Friday, November 23, 2007

Jihad dan Bom Bunuh Diri

Syari'ah perang atau jihad pertama kali muncul setelah umat Islam menjadi komunitas yang memiliki kekuatan dan kedaulatan. Menurut Ibn Qayyim hukum jihad pertama kali adalah haram, kemudian menjadi anjuran dan kemudian jihad menjadi perintah bagi mereka yang memulai peperangan terlebih dahulu dan kemudian menjadi perintah untuk melawan seluruh kaum musyrik (lihat di huda khairy al-i’baadi li ibn Qayyim 2/58). Ulama salaf masih berselisih dalam menetapkan ayat jihad yang pertama kali turun, menurut Al-Hakim yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat jihad yang pertama kali adalah surat Al-Hajj ayat 39. sementara Ibn Jarir al-Thabari dalam kitabnya jaamiatul bayaani mengatakan ayat jihad yang pertama turun adalah surat al-Baqarah ayat 110.

Lantas apakah hikmah dibalik perintah jihad? Ulama sepakat bahwa tujuan dari perintah jihad adalah melawan kedhaliman yang dilakukan oleh kaum musyrikin terhadap umat Islam waktu itu. Lembaran sejarah menyebutkan bahwa jihad muncul dalam ruang yang berbeda, pada masa Khalifah Abu Bakar as-shiddiq, perintah jihad dikomandangkan untuk
kedhaliman yang dilakukan oleh kaum musyrikin terhadap umat Islam waktu itu. Lembaran sejarah menyebutkan bahwa jihad muncul dalam ruang yang berbeda, pada masa Khalifah Abu Bakar as-shiddiq, perintah jihad dikomandangkan untuk melawan kaum yang ingkar akan perintah zakat, sementara pada masa khalifah Umar bin Khattab, jihad memiliki perluasan makna dan dilakukan untuk menjalankan misi eskpansi dakwa. Salah satu contoh dengan menugaskan Amr ibn As untuk memimpin peperangan membuka kota Mesir. Lain halnya dengan masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan dan Khalifah Ali bin Abi Thalib, makna jihad telah mengalami penyempitan sehingga yang terjadi adalah kekerasan merebutkan kekuasaan, peristiwa tersebut berakhir dengan terbunuhnya kedua khalifah tersebut.

Kekerasan semakin merajalela pada masa dinasti Umawiyyah dengan terpenggalnya Husen bin Ali dalam peristiwa karbela, pada masa khalifah Yazid bin Muawiyah tahun 64 Hijriyah. Begitu pula masa dinasti Abbasiyah yang melakukan kudeta militer pada dinasti Umawiyyah. Dan peristiwa yang masih tercatat rapi dalam lembaran-lembaran sejarah adalah peristiwa perang salib yang terjadi antar kaum muslimin dan Kristiani.

Sejarah kekerasan yang terjadi dalam tubuh umat Islam masih membekas sampai saat ini, Islam dicap sebagai teroris yang harus dimusnahkan, bahkan Huntington dalam tesisnya mengatakan bahwa musuh terbesar Amerika setelah Uni Soviet adalah umat Islam. Peristiwa Irak, Afganistan dan berbagai macam peristiwa kekerasan dinisbahkan kepada umat Islam. Bahkan peristiwa ledakan yang terjadi di London lagi-lagi disandarkan kepada Umat Islam. Kemudian timbul sebuah pertanyaan, apakah memang Islam dengan perintah jihadnya membuka atau memberi ruang kepada pengikutnya untuk melakukan kekerasan? Saya yakin jika ajaran Islam betul-betul dipahami akan dengan tegas menjawab Tidak!. Sejarah mencatat bahwa peristiwa peperangan yang terjadi antar umat Islam dan penganut agama lainnya masih memiliki etika dan moral perang. Bisa dipastikan hampir seluruh penulis sejarah mencatat bahwa jihad atau peperangan yang melibatkan umat Islam tidak melampaui batas kemanusiaan, lain halnya dengan para penjajah atau peperangan yang dilakukan oleh bangsa Eropa, dimana kekerasan, pemerkosaan dan perlakuan yang tidak berprikemanusiaan menodai masa-masa peperangan. Masih tercatat rapi dalam sejarah bagaimana serdadu Amerika memperlakukan tahanan di dalam penjara Abu Gharib Irak.

Kemudian timbul sebuah pertanyaan baru, apakah Islam melegalkan bom bunuh diri? Untuk menjawab persoalan tersebut , saya berpikir bahwa bom bunuh diri merupakan bentuk strategi yang dilakukan oleh pihak dengan kapasitas kekuatan yang mini. Dalam sejarah dikatakan, ada seorang ahli perang bernama Muqauqisy, melakukan aksi bunuh diri untuk membuka barisan musuh yang sangat rapat, sehingga perhatian para musuh hanya tertuju pada sosok Muqauqisy, pada saat itulah pasukan lain mampu menembus barisan serdadu musuh yang secara kasat mata sulit untuk ditembus.

Peritiwa itu hampir serupa dengan kondisi umat Islam di Irak, Afganistan, dan Palestina. Mereka hanya dengan memegang senjata sederhana harus menghadapi serbuan serdadu Israel dan Amerika beserta sekutunya. Lantas apalah arti sebuah bom bunuh diri yang hanya menelan beberapa korban dibandingkan dengan kebiadapan pemerintah Amerika dan sekutunya yang telah membom-bardir umat Islam, Irak, Palistina, Afganistan, yang telah menghancurkan infra struktural kehidupan mereka!.

Di sini penulis ingin menegaskan, bahwa bom bunuh diri hanya meruapak strategi dalam peperangan, sehingga aksi tersebut tidak bisa dibenarkan jika terjadi di areal yang tidak memiliki gejolak peperangan! Kalau boleh penulis katakan, untuk melakukan perubahan, jalan yang paling tepat dan lebih baik adalah dengan melakukan pembenahan yang terjadi di dalam tanpa harus merusak bangunan-bangunan lain yang ada di luar. Dengan kata yang lebih sederhana, membangun kemaslahatan tanpa harus menuntut korban!




Read more!

Islam dan Pluralitas Pemikiran

Kehidupan bagai roda yang berputar, terma perubahan menjadi slogan yang acapkali disanjung-sanjung. Dalam tubuh umat Islam, perubahan seringkali mengalami pasang-surut dari sejak diutusnya Nabi Muhammad Saw sampai saat ini. Berbagai metodologi telah digunakan untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang ramah lingkungan dan peduli pada problematika masyarakat.

Perbedaan dalam tubuh umat Islam yang mengarah pada perpecahan terjadi pertama kali pada persoalan politik atau kekuasaan. Sejak Nabi Muhammad Saw wafat, perseteruan antara kabila kembali meledak. Sebelum Nabi Muhammad dimakamkan, kaum muslimin Anshar berkumpul di serambi bani Sa’ad untuk memilih dan menentukan pemimpin umat Islam. Dalam musyawarah tersebut ditetapkan
beberapa nama yang akan diajukan kepada umat Islam, antara lain; Abu Bakar al-Siddiq, Umar ibn Khathab, Abu Ubaid ibn Jarah. Kaum muslim Anshar berpendapat bahwa syarat menjadi pemimpin adalah berasal dari kaum Anshar, karena ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, beliau dengan leluasa bisa melakukan dakwah dengan atas bantuan kaum muslimin Anshar. Sedangkan kaum muslim Muhajirin berpendapat bahwa syarat menjadi pemimpin berasal dari Kota Makkah, karena kaum muslimin Makkah adalah orang yang pertama kali percaya akan kenabiannya.

Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya diputuskan bahwa tiap-tiap golongan kaum muslimin mengajukan perwakilannya, dan berakhir dengan terpilihnya Abu Bakar al-Shiddiq sebagai pemimpin (khalifah) umat Islam pengganti Nabi Muhammad. Perpecahan ditubuh umat Islam memuncak pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Peristiwa itu diprakarsai oleh Abdulah bin Saba’ seorang tokoh Yahudi yang menyatakan masuk Islam. Abdullah bin Saba’ menghimpun umat Islam untuk melakukan makar terhadap pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan. Selain gerakan makar yang dicetuskan oleh Abdullah bin Saba’, ia juga mencari justifikasi dengan membuat beberapa hadis palsu yang berkaitan dengan kecintaan kepada ahlu al-bait dan keagungan Ali bin Abi Thalib. Maka terpecahlah umat Islam menjadi beberapa kelompok.

Muawiyah yang memiliki ikatan keluarga dengan Utsman bin Affan menghimpun kekuatan untuk menuntut balas atas terbunuhnya Utsman bin Affan kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Ia juga mencari justifikasi dengan menjadikan ajaran-ajaran agama sebagai penguat gerakannya. Sementara pada masa dinasti Abbasiah, para ulama seringkali menjadikan agama sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada penguasa. Sehingga pada masa-masa tersebut, Islam tidak lagi menjadi agama yang menawarkan sistem nilai, akan tetapi telah menjadi idiologi-idiologi yang diinterpretasikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing golongan.

Pergolakan perpolitikan menjadi virus perpecahan umat Islam. Perbedaan tidak lagi terbatas dalam ruang politik akan tetapi beranjak pada persoalan-persoalan asasi seperti akidah, filsafat, fikih, sosiologi dan sebagainya. Setiap kelompok mengatas namakan golongan yang paling syah untuk diikuti.

Dalam rana pemikiran (filsafat) secara garis besar terbagi menjadi dua. Pertama, kelompok yang menentang adanya filsafat karena agama bagi mereka merupakan kewajiban yang harus dijalankan dengan ketaatan tanpa melalui unsur perenungan. Dan golongan menempatkan filsafat sebagai keharusan sebagai pegangan bagi para pemeluk agama dalam menerapkan ajaran-ajaran agamanya.

Dalam konteks fikih, terdapat beberapa madzhab yang pada akhirnya menjadi tumpuan bagi generasi selanjutnya. Diantara para fuqaha tersebut adalah; Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal. Dari masing-masing fuqaha tersebut memiliki pola pandang yang bersifat variatif atau dalam bahasa lain plural. Abu Hanifah dikategorikan sebagai fuqaha yang mengedepankan rasionalitas dalam menjawab problematika syari’ah. Malik bin Anas dan Ahmad bin Hambal merupakan fuqaha yang lebih menitik beratkan sudut pandangnya pada hadis sehingga lebih terkenal sebagai fuqaha ahli hadis. Sementara Syafi’i dapat dikategorikan sebagai fuqaha yang menjembatani antara fuqaha rasionalitas dan fuqaha ahli hadis.

Di sadari atau tidak, umat Islam yang ada saat ini banyak yang terpengaruh oleh realita sejarah tersebut di atas. Perbedaan-perbedaan yang ada tidak mampu menjadikan mereka (umat Islam) sebagai komunitas yang menghargai dan menjunjung tinggi pluralitas. Semua bergerak berdasarkan kepentingan dan idiologi masing-masing dan yang paling ironis adalah menjadikan agama sebagai alat justifikasi atas segala tindakan-tindakan yang tidak mencerminkan Islam sebagai agama yang rahmat li al-‘âlamîn.

Polemik antar partai politik misalnya, dalam mengubah UU Partai dari “tidak boleh bertentangan” menjadi “harus berasaskan Pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945, mengindikasikan lemahnya umat Islam Indonesia dalam memaknai “Islam” sebagai agama yang mampu eksis dalam segala bentuk dan sistem negara. Jika kita mau dengan sadar dan terbuka untuk mengkaji tiap-tiap butir Pancasila, maka tidak ada satu pun yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam! Dari sila Ketuhanan yang Maha Esa sampai pada sila keadilan sosial bagi selurah rakyat Indonesia telah mencerminkan nilai-nilai agamis yang patut dijunjung tinggi. Entah jika kita melihat butir-butir Pancasila tersebut dengan menggunakan kaca mata Islam sebagai ideologi (bukan sistem nilai)? Maka tentu polemik di atas tidak akan pernah menemukan kata sepakat dan pada akhirnya berdampak pada kemajuan bangsa Indonesia. Bukankah bangsa yang dipimpin oleh orang yang tidak bermoral akan tetapi adil dan bertanggung jawab lebih baik dari pada bangsa yang dipimpin oleh orang yang bermoral akan tetapi tidak adil dan tidak bertanggung jawab? Wallahu a’lam.




Read more!

Memaknai Kembali Arti Ramdhan

Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam. Keistimewaan itu karena terdapat berbagai sejarah yang terjadi pada umat Islam di bulan itu. Perang Badar misalnya, sebagai perang terbesar antara umat Islam dan kafir Qurasy terjadi pada bulan Ramadhan. Dan yang menambah keistimewaan bulan tersebut adalah diturunkannya al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman bagi umat Islam.

Bukan sebuah keanehan jika umat Islam berlomba-lomba meramaikan bulan Ramadhan dengan lantunan ayat-ayat al-Qur’an, baik dari surau yang hanya berkapasitas sepuluh orang bahkan sampai pada masjid-masjid yang bersekala besar. Pemandangan tersebut ada tentu karena masing-masing umat Islam menyadari bahwa bulan Ramadhan merupakan moment penting untuk merai cinta Allah.

Puasa adalah ibadah yang diwajibkan secara khusus pada bulan tersebut. Puasa merupakan ibadah yang memiliki keistimewaan dibanding ibadah-ibadah lainnya. Istimewa karena
puasa merupakan ibadah yang bersifat eksklusif antara hamba dan Penciptanya. Tentu hal itu memiliki perbedaan dengan ibadah-ibadah lainnya yang lebih bersifat inklusif. Ibadah shalat, haji, dan zakat misalnya, merupakan ibadah-ibadah yang tidak hanya diketahui oleh pelaku akan tetapi orang yang melihat dan merasakannya pun bisa mengetahuinya. Hal ini sesuai dengan hadis kudsi yang mengatakan bahwa semua amal perbuatan manusia adalah milik mereka kecuali puasa, ia adalah milik-Ku dan Aku akan memberikan pahala dengannya.

Tujuan puasa adalah meraih ketakwaan. Ketawaan yang menjadi satu-satunya pembeda bagi umat Islam secara khusus dan manusia secara umum. Islam tidak mengenal perbedaan antar suku, golongan, ras, etnis dan sebagainya. Yang menjadi tolak ukur perbedaan antara umat Islam hanya terletak pada rasa takwa. Maka tolak ukur itulah yang pada akhirnya menyatukan umat Islam dan menjadikan Islam sebagai agama yang memiliki jumlah pengikut terbesar di dunia! Semakin besar rasa ketakwaan seseorang maka semakin besar pula rasa toleransi yang ia miliki.

Suasana Ramdhan antara Indonesia dan Mesir
Secara umum, setiap manusia memiliki keinginan untuk merai yang terbaik dalam segala aspek kehidupan. Sudah menjadi sifat manusia untuk dihormati, dihargai dan ditempatkan pada posisi yang diinginkan. Sifat-sifat alami itu tentu tumbuh berkembang berdasarkan pengaruh alam sekitar. Hal itulah yang pada akhirnya menjadikan manusia hidup secara prural dengan tradisi dan keyakinan yang berbeda-beda. Begitu juga yang terjadi dalam tubuh umat Islam dalam menyambut dan melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Di Mesir, suasana ramadhan nampak begitu indah. Indah karena masing-masing individu melakukan ibadah kebaikan sesuai dengan bidang masing-masing. Para doktor misalnya, mereka membuka dan mengadakan acara-acara ilmiyah yang berbentuk seminar. Kegiatan seminat tentang pemikiran keislaman sangat semarak di bulan ramadhan di banding dengan bulan-bulan lainnya. Pertemuan-pertemuan ilmiyah dari yang bersekala kecil sampai yang besar bisa dinikmati di bulan ini. Para ahli filsafat, tafsir, hadis, fikih, tasawuf, sastra dan sebagainya dengan penuh semangat dan rasa rendah hati memaparkan sudut pandang masing-masing. Yang paling menarik, sebagian besar penerbit buka membanting harganya dengan diskon 50 %. Sebuah pemandangan yang jarang atau bahkan tidak pernah terlihat di luar ramadhan.

Kalau kita melihat di sepanjang jalan, para pedagang masih asyik dengan dagangan masing-masing. Ada yang dengan terang-terangan membuka warung, kedai, restoran dan ada pula yang dengan rela menutup warung-warungnya. Mereka hidup berdampingan tanpa ada satupun yang merasa tersinggung. Kejadian itu bukan semerta-merta karena aturan pemerintah akan tetapi lebih pada kesadaran masing-masing individu.

Menjelang berbuka, umat Islam Mesir berbondong-bondong menuju masjid untuk melakukan salat maghrib berjemaah dan diteruskan kemudian dengan buka puasa bersama. Tiap-tiap masjid menyediakan menu buka puasa. Sehingga untuk berbuka, umat Islam Mesir tidak disibukkan dengan masak-memasak.

Menjelang akhir bulan ramadhan, tepatnya sepuluh hari di akhir bulan ramadhan, umat Islam Mesir berlomba-lomba dan berbondong-bondong meramaikan suasana masjid dengan membaca al-Qur’an, berdzikir, bertasbih dan sebagainya. Pasar-pasar yang semula ramai nyaris terlihat sepi pada sepuluh akhir di bulan ramadhan. Mereka melakukan ritual itu karena menyakini dan ingin merai malam seribu bulan yang lebih dikenal dengan malam lailah al-Qadar.

Perayaan hari kemenangan (idul fitri) di Mesir, disesuaikan dengan keputusan pemerintah. Hal itu mereka lakukan karena memiliki keyakinan bahwa keempat imam fikih, Syafi’i, Hambali, Maliki dan Hanafi mewajibkan untuk mengikuti keputusan pemerintah dengan tujuan kemaslahatan bagi umat Islam.

Perbedaan sudut pandang dan tradisi, tentu saja akan mengasilkan out put yang berbeda pula. Di Indonesia, kita akan melihat berbagai kegiatan ramadhan dari sudut-sudut kampung sampai pada perkotaan. Di sekolah-sekolah semarak kita lihat ibadah rutinitas dengan mengadakan pondok ramadhan atau pondok kilat. Di pesantren-pesantren juga semarak dengan pengajian, diskusi, ceramah agama dan sebagainya. Tayangan-tayangan televisi yang semula terlihat cukup berani bagi kalangan orang-orang Timur, mulai mengikuti arus ramadhan. Para artis banyak yang belajar ngaji, memakai busana muslim, dan berperan sebagai seorang muslim yang sejati.

Di sepanjang jalan, warung-warung makan ditutup, lokalisasi pun diberlakukan jam malam bahkan ada yang ditutup total. Entah apa semua itu muncul dari kesadaran masing-masing individu untuk merai ketakwaan di bulan ramadhan?atau hanya karena aturan pemerintah yang memberikan batasan-batasan tertentu untuk bergerak di bulan ramadhan? Tentu jawaban itu akan kembali pada masing-masing individu. Karena puasa pada dasarnya hanya dirasakan dan diketahui oleh individu yang melakukan dan Tuhannya.

Maka tentu sangat disayangkan jika dalam bulan ramadhan ini masih ada tindakan-tindakan kekerasan atau untoleransi yang mengatas namakan agama, ideologi, bangsa dan sebagainya. Karena tujuan dari puasa adalah meraih rasa takwa yang mana ketakwaan itulah yang menjadikan Islam sebagai agama yang toleran dan rahmat li a’alamin. Walahu’alam!




Read more!


Kehidupan bagaikan panggung sandiwara, problematika tak ubahnya lakon yang harus diperankan. Manusia adalah aktor dari sandiwara ini, peran nyata harus ia mainkan. Adakalanya peran itu kocak, adakalanya tragis. Hanya mereka yang mampu memainkan peran dengan baik yang akan menjadi aktor utama. Manusia merupakan makhluk yang unik, unik karena manusia memiliki dua dimensi. Pada satu sisi manusia dituntut untuk menjadi individu yang kuat, tegas, pemberani, dan bebas. Namun pada sisi lain manusia dihadapkan pada dimensi sosial yang terkadang bertentangan dengan pribadi. Kekuatan, ketegasan, keberanian dan kebebasan yang bersifat individu sering kali terbatasi oleh kenyataan sosial. Untuk menyatukan keunikan manusia, tiap-tiap individu harus berusaha terus-menerus mendaki, berjalan mencari jati diri. Jati diri adalah kunci utama dalam menentukan peran dan lakon yang harus ia mainkan. Tentu saja pencarian memerlukan proses, semakin panjang proses yang dilakukan maka semakin matang hasil yang akan diperoleh. Ketahuilah bahwa dunia adalah lelucon bagi mereka yang melakukannya, atau tragedi bagi mereka yang merasakannya. Dalam proses pencarian manusia dibekali dengan akal, nurani dan agama. Tanpa akal manusia bagaikan hewan yang hanya memainkan kehidupan berdasarkan kebutuhan biologis, tanpa nurani manusia bagaikan binatang buas yang memangsa binatang lemah, tanpa agama manusia bagaikan berjalan di tengah kegelapan tanpa memegang lentera. Apapun yang menjadikanmu bergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah hati seorang pecinta Tuhan lebih besar daripada Singgasana-Nya. . .