buzajani dan dengan hakim Ibn Syahawaih. Dan menuju ke Rayy dan istana Abu al-Fadhl ibn al-Amid.

Kemudian Abu Hayyan al-Tauhidi mengabdikan hidupnya kepada Shahib ibn Abbas kurang lebih selama tiga tahun. Namun, pengabdian itu berakhir karena menurut laporan yang ditulis oleh Abu Hayyan al-Tauhidi dalam kitabnya Akhlaq mengatakan bahwa ia mengusulkan untuk menyeleksi beberapa tulisan ia terima dari Shahib untuk disalin karena akan merusak penglihatan Abu Hayyan al-Tauhidi. Peristiwa itu melukai perasaan Shahib ibn Abbas.

Pada tahun 370 H/980 M, Abu Hayyan al-Tauhidi kembali ke Baghdad dan bertemu dengan temannya yang bernama Abu al-Wafa' al-buzajani, kemudian Abu Hayyan al-Tauhidi bekerja di rumah sakit di bawah kepemimpinan temannya. Namun, karena minimnya gajih yang ada, Abu al-Wafa' menyarankan agar Abu Hayyan al-Tauhidi mengabdikan dirinya kepada Ibn Sa'dan.

Menjelang akhir masa hidupnya, Abu Hayyan al-Tauhidi mengundurkan diri dan mengasingkan dirinya ke daerah Syiraz, sebuah tempat yang menjadi sarana perkumpulan para sufi.




Read more!

Abu Hayyan at-Tauhidi; Tokoh Kontroversial Islam Klasik (Seri 1)

Pada masa kontemporer saat ini, kita seringkali dihadapkan pada persoalan-persoalan yang bersifat krusial terutama yang berkaitan dengan agama. Agama menunjukkan keunikannya karena selama ia tumbuh dan berkembang pada diri seseorang, mampu menghadirkan kedamaian dan ketenangan. Namun, ketika agama telah dihadapkan pada problema sosial, agama sering kali hadir dalam wajah keras, garang dan tak kenal kompromi. Agama seringkali dijadikan landasan untuk membenarkan sebuah tindakan, ironinya, agama dijadikan alat untuk menggapai sebuah tujuan.

Bukan sebuah keanehan jika Karl Marx, tokoh pencetus sosialis mengatakan bahwa agama merupakan candu yang harus dihindari. Sejarah mencatat bahwa agama seringkali dibawa pada daerah konflik, agama dijadikan justifikasi dalam membangun dan merebut sebuah kekuasaan. Sejarah perkembangan agama seringkali menodai lembaran-lembaran sejarah dengan pola dan bentuk kekerasan yang bermacam-macam. Salah satu bentuk kekerasan yang masih tercatat rapi dalam lembaran sejarah adalah perang Salib yang melibatkan agama Islam dan Kristen. Islam dengan label jihadnya telah memiliki makna yang semakin menyempit, jihad seringkali dijadikan alat justifikasi dalam
menyebarkan misi-misi dakwah. Begitu pula dengan agama Kristen dengan dokma Perang Suci-nya telah menghimpun para kaum Kristiani untuk melancarkan serangan kepada umat Islam.

Dengar berbagai kekerasan yang terjadi, maka muncullah para tokoh reformasi yang berusaha mereinterpretasi ajaran-ajaran agama. Kaum Kristiani yang mayoritas berdomisili di kawasan Barat, mulai menyadari bahkan mulai menentang otoritas agama yang dimonopoli oleh gereja. Dalam tubuh umat Kristiani, kita mengenal sosok Martin Luther dengan reformasi Protestannya pada abad ke-16 di Eropa. Luther menegaskan bahwa manusia dilahirkan dalam kadaan bebas dan mengapa mereka harus menyerahkan diri kepada para tiran(gereja.Red). Sejarawan dan bangsawan asal perancis bernama Francois Guizot (1787-1874) mengatakan dalam pidato sejarah Eropa abad ke-19 bahwa salah satu penyebab utama kemajuan peradapan Barat adalah munculnya kelompok yang mengatakan “meskipun agama kita Kristen, kita mencari pembuktian atas hal-hal mendasar dalam keyakinan kita”. Para Imam tidak memberi izin dan mereka berkata agama (Kristen) disandarkan pada imitasi.

Para toko reformasi Kristen tersebut, telah mampu membawa dunia Barat kembali menemukan makna kehidupan dan keberadaan masyarakat dalam kehidupan sosial. Barat lebih terkenal sebagai bangsa yang memiliki jiwa sosial yang tinggi, sehingga Barat diklaim sebagai bangsa yang menjunjung tinggi humanisme. Masa renaisans (kebangkitan kembali) Barat berawal pada abad ke-12, masa itu melahirkan kembali pengetahuan, kebudayaan dan gaya klasik.

Bagaimana dengan dunia Timur? Apakah dunia Timur memiliki sejarah kebangkitan Islam yang menjadi agama mayoritas penduduk setempat? Untuk menjawab itu, kita harus kembali membuka lembaran-lembaran sejarah peradapan Islam. Mungkin kita akan beranggapan bahwa umat Islam selalu mengadopsi dari Barat dalam menemukan dan membangun tatanan kehidupan bermasyarakat! Namun, sejarah berkata lain, Islam sebagai agama mayoritas penduduk Timur ternyata telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan pada abad ke-3H/9 M sampai abad ke-4 H/10 M, tiga abad lebih awal daripada dunia Barat. Masa tersebut menurut istilah S.D Gointein disebut sebagai puncak “intermediate Cilivication of Islam”. Selama masa tersebut, para penguasa dan pejabat menjadi suri tauladan dalam menaruh minat terhadap ilmu pengetahuan, memanjakan para filosof, ilmuwan, dan sastrawan di istana kerajaan yang megah. Pertumbuhan dan perkembangan merata diseluruh lapisan.

Masa perkembangan dan kemajuan Islam tersebut, melahirkan beberapa tokoh ternama yang sampai saat ini karya-karyanya masih dijadikan referensi dalam sebuah penelitian. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah, Abu Sulaiman al-Sijistani (w. 983 M)-seorang filosof humanis Islam-, al-Rummani, al-Syaimari dan Abu Hayyan al-Tauhidi. Abu Hayyan al-Tauhidi merupakan tokoh utama dalam dunia sastra yang terkenal dengan salah satu karya besarnya berjudul al-Imta’ wa al-Mu’nisah.

Biografi Abu Hayyan al-Tauhidi
Abu Hayyan al-Tauhidi dengan lama lengkap Ali ibn Muhammad ibn al-Abbas Abu Hayyan al-Tauhidi, sejak awal telah menyebabkan perbedaan di antara para sejarawan. Sejarawan berselisih pendapat tentang waktu, tempat kelahiran dan nasabnya. Adapun salah satu sumber yang digunakan untuk menetapkan waktu kelahirannya adalah surat yang pernah ia tulis kepada hakim Sahal Ali ibn Muhammad pada tahun 400 H yang berbunyi "Sesungguhnya saya dalam usia 90-an", sehingga diperkirakan kelahiran Abu Hayyan al-Tauhidi bertepatan pada tahun 312 H. Sementara sejarawan lain memprediksikan bahwa Abu Hayyan al-Tauhidi dilahirkan antara tahun 310 H/922 M dan 320 H/932.

Sebagaimana perbedaan antar para sejarawan dalam menentukan waktu kelahiran Abu Hayyan al-Tauhidi, mereka juga berbeda dalam menentukan tempat kelahirannya. Ibn al-Qadhi berusaha memaparkan tempat kelahiran Abu Hayyan al-Tauhidi dengan memberikan sebuah argumen tentang keberadaan keluargannya yang menjual kurma di Baghdad sehingga diperkirakan ia lahir di sana. Disumber lain masih meragukan tentang kedatangan Abu Hayyan al-Tauhidi ke Baghdad karena tidak ditemukan informasi yang jelas. Namun dapat diperkirakan bahwa hal itu terjadi sebelum 348 H/959 M, ketika gurunya dalam bidang tasawuf yang bernama Abu Muhammad Ja'far al-Khuldi meninggal.Mengenai nasab Abu Hayyan al-Tauhidi, Ibn al-Qadhi berpendapat bahwa nama al-Tauhidi merupakan julukan kepada orang tuanya yang menjual kurma di Baghdad yang disebut "al-Tauhid". Pendapat ini diperkuat oleh al-Zubaidi dan Shahib al-Taj. Berbeda dengan tokoh-tokoh tersebut, Ibn Hajar berpendapat bahwa al-Tauhid lebih mengarah pada makna agama, karena orang Mu'tazilah menamakan dirinya sebagai kaum yang adil dan bertauhid sementara menurut Ibn Hajar, Abu Hayyan al-Tauhidi beraliran Mu'tazilah.

Abu Hayyan al-Tauhidi dikenal sebagai sastrawan yang selalu hidup dalam kesusahan dan kesengsaraan. Kehidupannya tidak pernah lepas dari dunia tulis-menulis, sehingga ia dijuluki sebagai orang yang paling baik dalam hal tulis-menulis di antara para penulis lainnya.

Selain itu, Abu Hayyan al-Tauhidi juga terkenal sebagai tokoh humanisme Islam klasik, gelar itu mengutip dari perkataan Abu Hayyan al-Tauhidi "al-insan asykala alahi al-insan" (Sungguh, manusia seringkali membuat kesulitan bagi manusia lainnya).


Read more!


Kehidupan bagaikan panggung sandiwara, problematika tak ubahnya lakon yang harus diperankan. Manusia adalah aktor dari sandiwara ini, peran nyata harus ia mainkan. Adakalanya peran itu kocak, adakalanya tragis. Hanya mereka yang mampu memainkan peran dengan baik yang akan menjadi aktor utama. Manusia merupakan makhluk yang unik, unik karena manusia memiliki dua dimensi. Pada satu sisi manusia dituntut untuk menjadi individu yang kuat, tegas, pemberani, dan bebas. Namun pada sisi lain manusia dihadapkan pada dimensi sosial yang terkadang bertentangan dengan pribadi. Kekuatan, ketegasan, keberanian dan kebebasan yang bersifat individu sering kali terbatasi oleh kenyataan sosial. Untuk menyatukan keunikan manusia, tiap-tiap individu harus berusaha terus-menerus mendaki, berjalan mencari jati diri. Jati diri adalah kunci utama dalam menentukan peran dan lakon yang harus ia mainkan. Tentu saja pencarian memerlukan proses, semakin panjang proses yang dilakukan maka semakin matang hasil yang akan diperoleh. Ketahuilah bahwa dunia adalah lelucon bagi mereka yang melakukannya, atau tragedi bagi mereka yang merasakannya. Dalam proses pencarian manusia dibekali dengan akal, nurani dan agama. Tanpa akal manusia bagaikan hewan yang hanya memainkan kehidupan berdasarkan kebutuhan biologis, tanpa nurani manusia bagaikan binatang buas yang memangsa binatang lemah, tanpa agama manusia bagaikan berjalan di tengah kegelapan tanpa memegang lentera. Apapun yang menjadikanmu bergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah hati seorang pecinta Tuhan lebih besar daripada Singgasana-Nya. . .