Friday, November 23, 2007

Memaknai Kembali Arti Ramdhan

Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam. Keistimewaan itu karena terdapat berbagai sejarah yang terjadi pada umat Islam di bulan itu. Perang Badar misalnya, sebagai perang terbesar antara umat Islam dan kafir Qurasy terjadi pada bulan Ramadhan. Dan yang menambah keistimewaan bulan tersebut adalah diturunkannya al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman bagi umat Islam.

Bukan sebuah keanehan jika umat Islam berlomba-lomba meramaikan bulan Ramadhan dengan lantunan ayat-ayat al-Qur’an, baik dari surau yang hanya berkapasitas sepuluh orang bahkan sampai pada masjid-masjid yang bersekala besar. Pemandangan tersebut ada tentu karena masing-masing umat Islam menyadari bahwa bulan Ramadhan merupakan moment penting untuk merai cinta Allah.

Puasa adalah ibadah yang diwajibkan secara khusus pada bulan tersebut. Puasa merupakan ibadah yang memiliki keistimewaan dibanding ibadah-ibadah lainnya. Istimewa karena
puasa merupakan ibadah yang bersifat eksklusif antara hamba dan Penciptanya. Tentu hal itu memiliki perbedaan dengan ibadah-ibadah lainnya yang lebih bersifat inklusif. Ibadah shalat, haji, dan zakat misalnya, merupakan ibadah-ibadah yang tidak hanya diketahui oleh pelaku akan tetapi orang yang melihat dan merasakannya pun bisa mengetahuinya. Hal ini sesuai dengan hadis kudsi yang mengatakan bahwa semua amal perbuatan manusia adalah milik mereka kecuali puasa, ia adalah milik-Ku dan Aku akan memberikan pahala dengannya.

Tujuan puasa adalah meraih ketakwaan. Ketawaan yang menjadi satu-satunya pembeda bagi umat Islam secara khusus dan manusia secara umum. Islam tidak mengenal perbedaan antar suku, golongan, ras, etnis dan sebagainya. Yang menjadi tolak ukur perbedaan antara umat Islam hanya terletak pada rasa takwa. Maka tolak ukur itulah yang pada akhirnya menyatukan umat Islam dan menjadikan Islam sebagai agama yang memiliki jumlah pengikut terbesar di dunia! Semakin besar rasa ketakwaan seseorang maka semakin besar pula rasa toleransi yang ia miliki.

Suasana Ramdhan antara Indonesia dan Mesir
Secara umum, setiap manusia memiliki keinginan untuk merai yang terbaik dalam segala aspek kehidupan. Sudah menjadi sifat manusia untuk dihormati, dihargai dan ditempatkan pada posisi yang diinginkan. Sifat-sifat alami itu tentu tumbuh berkembang berdasarkan pengaruh alam sekitar. Hal itulah yang pada akhirnya menjadikan manusia hidup secara prural dengan tradisi dan keyakinan yang berbeda-beda. Begitu juga yang terjadi dalam tubuh umat Islam dalam menyambut dan melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Di Mesir, suasana ramadhan nampak begitu indah. Indah karena masing-masing individu melakukan ibadah kebaikan sesuai dengan bidang masing-masing. Para doktor misalnya, mereka membuka dan mengadakan acara-acara ilmiyah yang berbentuk seminar. Kegiatan seminat tentang pemikiran keislaman sangat semarak di bulan ramadhan di banding dengan bulan-bulan lainnya. Pertemuan-pertemuan ilmiyah dari yang bersekala kecil sampai yang besar bisa dinikmati di bulan ini. Para ahli filsafat, tafsir, hadis, fikih, tasawuf, sastra dan sebagainya dengan penuh semangat dan rasa rendah hati memaparkan sudut pandang masing-masing. Yang paling menarik, sebagian besar penerbit buka membanting harganya dengan diskon 50 %. Sebuah pemandangan yang jarang atau bahkan tidak pernah terlihat di luar ramadhan.

Kalau kita melihat di sepanjang jalan, para pedagang masih asyik dengan dagangan masing-masing. Ada yang dengan terang-terangan membuka warung, kedai, restoran dan ada pula yang dengan rela menutup warung-warungnya. Mereka hidup berdampingan tanpa ada satupun yang merasa tersinggung. Kejadian itu bukan semerta-merta karena aturan pemerintah akan tetapi lebih pada kesadaran masing-masing individu.

Menjelang berbuka, umat Islam Mesir berbondong-bondong menuju masjid untuk melakukan salat maghrib berjemaah dan diteruskan kemudian dengan buka puasa bersama. Tiap-tiap masjid menyediakan menu buka puasa. Sehingga untuk berbuka, umat Islam Mesir tidak disibukkan dengan masak-memasak.

Menjelang akhir bulan ramadhan, tepatnya sepuluh hari di akhir bulan ramadhan, umat Islam Mesir berlomba-lomba dan berbondong-bondong meramaikan suasana masjid dengan membaca al-Qur’an, berdzikir, bertasbih dan sebagainya. Pasar-pasar yang semula ramai nyaris terlihat sepi pada sepuluh akhir di bulan ramadhan. Mereka melakukan ritual itu karena menyakini dan ingin merai malam seribu bulan yang lebih dikenal dengan malam lailah al-Qadar.

Perayaan hari kemenangan (idul fitri) di Mesir, disesuaikan dengan keputusan pemerintah. Hal itu mereka lakukan karena memiliki keyakinan bahwa keempat imam fikih, Syafi’i, Hambali, Maliki dan Hanafi mewajibkan untuk mengikuti keputusan pemerintah dengan tujuan kemaslahatan bagi umat Islam.

Perbedaan sudut pandang dan tradisi, tentu saja akan mengasilkan out put yang berbeda pula. Di Indonesia, kita akan melihat berbagai kegiatan ramadhan dari sudut-sudut kampung sampai pada perkotaan. Di sekolah-sekolah semarak kita lihat ibadah rutinitas dengan mengadakan pondok ramadhan atau pondok kilat. Di pesantren-pesantren juga semarak dengan pengajian, diskusi, ceramah agama dan sebagainya. Tayangan-tayangan televisi yang semula terlihat cukup berani bagi kalangan orang-orang Timur, mulai mengikuti arus ramadhan. Para artis banyak yang belajar ngaji, memakai busana muslim, dan berperan sebagai seorang muslim yang sejati.

Di sepanjang jalan, warung-warung makan ditutup, lokalisasi pun diberlakukan jam malam bahkan ada yang ditutup total. Entah apa semua itu muncul dari kesadaran masing-masing individu untuk merai ketakwaan di bulan ramadhan?atau hanya karena aturan pemerintah yang memberikan batasan-batasan tertentu untuk bergerak di bulan ramadhan? Tentu jawaban itu akan kembali pada masing-masing individu. Karena puasa pada dasarnya hanya dirasakan dan diketahui oleh individu yang melakukan dan Tuhannya.

Maka tentu sangat disayangkan jika dalam bulan ramadhan ini masih ada tindakan-tindakan kekerasan atau untoleransi yang mengatas namakan agama, ideologi, bangsa dan sebagainya. Karena tujuan dari puasa adalah meraih rasa takwa yang mana ketakwaan itulah yang menjadikan Islam sebagai agama yang toleran dan rahmat li a’alamin. Walahu’alam!



0 Comments:

Post a Comment

<< Home


Kehidupan bagaikan panggung sandiwara, problematika tak ubahnya lakon yang harus diperankan. Manusia adalah aktor dari sandiwara ini, peran nyata harus ia mainkan. Adakalanya peran itu kocak, adakalanya tragis. Hanya mereka yang mampu memainkan peran dengan baik yang akan menjadi aktor utama. Manusia merupakan makhluk yang unik, unik karena manusia memiliki dua dimensi. Pada satu sisi manusia dituntut untuk menjadi individu yang kuat, tegas, pemberani, dan bebas. Namun pada sisi lain manusia dihadapkan pada dimensi sosial yang terkadang bertentangan dengan pribadi. Kekuatan, ketegasan, keberanian dan kebebasan yang bersifat individu sering kali terbatasi oleh kenyataan sosial. Untuk menyatukan keunikan manusia, tiap-tiap individu harus berusaha terus-menerus mendaki, berjalan mencari jati diri. Jati diri adalah kunci utama dalam menentukan peran dan lakon yang harus ia mainkan. Tentu saja pencarian memerlukan proses, semakin panjang proses yang dilakukan maka semakin matang hasil yang akan diperoleh. Ketahuilah bahwa dunia adalah lelucon bagi mereka yang melakukannya, atau tragedi bagi mereka yang merasakannya. Dalam proses pencarian manusia dibekali dengan akal, nurani dan agama. Tanpa akal manusia bagaikan hewan yang hanya memainkan kehidupan berdasarkan kebutuhan biologis, tanpa nurani manusia bagaikan binatang buas yang memangsa binatang lemah, tanpa agama manusia bagaikan berjalan di tengah kegelapan tanpa memegang lentera. Apapun yang menjadikanmu bergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah hati seorang pecinta Tuhan lebih besar daripada Singgasana-Nya. . .