Ulama dan Umara’
Agama pada dasarnya muncul dalam misi dan tujuan yang sama. Pengakuan terhadap kekuasaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta yang harus disembah menjadi ajaran asasi bagi tiap-tiap agama yang berkembang. Islam mengategorikan golongan yang berselisih dalam persoalan antar agama sebagai orang-orang yang bodoh.
Dalam konteks ajaran syari’ah, tiap-tiap agama memiliki sudut ruang yang berbeda-beda sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan umat manusia. Hal itu dikarenakan agama turun untuk membantu dan membawa umat manusia ke arah yang lebih baik. Sehingga ajaran-ajaran agama yang
Dalam konteks ajaran syari’ah, tiap-tiap agama memiliki sudut ruang yang berbeda-beda sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan umat manusia. Hal itu dikarenakan agama turun untuk membantu dan membawa umat manusia ke arah yang lebih baik. Sehingga ajaran-ajaran agama yang
bersifat syar’i lebih cenderung membumi. Di sinilah salah satu hikmah dari diturunkannya para rasul dengan membawa risalah syar’iyah yang variatif.
Dalam tatanan praktek dan realita, agama seringkali menunjukkan keunikannya. Unik karena ketika agama dihadapkan pada persoalan individu yang bersifat spritual, agama mampu menghadirkan kedamaian, ketenangan dan ketentraman. Namun ketika agama dihadapkan pada problematika sosial, agama seringkali muncul dengan wajah yang kasar, keras, dan tidak mengenal kompromi.
Perbedaan pemahaman yang muncul seringkali disebabkan oleh minimnya pemahaman terhadap agama. Dengan kata lain, peran agamawan (ulama) tidak mampu memaparkan artikulasi agama secara sempurna. Kekurangsempurnaan itu bisa disebabkan karena minimnya pengetahuan keagamaan yang dimiliki atau karena terpengaruhi oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Rasulullah bersabdah; seburuk-buruknya ulama adalah yang mendatangi umara’ (pemerintah) dan sebaik-baiknya umara’ adalah yang mendatangi ulama. Secara sepilas, seringkali kita salah dalam memaknai hadis tersebut dengan mengatakan bahwa Islam melarang ulama bersilaturrahmi ke penguasa (umara’). Sebenarnya makna yang tersirat dalam hadis tersebut adalah, seburuk-buruknya ulama adalah mereka yang mencari kesempatan, keuntungan, menggantungkan hidupnya kepada umara’ sehingga dalam memberikan fatwa-fatwa keagamaan seringkali berdasarkan pada pesanan penguasa.
Sebaik-baiknya pemerintah (umara’) adalah mereka yang mendatangi ulama untuk meminta nasehat, petunjuk, fatwa-fatwa dalam melakukan keputusan, karena ulama bagaikan matahari yang memberikan cahaya. Ulama yang sejati tidak pernah meminta upah atau upeti dari apa yang dia sampaikan kecuali hanya rasa kasih sayang dan pahala dari Allah. Ulama sejati adalah mereka yang selalu memberikan petunjuk-petunjuk yang benar dengan metode yang beran pula. Ulama sejati selalu berpegang teguh pada kebenaran sebagaimana ikan hanya hidup di dalam air dan akan mati bila keluar dari air. Sehingga benar kiranya jika Allah berfirman bahwa hamba yang paling takut kepada Allah adalah ulama’.
Di sinilah kita umat Islam Indonesia memerlukan sosok-sosok ulama sejati yang mau dengan tulus dan ikhlas memperjuangkan, mengajarkan ajaran-ajaran agama secara benar. Sebagimana kita umat Islam juga membutuhkan umara’ yang dalam tindakan dan keputusannya tidak lepas dari nasehat, petunjuk atau fatwa para ulama
Dalam tatanan praktek dan realita, agama seringkali menunjukkan keunikannya. Unik karena ketika agama dihadapkan pada persoalan individu yang bersifat spritual, agama mampu menghadirkan kedamaian, ketenangan dan ketentraman. Namun ketika agama dihadapkan pada problematika sosial, agama seringkali muncul dengan wajah yang kasar, keras, dan tidak mengenal kompromi.
Perbedaan pemahaman yang muncul seringkali disebabkan oleh minimnya pemahaman terhadap agama. Dengan kata lain, peran agamawan (ulama) tidak mampu memaparkan artikulasi agama secara sempurna. Kekurangsempurnaan itu bisa disebabkan karena minimnya pengetahuan keagamaan yang dimiliki atau karena terpengaruhi oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Rasulullah bersabdah; seburuk-buruknya ulama adalah yang mendatangi umara’ (pemerintah) dan sebaik-baiknya umara’ adalah yang mendatangi ulama. Secara sepilas, seringkali kita salah dalam memaknai hadis tersebut dengan mengatakan bahwa Islam melarang ulama bersilaturrahmi ke penguasa (umara’). Sebenarnya makna yang tersirat dalam hadis tersebut adalah, seburuk-buruknya ulama adalah mereka yang mencari kesempatan, keuntungan, menggantungkan hidupnya kepada umara’ sehingga dalam memberikan fatwa-fatwa keagamaan seringkali berdasarkan pada pesanan penguasa.
Sebaik-baiknya pemerintah (umara’) adalah mereka yang mendatangi ulama untuk meminta nasehat, petunjuk, fatwa-fatwa dalam melakukan keputusan, karena ulama bagaikan matahari yang memberikan cahaya. Ulama yang sejati tidak pernah meminta upah atau upeti dari apa yang dia sampaikan kecuali hanya rasa kasih sayang dan pahala dari Allah. Ulama sejati adalah mereka yang selalu memberikan petunjuk-petunjuk yang benar dengan metode yang beran pula. Ulama sejati selalu berpegang teguh pada kebenaran sebagaimana ikan hanya hidup di dalam air dan akan mati bila keluar dari air. Sehingga benar kiranya jika Allah berfirman bahwa hamba yang paling takut kepada Allah adalah ulama’.
Di sinilah kita umat Islam Indonesia memerlukan sosok-sosok ulama sejati yang mau dengan tulus dan ikhlas memperjuangkan, mengajarkan ajaran-ajaran agama secara benar. Sebagimana kita umat Islam juga membutuhkan umara’ yang dalam tindakan dan keputusannya tidak lepas dari nasehat, petunjuk atau fatwa para ulama
0 Comments:
Post a Comment
<< Home