Tuesday, October 30, 2012

Entah..

Entah.....
Kenapa harus tau...
Kenapa harus paham...
kenapa harus ngerti...

Entah....
Kenapa harus melihat...
Kenapa harus mendengar...

Entah....
Kenapa harus bertemu...
Kenapa harus bersama...

Entah...
Kenapa harus bicara...
Kenapa harus nulis..

Entah...
Kenapa harus mengenalkan diri...
Kenapa harus mempublikasikan diri...
Kenapa harus mempopulerkan diri...

Entah....

Kairo, 30-10-2012


Read more!

Monday, October 15, 2012

CINTA

Cinta, kata yang begitu mudah diucapkan. Kata yang tak pernah hilang dalam kehidupan manusia. Entah, adakah alat hitung yang mampu menghitung seberapa banyak manusia melafadkan kata cinta. Cinta, begitu orang mengenalnya. Namun, adakah makna Cinta yang dipahami memiliki kesamaan antara satu sama lainnya? 

Cinta seringkali terucap dalam perbincangan sehari-hari, cinta orang tua dan anak, antara guru dan murid, dan tentu saja cinta para pemuda dan pemudi. Cinta yang begitu mudah dilantunkan. Ia hadir dalam berbagai bentuk mengisi ruang-ruang kehidupan manusia. Cinta bagaikan udara yang terhirup secara alami, laksana orang yang menghirup udara di pagi hari. Udara yang tak terlihat secara kasat mata, udara yang hanya bisa dirasakan kehadirannya. Udara yang menghadirkan kesegaran. Udara yang memberikan kenikmatan yang tak terbahasankan bagi penghirupnya. 

Adakah cinta memiliki arti yang sama? Cobalah kita bertanya kepada masing-masing individu, niscaya akan kita temukan berbagai makna atau definisi cinta. Ya, ketika kita dihadapkan pada seorang yang jatuh cinta, atau paling tidak bersinggungan dengan cinta. Tanpa disadari terlantun dari kata-katanya, betapa cinta begitu indah, nikmat, bahagia. Namun ketika kita bertemu dengan seseorang yang kehilangan cintanya, maka ia pun akan mengatakan betapa cinta telah menciptakan kesengsaraan, kesedihan, dan sebagainya. 

Cinta orang tua pada anak akan melahirkan perhatian, kasih sayang, pengorbanan, tanggungjawab. Tak heran kiranya jika pepatah berkata ‘orang tua kaya anak jadi raja, anak kaya orang tua jadi budak’.  Pun demikian cinta seorang guru pada murid. Barangkali disinilah perumpamaan seorang guru dengan sang surya yang senantiasa menyinari dunia mendapatkan kebenarannya.
  
Aneka ragam makna atau definis cinta muncul karena cinta sejatinya tidak memiliki wujud yang utuh atau dalam kata lain bukan berupa benda mati yang bisa dilihat secara kasat mata. Tentu saja  sesuatu yang tidak nampak bukan berarti tiada, karena pada dasarnya sesuatu yang ada berawal dari ketiadaan.  

Cinta berupa rasa yang abstark. Wujud atau kehadiran cinta hanya bisa diketahui melalui tingkah laku, dalam kata lain, cinta melebur ke dalam jiwa manusia, kemudian menghasilkan gerak-gerik atau laku. Gerak-gerik atau laku inilah yang kemudian menjadi petanda wujud cinta. Petanda yang sejatinya hanyalah simbol-simbol unik yang mengandung beribu-ribu makna. Dengan kata lain, cinta hanya bisa dipahami melalui petanda-petanda yang ada. Tidak satupun yang mampu menyentuh cinta tanda menerima kehadiran petanda-petanda yang ada. Di sinilah makna cinta hanya bisa dipahami dengan menghadirkan makna-makna yang memiliki kesesuaian dengan petanda atau simbol. Atau barangkali dengan mengahadirkan makna lain sebagai pebanding bagi makna cinta. Atau dengan menghadirkan makna-makna yang mendekati arti dari makna cinta. Atau pun dengan menyajikan makna-makna yang saling bertentangan.  

Dengan demikian, kata cinta tidak hadir secara lagu, ia memiliki unsur-unsur yang dikemudian hari diyakini sebagai cinta itu sendiri. Oleh karena itu, wujud cinta memiliki fariasi yang tak terbatas. Cinta yang sejatinya melampaui batasan-batasan ruang dan waktu, pada akhirnya harus berpendar dalam tata aturan yang terkonsepkan oleh ruang dan waktu. Karena hanya dengan demikian itulah wujud cinta bisa diterima dan dipahami oleh manusia secara umum. Dengan kata lain, kesiapan tata aturan yang dibangun oleh ruang dan waktu akan mempengaruhi kedalaman pendaran cinta. Pun demikian halnya dengan kesiapan diri manusia dalam menerima kehadiran cinta. Dengan demikian, pemaknaan cinta akan terus mengalir tanpa batas dengan beraneka ragam makna sesuai dengan kesiapan tata aturan dan kemampuan manusia dalam menerima wujud cinta.

Lantas apakah sebenarnya hakekat cinta? Apakah cinta yang selama ini dirasakan oleh manusia adalah cinta itu sendiri? Atau bahkan hanyalah ciri-ciri atau tanda-tanda yang sejatinya tidak menyentuh makna cinta itu sendiri? Atau bahkan cinta memiliki tingkatan-tingkatan yang harus dilalui oleh sang pecinta? Adakah rahasia-rahasia cinta yang masih belum terbongkar?  Adakah cinta sejati? Siapakah para pecinta yang sebenarnya?



Read more!

Friday, January 9, 2009

Dialog atas Keberagaman Agama

Agama pada dasarnya muncul dalam misi dan tujuan yang sama. Pengakuan terhadap kekuasaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta yang harus disembah menjadi ajaran asasi bagi tiap-tiap agama yang berkembang. Dalam konteks ajaran syari’ah, tiap-tiap agama memiliki sudut ruang yang berbeda-beda sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan umat manusia. Hal itu dikarenakan agama turun untuk membantu dan membawa umat manusia ke arah yang lebih baik. Sehingga ajaran-ajaran agama yang bersifat syar’i lebih cenderung membumi. Di sinilah salah satu hikmah dari diturunkannya para rasul dengan membawa risalah syar’iyah yang variatif.
Dalam tatanan praktek dan realita, agama seringkali menunjukkan keunikannya. Unik karena ketika agama dihadapkan pada persoalan individu yang bersifat spritual, agama mampu menghadirkan kedamaian, ketenangan dan ketentraman. Namun
ketika agama dihadapkan pada problematika sosial, agama seringkali muncul dengan wajah yang kasar, keras, dan tidak mengenal kompromi.
Sejarah menunjukkan bahwa pada masa Nabi Muhammad Saw, Islam dan pemahaman terhadapnya masih dalam bingkai kesatuan, Islam tumbuh berkembang dalam komunitas Arab yang hidup di alam sederhana dengan dikelilingi oleh daratan padang pasir. Secara tidak langsung hal tersebut mempengarui pola pikir dan kecenderungan psikis masyarakat setempat. Keselarasan dalam memahami Islam dan ajarannya, disebabkan adanya tokoh sentral yang menjadi pijakan bagi masyarakat pada umumnya. Nabi Muhammad Saw, sebagai top leader mampu menghadirkan wajah Islam secara sempurna, sehingga dengan waktu yang begitu cepat dan singkat, Islam tersebar keseluruh jazirah Arab.
Kesalahan terhadap penafsiran ajaran-ajaran agama menyebabkan timbulnya gejolak sosial yang pada akhirnya menghasilkan komunitas yang anti agama. Komunitas yang mengingkari adanya eksistensi lain di luar materi. Diantara tokoh-tokoh komunitas ini antara lain; Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872) yang berpendapat bahwa wujud Tuhan adalah hasil dari proyeksi manusia tentang dirinya sendiri, sementara agama adalah media atau sarana untuk mewujudkan proyeksi atau cita-cita manusia tersebut. Bagi Feuerbach, tidak ada Tuhan yang maha adil melainkan hanyalah manusia yang ingin menjadi adil. Kemudian pendapat ini dilanjutkan oleh Karl Mark (1818-1883) dengan slogannya “agama adalah candu”. Bagi Mark, agama hanya membawa manusia pada rana dunia fantasi (baca: surga) dan membawa manusia lari dari kehidupan yang pahit. Kemudian Lenin (1820-1895), Joseph Stalin (1879-1953), dan sebagainya.
Komunitas anti agama tersebut menyakini bahwa agama adalah biyang persoalan. Dapat dicontohkan bagaimana masing-masing agama memiliki konteks yang sama dalam menangani persoalan. Islam dengan jihatnya telah menjadikan agama itu sebagai agama yang anti perdamaian. Begitu juga Kristen dengan perang sucinya telah menyebakan konflik antar agama tidak pernah berhenti. Terma Jihat dan Perang suci telah menghambur-hamburkan surga dengan mengorbankan ribuan jiwa. Tentu hal itu muncul karena kesalahpahaman dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama tersebut.
Peristiwa Poso dan Ambon merupakan contoh terburuk bagi keberagaman masyarakat Indonesia dalam beragama. Korban yang mencapai 2.000 sampai 5.000 jiwa menjadi ujian terbesar bagi peran dan konstribusi agama dalam membangun masyarakat madani, sebuah masyarakat yang damai dan tentam dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Untuk mengatasi konflik antar agama, tidak ada kata lain selain dengan cara dialog antar agama. Dialog yang berupaya mencari titik temu atau titik kesamaan antar agama tanpa mempersoalkan perbedaan-perbedaan yang ada.
Islam mengategorikan golongan yang berselisih dalam persoalan antar agama sebagai orang-orang yang bodoh. Dan orang-orang Yahudi berkata:"Orang-orang Nasrani itu tidak punya suatu pegangan", dan orang-orang Nasrani berkata:"Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan", padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengucapkan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili diantara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya (Q.S 2:113). Bodoh dalam artian tidak mampu menangkap dan mengartikulasikan makna agama secara hakiki. Tiap-tiap agama tentu menawarkan perdamaian, kedamaian dan kesejahteraan. Mengingat kata agama terdiri dari dua suku kata, “a” yang berati tidak dan “gama” yang berati kekacauan. Sehingga secara bahasa agama bermakna sebagai tidak ada kekacauan.
Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya jika Wapres Jusuf Kalla dalam sambutannya memperingati hari Perdamaian Dunia (21/9) di auditorium Istana Wapres, Jakarta meminta untuk menghentikan konflik yang berlandaskan pada agama. Karena fakta telah mencatat bahwa korban terbesar disebabkan oleh konflik agama. Islam sendiri melarang penganutnya untuk berselisih yang mengarah pada perpecahan. Membunuh satu orang manusia bagaikan membunuh manusia secara keselurahan dan barang siapa menjaga eksistensi manusia maka sesungguhnya dia telah menghidupkan manusia secara keseluruhan. Sementara Kristen juga menawarkan untuk saling memberikan kata maaf dalam menyelesaikan berbagai konflik. Begitu juga dengan agama-agama lainnya. Maka disinilah tiap-tiap agama harus bersifat toleran dengan mencari titik temu dan mengakui perbedaan yang ada serta membiarkan perbedaan itu demi terciptanya kehidupan yang madani (berperadapan).



Read more!

Thursday, January 8, 2009

Al-qur’an dan Pemahaman terhadap al-Qur’an

Prolog
Al-qur’an adalah wahyu Ilahi yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Al-qur’an sebagai pedoman bagi umat Islam diyakini telah tertulis dalam bentuk mushhaf, dan bersifat turun-temurun di antara umat Islam. Pun demikian yang terjadi pada pemahaman al-Qur’an. Di sisi lain, al-Qur’an mengandung unsur kebahasaan yang dapat dipahami oleh orang-orang yang memiliki kesamaan bahasa.

Kedua unsur tersebut memunculkan dua metodologi pembahasan yang berbeda. Pertama metodologi bi al-Ma’tsûr. Metodologi pemahaman al-Qur’an yang dititik beratkan berdasarkan pada penukilan-penukilan hadis Nabi Saw, perkataan para Sahabat dan Tabi’in. Kedua metodologi linguistik. Metodologi pemahaman al-Qur’an berdasarkan unsur kebahasaan yang terkandung di dalamnya.

Pada makalah lanjutan ini, penulis akan lebih mengenengahkan kajian tentang tafsir bedasarkan metodologi linguistik. Kajian ini akan penulis bagi menjadi dua unsur utama yaitu

tafsir sosio-linguistik dan tafsir sensibility (isyâry). Sebagai pengantar dari dua pembahasan tersebut, penulis akan menyinggung tentang Hermeneutik sebagai metodologi pembacaan teks yang rame dibicarakan.

Hermeneutik, Takwil dan Tafsir

Konotasi wacana bersifat variatif dan warna-warni. Perkembangan ilmu pengetahuan telah mencapai sebuah gambaran secara umum tentang konotasi wacana. Gambaran yang terdiri dari perkataan, pendengaan, tulisan, rumus, simbol, istilah dan sebagainya. dengan prestise bahwa arti konotasi wacana adalah teks yang tunduk pada kaidah analisa wacana. Maka di sini terjadi pergeseran dari arti konotasi wacana menuju arti konotasi analisis, yang tidak hanya menyempurnakan konotasi wacana, melainkan juga menyempurnakan analisa perkataan, perbuatan dan kaidah-kaidah yang berkaitan dengannya. Wacana tidak hanya terdiri dari kalimat yang terbentuk dari kaidah-kaidah tertentu, akan tetapi juga mencangkup gambaran lafadz dan keterkaitan yang jelas untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Oleh karena itu, wacana tidak hanya menjelaskan tentang teks dan kalimat akan tetapi juga menjelaskan tentang pola pikir dan sudut pandang. Bahkan wacana menjelaskan tentang adanya kesinambungan antara perkataan dan perbuatan yang telah ditetapkan.

Wacana keagamaan tidak lepas dari pembahasan atas perkataan-perkataan dan teks-teks tertulis yang muncul dari institusi agama dan agamawan, atau muncul dari ideologi keagamaan atau teologi. Dengan kata lain, wacana keagamaan muncul dalam bentuk kitab, retorika atau artikel-artikel.

Pada dasarnya arti konotasi wacana tumbuh dalam rana linguistik-semiotik, namun kemudian mengalami pergeseran ke ilmu sosial seperti antropologi, ilmu psikologi, dan politik. Pembahasan tersebut berlandaskan pada kaidah analisa wacana, sehingga berusaha untuk membuka tabir-tabir yang tersimpan dalam teks-teks dan proyeksi pemikiran. Serta menyikap makna-makna yang terkandung di dalam teks.
Analisa wacana melihat pada kalimat baik bersifat verbal maupun dalam bentuk teks yang mencerminkan tingkah laku (perbuatan) masyarakat, dengan kata lain bahwa kalimat adalah bagian dari tingkah laku.

Bagi Paul Ricoeur teks yang tertulis adalah kalimat yang telah sempurna pada waktu penulisannya. Oleh karena itu, maka sesuatu yang berkesesuaian dengan analisa penulisan memiliki kesesuaian dengan analisa teks. Sehingga kalimat menjadi sempurna di antara batasan-batasan masa kini, sementara teks menjadi sempurna pada waktu yang telah berlalu. Dengan kata lain, pengarang menulis pada saat pembaca tidak ada, begitupula sebaliknya. Maka tidak heran kiranya jika teks bergelindang dengan kebebasan, yang menjadikannya tema sebagai upaya dialog dengan teks-teks lain ketika dibaca atau pada saat pengulangan bacaan. Teks dalam konteks ini merupakan kumpulan dalil-dalil, tanda-tanda, makna, bentuk dalam rumus linguistik yang terpancar bebas dan menerima pemahaman, dan penafsiran atau takwil.

Paul Ricoeur membedakan antara proses pemahaman dan pemahaman yang dihasilkan dari proses tersebut. Ricouer membagi teori hermeneutik menjadi tiga bagian, pertama; hermeneutik dan femenologi, kedua; hermeneutik historis-semiotik, dan ketiga; hermeneutik dan ideologi.

Dalam teori femenologinya, Ricoeur memaparkan tiga persoalan utama dalam melakukan penelitian. Pertama; memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan akan keluasan pemakaian bahasa dan bentuk-bentuknya yang tidak mengalami reduksi. Kedua; perhatian atas berbagai macam dan bentuk yang berserakan sebagai permainan pengkisah, sepanjang pertumbuhan kebudayaan yang diwariskan. Terkadang sebuah kisah yang terlalu indah seringkali bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya, atau bahkan bertentangan dengan teori ilmiyah. Seperti persoalan yang terjadi dalam kisah dan kesusastraan yang berhubungan dengan sejarah, atau sejarah itu sendiri. Pada bagian lain, persoalan muncul di antara para penghayal. Penghayal yang menghasilkan drama, dongeng, atau bahkan kisah yang tidak lagi menggunakan keindahan bahasa seperti film dan sinema.

Lebih lanjut Ricoeur menjelaskan bahwa cerita yang mengkisahkan peradaban manusia adalah produk yang bersifat temporal. Setiap kisah terjadi pada masanya, kemudian akan tenggelam oleh peredaran jaman. Meskipun setiap persoalan memiliki batasan-batasan, namun dengan keluasan bahasa baik berupa makna asli ataupun kiasan akan menjadi persoalan yang padat. Ricouer mengategorikan persoalan-persoalan tersebut dalam satu terma yaitu ‘pemprosesan’.

Dengan demikian muncul persoalan ketiga yaitu perhatian atas kemungkinan menghadirkan problematika jaman dan cerita yang mengalami sedikit kerumitan dalam pemprosesan. Yaitu dengan mengadakan penyeleksian terhadap kaidah bahasa, di mana ketika kaidah tersebut tersusun secara rapi akan membentuk ungkapan atau phrase atau dengan kata lain disebut teks. Teks menjelma sebagai bahasa yang memerlukan pembahasan dan menjadi perantara antara fenomena kehidupan masa lalu dengan cerita. Ketika sebuah problematika telah menjadi teks, maka berdasarkan teori di atas, diperlukan pembahasan dalam penggunaan bahasa berdasarkan standarisasinya, tentu saja hal itu memerlukan batasan-batasan, pengaturan dan penafsiran.

Dalam teori hermeneutik historis-semiotiknya, Ricouer mengartikan teks sebagai wacana yang tersimpan dalam bentuk tulisan. Lebih panjang Ricouer memaparkan hubungan antara teks dan kalimat atau perkataan. Kalimat atau ucapan muncul dari sosok yang menyampaikannya, sehingga pada sisi lain teks dalam konteks linguistik adalah implementasi dari kalimat atau ucapan. Realita menyatakan bahwa tulisan menimbulkan intrepretasi atau takwil. Hubungan antara pembaca dan teks bukan berupa hubungan dialegtika, atau tanya-jawab, melainkan bagai penyimak. Berbeda ketika pembaca bertemu dengan pengarang, maka hubungan yang akan terjadi antara mereka adalah hubungan dialektika ataupun tanya-jawab. Di sinilah letak perbedaan antara aktivitas pembacaan dan dialektika.

Dalam teori hermeneutik-ideloginya, Ricouer menghadirkan konsep ilmu sosial. Konsep yang membagi objek kajiannya menjadi dua bagian, pertama; kesadaran hermaneutik, kedua; kesadaran kritik. Ricouer membahas tentang teori hermeneutik-tradition yang di gagas oleh Gadamer yang dikritik oleh J. Harbemas. Pembahasan tersebut adalah kesadaran-historis dan kesadaran untuk mengembalikan kembali asumsi-asumsi dalam bentuk provokatis. Pemahaman teori tersebut terbagi menjadi tiga tingkatan, pertama; hukum terdahulu (awal), kedua; kekuasaan dan yang ketiga; tradisi yang berkembang. Pembahasan tersebut bertitik tolak pada kegagalan eksperimen yang muncul dari kesadaran modern dan keinginan untuk hidup merdeka.

Tafsir Sosio-Linguistik

Al-qur’an mengajak pada rasionalitas agama, dengan kata lain mengajak pada agama yang menjunjung tiggi fungsi akal dalam menyakininya. Berdasarkan pada keyakinan akan adanya Allah dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya baik secara akidah maupun syari’ah.

Disadari atau tidak, al-Qur’an sebagai Kitab suci dan Nabi Muhammad Saw sebagai utusan menjadi keistimewaan tersendiri bagi agama Islam. Istimewa dari agama-agama lain yang menjadikan pengetahuan terhadap agama muncul dari luar fungsi akal.
Kehidupan Nabi Muhammad Saw dan al-Qur’an menjadi tema yang terbuka bagi aktivitas akal. Hubungan antara Nabi Muhammad Saw dan al-Qur’an adalah hubungan keselarasan. Hubungan keseharian bahkan setiap waktu. Al-qur’an tidak hanya memposisikan Nabi Muhammad Saw sebagai utusan akan tetapi juga sebagai manusia yang memiliki kecenderungan dan kebiasaan sebagaimana manusia umumnya. Hal itulah yang mendasari para ulama tempo dulu dalam mengatakan bahwa tiap-tiap ayat dalam al-Qur’an memiliki asbâb al-nuzhûl.

Keyakinan adanya asbâb al-nuzhûl inilah yang pada akhirnya menjadikan beberapa ulama ahli tafsir berusaha untuk terus melakukan kajian berdasarkan konteks sosio masyarakat. Tafsir yang menjadikan masyarakat sebagai tujuan dari pembahasan ayat-ayat Ilahi. Tafsir yang selalu berubah sesuai dengan perubahan dan perkembangan masyarakat.

Selain itu, tafsir sosiologi yang berkembang pada masa kontemporer bertujuan sebagai upaya mempertahankan Islam dari rong-rongan, serta sebagai bukti bahwa al-Qur’an selalu selaras dengan pertumbuhan dan perkembangan jaman. Misalnya tafsir kesusastraan yang dilakukan oleh Amien Khuly, atau tafsir ilmy yang lakukan oleh Syekh Thanthawy dalam kitabnya al-Jawâhir. Alasan yang paling ekstrim adalah, bahwa tafsir terdahulu tidak memiliki landasan ilmiyah berupa eksperimen ilmiyah. Maka bukan sesuatu yang aneh jika dalam penafsiran al-Qur’an dinisbatkan pada bentuk materil.

Ulama ternama dalam tafsir sosiologi adalah Imam Muhammad Abduh. Abduh mengembangkan teorinya dengan berlandaskan pada sepuluh alasan, pertama; penyatuan dan pengkoordiniran makna dalam satu surat. Abduh melakukan penafsiran secara utuh dengan menyatukan ayat-ayat yang memiliki kesesuaian antara satu dan lainnya. Tak heran kiranya, jika Abduh menolak beberapa tafsir terdahulu yang tidak memperhatikan kesesuaian ayat-ayat yang ditafsirkan. Pemahaman terhadap surat-surat al-Qur’an menjadi landasan untuk memahami ayat-ayatnya, dan tema pembahasan menjadi landasan dalam memahami ayat-ayat yang diturunkan.

Kedua; keuniversalan al-Qur’an. Al-qur’an memiliki kandungan makna yang umum dan terus mengalir hingga hari Kiyamat. Keuniversalan itulah yang menentang adanya esklusivitas dalam pemaknaan. Al-qur’an memiliki cangkupan yang luas, ia berkaitan dengan etika, tradisi dan tingkah laku yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Di sinilah pentingnya kembali menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan perkembangan jaman.
Ketiga; posisi al-Qur’an sebagai sumber utama dalam penetapan syari’ah. Sehingga al-Qur’an harus dikedepankan daripada hasil ijtihad yang dilakukan oleh ulama-ulama fikih terdahulu. Hal itu berlandaskan pada kisah Mu’adz yang diutus oleh Rasulullah Saw ke Yaman. Mua’dz bin Jabal mengedepankan al-Qur’an sebagai sumber utama dalam menentukan hukum yang kemudian diikuti oleh Hadis dan Ijtihad.

Keempat; upaya Abduh menentang budaya taklid. Abduh sangat menyayangkan jika umat Islam berkeyakinan bahwa hasil ijtihad para ulama terdahulu telah bersifat final, tanpa melihat kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Bagi Abduh, Islam adalah agama universal sehingga menjadikannya agama yang memiliki keistimewaan di banding dengan agama lain. Islam adalah agama yang tidak memiliki batasan waktu dan ruang gerak. Oleh karena itu, Islam selalu selaras dengan pertumbuhan dan perkembangan yang ada hingga akhir masa.

Kelima; efektivitas pembahasan dan penggunaan pola pandang ilmiyah dalam penelitian dan pengambilan keputusan. Abduh memaparkan, bahwa al-Qur’an sejak awal telah mendorong umat Islam untuk melakukan penelitian dan perenungan terhadap ayat-ayatnya, terutama yang berkaitan dengan ayat penciptaan. Dengan kata lain, al-Qur’an adalah kitab suci yang dibaca sebagai perantara bagi manusia untuk melakukan penelitian dan perenungan.

Keenam; pemaksimalan fungsi akal dalam memahami al-Qur’an. Al-qur’an dan akal adalah bukti utama keberadaan Allah. Al-qur’an sebagai wahyu dan firman Allah bersifat mutlak, sedangkan akal manusia menjadi perantara mencapai kemutlakan. Maka sangatlah aneh jika akal dikatakan bertentangan dengan al-Qur’an.
Ketujuh; meniadakan kalimat yang berlebih-lebihan dalam menyikapi kalimat al-Qur’an yang tertulis secara samar. Abduh menolak penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang berlebihan. Bagi Abduh, pembahasan tersebut hanya menyita waktu dan tidak memiliki manfaat yang signifikan. Lebih lanjut Abduh mengatakan bahwa pola tafsir tesebut dipengaruhi oleh isyrâîliyât yang tidak memiliki kandungan makna ilmiyah.

Kedelapan; kehati-hatian dalam mengadopsi tafsir dari tafsir bi al-ma’tsûr dan cerita isyrâîliyât. Bagi Abduh tafsir bi al-ma’tsûr memiliki kelemahan-kelemahan yang terkadang muncul dari periwayatan yang tidak shahîh. Lebih lanjut Abduh mengatakan, bahwa kelak di hari akhir, manusia tidak akan ditanya tentang pendapat dan pemahaman orang lain, melainkan akan ditanya tentang kitab yang diturunkan-Nya dan tentang hadis yang menjelaskannya. Apakah ayat-ayat tersebut telah disebarkan? Dan apakah ayat-ayat yang ada telah direnungi larangan dan perintahnya?

Kesembilan; perhatian Abduh terhadap tatanan sosio-masyarakat dengan menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman atau petunjuk. Ketika al-Qur’an menyuruh untuk menafkahkan sebagian harta di jalan Allah, maka secara umum berkaitan dengan pendirian lembaga-lembaga amal, rumah sakit, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebangkitan masyarakat. Karena tanpa adanya hal tersebut, masyarakat tidak akan berkembang.
Kesepuluh; Usaha melindungi Islam dari rong-rongan pihak lain, terutama dari pengaruh Barat yang mengatakan bahwa agama adalah komunitas terbelakangan. Komunitas yang tidak memiliki ruh kemajuan.

Melihat alasan-alasan yang dijadikan sandaran tersebut, tak heran kiranya jika M. Abduh menasehati murid-muridnya agar terus membaca al-Qur’an dan memahami kandungan nilai, perintah, larangan, nasehat, dan pelajaran (ibrah) sebagaimana al-Qur’an dibaca pertama kali, oleh orang-orang Islam pada masa-masa awal diturunkannya. Serta menasehati para muridnya untuk berhati-hati dalam melakukan pembacaan terhadap tafsir terdahulu. Bahkan Abduh hanya menyarankan untuk membaca tafsir terdahulu, ketika mengalami kesusahan dalam memahami kaidah-kaidah atau makna ayat. Lantas Abduh menyarankan agar tiap-tiap muridnya membawa dirinya pada kepribadian yang dibentuk oleh al-Qur’an.

Di sinilah bisa dikatakan bahwa Abduh telah membuka kembali penafsiran al-Qur’an dengan bersandarkan pada kekuatan rasa yang sehat dan daya penglihatan. Abduh telah membongkar sistem tradisi penafsiran yang hanya mengekor pada pendahulunya. Selama akal manusia bersih dan sehat, selama manusia masih menikmati indahnya kemampuan daya akalnya yang sehat, maka dia memiliki hak untuk membuka rahasia-rahasia yang tersimpan dalam al-Qur’an tanpa harus menjadi pengekor dari pendahulunya.

Rasyid Ridha sebagai murid dari M. Abduh memiliki metodologi tafsir yang memiliki kesesuaian. Namun Rasyid Ridha lebih bersifat terbuka terutama masalah pembacaan tafsir-tafsir terdahulu. Rasyid Ridha banyak mengutuip tafsir Ibn Katsir dalam metodo tafsirnya.

Tidak jauh berbeda dengan M. Abduh, Sayyid Qutb juga menggunakan analisa sosiologi dalam tafsirnya. Namun Sayyid Quth lebih menekankan pendekatannya pada konteks agamis. Hal itu bisa dilihat ketika Sayyid Quth menyatakan bahwa Islam adalah solusi bagi problematika masyarakat.

Dalam pengantar tafsirnya, Sayyid Quth mengatakan bahwa hidup dalam naungan al-Qur’an sangatlah nikmat. Kenikmatan yang tidak dapat dinikmati kecuali bagi orang-orang yang merasakannya. Kenikmatan yang menyebabkan kehidupan manusia menjadi mulia, terhormat dan suci.

Sayyid Qutb menyakini bahwa tidak ada kemaslahatan di dunia serta kebahagiaan, ketenangan, ketentraman, keberkahan bagi manusia kecuali kembali kepada Allah. Jalan menuju Allah hanya satu yaitu dengan kembali kepada al-Qur’an dan Hadis dengan kekuatan imam.

Al-qur’an telah melakhirkan individu-individu dan masyarakat baru. Al-qur’an sebagai manhaj Ilahi telah mengajak pada produktivitas manusia. Al-qur’an yang turun pada masa Jahiliyah, masa kemunduran, masa yang tidak memiliki arah dan etos kerja. Di sinilah Sayyid Qutb memulai langkah tafsirnya dalam mensinergikan antara al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan realita serta kemajuan masyarakat.

Secara garis besar, metode sosiologi yang dipake oleh para mufassir bertujuan untuk menghidupkan kembali ruh Islam, yang tersirat dalam al-Qur’an. Serta membuktikan bahwa al-Qur’an adalah mu’jizat yang selaras dengan kemajuan dan pertumbuhan jaman.
Al-qur’an adalah wahyu Ilahi yang di sisi lain diturunkan dalam bentuk bahasa Arab. Keberadaan al-Qur’an dengan bahasa Arab itulah yang pada akhirnya memunculkan berbagai bentuk penafsiran. Pada dasarnya tafsir linguistik telah ada pada masa diturunkannya al-Qur’an. Hal itu terjadi ketika para sahabat berusaha menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemampuan bahasa masing-masing.

Namun pada abad ke II H. tafsir meluas ke berbagai disiplin ilmu, sehingga daya tarik untuk mempelajari keindahan seni al-Qur’an mulai terkikis. Pun jika ada kesadaran itu hanya terbatas pada lafadz dan makna. Keterkikisan itu diperkuat dengan adanya keyakinan bahwa al-Qur’an tidak hanya terdiri dari lafadz dan makna, akan tetatpi mencangkup berbagai hal yang berkaitan dengan penglihatan, pendengaran dan daya khayal.

Penulis menilai, pertumbuhan dan perkembangan tafsir hanya akan bisa dilakukan, ketika mengembalikan al-Qur’an sebagai teks yang tersusun dari kaidah-kaidah bahasa Arab. Dengan demikian maka, pemahaman terhadap al-Qur’an akan terus mengalir seiring dengan perkembangan bahasa. Tentu saja dalam konteks ini, penafsiran al-Qur’an akan bersifat esklusif, dengan kata lain hanya akan bisa di pahami oleh orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan berbahasa.

Namun di sisi lain, tujuan dari al-Qur’an adalah menjadi petunjuk dan pedoman bagi yang mempecayainya, sehingga sejauh mana pengaruh al-Qur’an tersebut tergantung pada tujuan dan kemampuan masing-masing. Dalam konteks ini, al-Qur’an bisa dipahami oleh siapa saja yang bertujuan menjadikannya sebagai petunjuk dalam mencari kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Tafsir Isyâry

Al-qur’an adalah kitab suci yang tidak ada duanya, kitab suci yang dianggap syair sekaligus sihir. Kitab suci yang pada akhirnya menjadikan orang yang ingkar menjadi beriman, atau bahkan semakin mengingkarinya. Dalam riwayat dikatakan bahwa Umur bin Khathab ketika mendengar al-Qur’an hatinya bergetar, air matanya mengalir dan akhirnya ia pun meyakini Islam.

Tafsir Isyâry pertama kali muncul pada masa Rasulullah. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Ibn Abbas dan Umar bin Khathab. Mereka menafsirkan surat al-Nasr sebagai pertanda ajal Nabi Muhammad Saw telah dekat.

Tafsir mengalami perkembangan pesat terutama pada masa Abbasiyah. Masing-masing orang melakukan penafsiran berdasarkan minat dan kegemarannya. Ahlu Hadis menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan hadis Nabi Muhammad Saw. Ahlu Kalam menafsirkannya berdasarkan keyakinan mazhab atau alirannya. Para filosof menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan teori filsafatnya , sehingga seringkali mereka melakukan penafsiran yang terkadang tidak nampak dalam alam fisika. Kaum tasawuf menafsirkan al-Qur’an dengan makna bâthiniyyah tanpa peduli dengan makna zhâhiriyyah, sehingga terkesan melupakan asbâb al-nuzûl dan lebih memilih takwil, dengan menafsirkan ayat berdasarkan lafadz dan makna.

Syeikh Imam al-Jauzi mengategorikan tafsir isyâry dengan konsep Qiyas yang dipake para fuqaha dalam menentukan hukum syari’ah. Sejauh mana faliditas tasfir disesuaikan dengan standarisasi Qiyas.

Menurut Imam al-Banna metode terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt adalah dengan menggunakan hati. Ketika membaca al-Qur’an dengan penuh khusyu’ dan diperkuat dengan penghayatan serta pengetahuan tentang sejarah Nabi Muhammad Saw dan al-Qur’an sendiri akan mendatangkan penafsiran yang luar biasa.

Tafsir isyâry yang mengarah pada makna bâthiniyyah diumpamakan dengan perkataan kaum sufi. Tafsir yang terkadang tidak memiliki landasan secara epistemologi dalam makna aslinya. Secara khusus tafsir tersebut dinisbatkan kepada Muhyiddin ibn Araby.
Muhyiddin Ibn Araby dalam mukaddimah tafsirnya mengungkapkan kisah spritualnya sebagaimana yang dialami oleh Umar bin Khattab. Ibn Araby mengisahkan pengalamannya ketika membaca al-Qur’an dengan penuh keimanan. Hatinya bergetar, jiwanya merasa cemas. Kecemasan yang tidak mampu diselesaikan kecuali setelah ia merasakan manisnya perasaan yang ia rasakan. Bagi Ibn Araby, ayat-ayat al-Qur’an pada dasarnya memiliki makna zhâhiriyyah yang disebut dengan tafsir dan bâthiniyyah yang disebut dengan takwil. Selain itu, Ibn Araby mengatakan bahwa pada tiap-tiap ayat al-Qur’an memiliki batasan-batasan dan tangga atau landasan pacu.

Batasan yang dimaksud adalah akhir dari ketidakmampuan seseorang dalam memahami makna yang terkandung di dalamnya. Sedangkan yang dimaksud dengan tangga adalah segala sesuatu yang menuju kepadanya, sehingga dapat menghasilkan penyaksian akan adanya Dzat Maha Diraja.

Ibn Araby mengutip riwayat yang diriwayatkan oleh Ja’far bin Shadiq bahwa Allah Swt menjelma dalam firman-Nya, akan tetapi tidak satupun yang mampu melihat-Nya. Ibn Araby pun meriwayatkan bahwa barangsiapa yang menafsirkan ayat-ayat bâthiniyyah tanpa memperhatikan ayat-ayat zhâhiriyyah dan batasan-batasan yang ada, maka ia telah kufur.

Namun bagi Ibn Araby hal itu tidak berkesesuaian dengan kondisi masing-masing pendengar atau penikmat al-Qur’an. Semakin sering seseorang membaca dan mendengarkan al-Qur’an, maka semakin banyak pintu-pintu baru yang terbuka lebar.

Secara garis besar tafsir isyâry menghendaki adanya pembacaan al-Qur’an dengan berlandaskan pada kesadaran dan kekuatan perasaan dalam memahami makna-makanya yang tersurat dan tersirat. Sepanjang perkembangan tafsir ini, hanya dimiliki dan dialami oleh orang-orang tertentu yang telah mencapai tahapan-tahapan khusus.

Epilog

Al-qur’an selain wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, ia telah menjelma menjadi kumpulan teks bahasa yang memiliki makna luar biasa. Teks yang tidak menemukan padanan sejak ia diturunkan. Teks yang dianggap sebagai kumpulan syair, namun tidak ada satu sastrawanpun yang mampu menandingi keindahannya. Teks yang dikatakan sihir, namun tak satupun ahli sihir yang mampu menyamainya.

Semakin indah susunan kata dalam teks, maka semakin banyak kandungan kata di dalamnya. Teks yang akan terus berkembang dengan adanya pemahaman-pemahaman baru. Teks yang akan terus menghasilkan produktivitas individu dan masyarakat.

Teks akan terus berjalan sepanjang ia dilestarikan dengan makna-makna baru yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan jaman. Kemampuan menyikap makna-makna akan mempengaruhi kekuatan dan pengaruh teks. Hal inilah yang menjadi tema kajian hermeneutik. Dan salah satu landasan tafsir sosiologi, dengan kata lain, kandungan bahasa yang ada dijadikan pijakan dengan akal sebagai alat untuk terus menafsirkan teks. Toh walalupun terkadang tafsir sosiologi terkesan materialis yang kaku dan menganggap bahwa tiap-tiap ayat memiliki asbâb al-nuzûl. Padahal berdasarkan riwayat yang shahîh ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki asbâb al-nuzûl tidak lebih dari 472 ayat dari 6236 ayat atau sekitar 7,5 %.

Pun demikian yang terjadi pada tafsir isyâry. Bahasa menjadi pijakan utama dengan kesadaran dan kekuatan perasaan sebagai media untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Namun pada konteks ini, tafsir terkesan esklusif yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Tentu saja hal itu bertentangan dengan ruh al-Qur’an yang pada dasarnya adalah pedoman bagi tiap-tiap orang yang mengimaninya tanpa ada pengecualian.

Terlepas dari itu semua, pemahaman terhadap al-Qur’an sebagai teks harus selalu diperbaharui dengan pembacaan dan penafsiran yang intensif, tentu saja tanpa mengurangi rasa iman akan kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu yang telah sempurna.
Wallahu a’lam...

Daftar Pustaka:
1. Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Muqaddimah Ibn Khuldûn, ditahqiq oleh Dr., Ali Abdul Wahid Wafi, Maktabah al-Usrah, Kairo, jilid 3, 2006
2. Dr., Ahmad Zayid, Shuwr al-Khithâb al-Dîny al-Mu’âshir, Maktab al-Usrah, Kairo, 2007
3. Paul Ricouer, min al-Nash ilâ al-Fi’l Abhâts al-Ta’wîl, ditrjm., Muhammad Barrad dkk, EIN for Human and Social Studies, Alharam, November, 1986
4. Dr., Muhammad Abid al-Jabiry, Madkhal ilâ al-Qur’ân al-Karîm al-Juz al-Awwal fî al-Ta’rîf bi al-Qur’ân, Markaz Dirâsât al-Wihdah al-’Arabiyyah, Beirut, jilid 1, 2006
5. Al-a’lâmah Sayyid Muhammad Husaien al-Thabâthabâiy, al-Mizân fî Tafsîr al-Qur’ân, Muassasah al-‘Alamy li al-Mathbû’ât, cet., I,1991
6. Jum’ah Amien Abdul Aziz, Silsilah min Turâts al-Imâm al-Bannâ al-Kitâb al-Tsâmin al-Tafsîr, Dâr al-Da’wah, Iskandariyah, cet., I, 2005
7. Dr., Abdullah Mahmud Syahata, al-Imâm Muhammad Abduh Baina al-Manhaj al-Dîny wa al-Manhaj al-Ijmimâ’iy, al-Haiah al-Mishriyah al-‘Âmah li al-Kitâb, Kairo, 2000
8. Al-Sayyid Yusuf, al-Imam Muhammad Abduh râid al-Ijtihâd wa al-Tajdîd fî al-‘Asyr al-Hadîts, Maktabah al-Usrah, Kairo, 2007
9. Sayyid Qutb, fî Zhilâl al-Qur’ân, Dâr al-Syrûq, Beirut, cet. XVII, jilid. I, 1992
10. Sayyid Qutb, al-Tashawur al-fanny fî al-Qur’ân, Dâr al-Syurûq, Beirut, cet. V, 2001
11. Dr. Musthafa Labib Abdul Ghani, Tafsîr al-Fâthihah wa Juz ‘Ammâ li’l Ustâdz al-‘Imâm al-Syêikh Muhammad Abduh, al-Hay’ah al-‘Âmah li Qushûr’l Tsaqâfah, Kairo, al-Dzakhâir 162, 2007
12. Muhyiddin Ibn Araby, Tafsîr Ibn ‘Araby, Dâr Shâdir, Beirut, jilid I



Read more!

Pengantar Ilmu Tafsir

Prolog

Al-qur’an adalah wahyu terakhir yang diturunkan kepada umat manusia melalui nabi Muhammad Saw sebagai landasan menuju cahaya Ilahi. Al-qur’an turun sebagai mu’jizat bagi nabi Muhammad. Kemu’jizatan al-Qur’an dapat dilihat dari berbagai aspek. Bahasa yang digunakan al-Qur’an menjadi salah satu bukti konkret akan kebesarannya. Bahkan untuk menunjukkan keautentikan al-Qur’an, Allah pun menantang semua makhluk untuk membuat atau mengarang ayat-ayat yang menyerupai ayat-ayat al-Qur’an.

Al-qur’an sebagai kitab suci memuat berbagai persoalan yang menjadi kebutuhan manusia. Secara garis besar, kandungan al-Qur’an terdiri dari ajaran tauhid, syariah, cerita-cerita masa lalu. Al-qur’an turun sebagai landasan bagi umat Islam dalam menjalankan roda kehidupan. Tentu menjadi keharusan bagi umat Islam untuk membaca, mengkaji dan mempelajari nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an tersebut.

Kepedulian umat Islam terhadap al-Qur’an telah terbukti sejak masa nabi Muhammad. Allah Swt membebani nabi-Nya untuk menghafal ayat-ayat al-Qur’an serta menyampaikannya kepada umat manusia dengan disertai penjelasan-penjelasan. Selain itu,

umat Islam yang ada pada waktu itu telah dengan mudah memahami sebagian besar ayat-ayat al-Qur’an. Hal itu tentu karena al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa mereka yaitu bahasa Arab.

Kemampuan berbahasa yang dimiliki masing-masing individu menjadikan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an bersifat variatif. Usaha-usaha untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an itulah yang pada akhirnya dikenal dengan disiplin ilmu tafsir.

Tentunya, membahas ilmu tasfir bukan merupakan hal yang mudah, hal itu karena bersentuhan langsung dengan al-Qur’an sebagai kitab dan pedoman bagi umat Islam. Posisi al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi yang diturunkan kepada seorang nabi yang paling sempurna, dengan memuat pesan-pesan agung dan mulia, mengharuskan bagi individu yang ingin mempelajarinya memiliki kemampuan akal dan hati yang bersih.

Melihat besar dan beratnya beban dalam menafsirkan al-Qur’an, al-Suyuthi memaparkan beberapa syarat khusus yang harus dilalui oleh tiap-tiap mufassir (ahli tafsir). Di antara persyaratan tersebut adalah; menguasai gramatikal bahasa Arab, ilmu balâghah, ilmu bayân, usûl al-din, usûl al-fiqh, ilmu qirâ’ah, asbâb al-nuzûl, al-nâsikh wa al-mansûkh, qashash al-Qur’an, dan hadis yang berkaitan dengan penafsiran al-Qur’an. Muhammad Abduh juga mengatakan bahwa seorang mufassir harus memenuhi beberapa persyaratan diantaranya; memahami lafal atau kosa kata yang termuat dalam al-Qur’an, memahami gramatikal al-Qur’an, memahami kondisi sosio masyarakat yang dibahas oleh al-Qur’an, mengetahui kondisi masyarakat ketika diturunkannya al-Qur’an dan mengetahui sejarah nabi Muhammad Saw serta para sahabat (pengikut nabi pada masanya) yang telah menjalankan ajaran-ajaran al-Qur’an.

Namun di sisi lain, tujuan tafsir al-Qur’an adalah memahami dan menangkap perintah-perintah Ilahi untuk dilaksanakan, dengan keyakinan bahwa al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sementara Allah Swt memberikan kemudahan kepada hamba-Nya dalam memahami perintah-perintah-Nya sesuai dengan batas kemampuan masing-masing individu. Dengan kata lain setiap orang berhak melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an sesuai dengan kemampuan yang ia miliki.

Pada makalah ini, penulis akan berusaha memaparkan beberapa hal yang berkaitan secara langsung dengan disiplin ilmu tafsir. Pembahasan ini terdiri dari sejarah perkembangan ilmu tafsir yang mencakup metodologi tafsîr al-Qur’ân bi al-Ma’tsûr dan metodologi tafsîr al-Qur’ân bi al-Ra’yi. Di akhir artikel, penulis tutup dengan epilog sebagai pandangan penulis terhadap hasil kajian atau penelitian yang telah penulis lakukan.

Sejarah Perkembangan Tafsir

Al-qur’an merupakan satu-satunya kitab suci yang terjaga keautentikannya baik secara lisan (hafalan) maupun tulisan. Muhammad Arkoun mengatakan bahwa kelebihan dan keutamaan yang dimiliki al-Qur’an dibanding dengan nash-nash atau teks-teks Arestatolis, Plato dan sebagainya terletak pada nilai-nilai atau kekuatan iman yang terkandung di dalamnya.

Beberapa riwayat berselisih tentang pengumpulan al-Qur’an pertama kali. Ada riwayat yang mengatakan bahwa al-Qur’an telah terkumpul rapi sejak masa nabi Muhammad. Proses pengumpulannya dilakukan oleh Ibnu Sa’di. Dalan riwayat lain dikatakan bahwa proses pengumpulan al-Qur’an pertama kali dilakukan pada masa awal khalifah Rasyidin.

Kaum Syi’ah mempercayai bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pelopor yang menjaga dan memelihara al-Qur’an berupa tulisan yang ia tulis di lembaran-lembaran, kain tempat tidur yang ia ambil dari bawah bantal nabi. Diriwayatkan bahwa pengumpulan al-Qur’an berdasarkan pada kumpulan ayat-ayat al-Qur’an yang telah Ali bin Abi Thalib tulis sesuai dengan perintah nabi. Pendapat ini lebih didasarkan pada kecintaan para pengikut Syi’ah yang senantiasa mengagung-agungkan imamnya. Secara resmi, al-Qur’an dibukukan (dalam bentuk mushaf) pada masa khalifah Utsman bin Affan.

Islam dengan al-Qur’an sebagai kitab suci menawarkan perubahan-perubahan pada berbagai aspek kehidupan. Secara gari besar, perubahan-perubahan itu berupa perubahan keagamaan, sosial dan etika. Tawaran misi-misi itulah yang pada akhirnya mempercepat laju penyebaran agama Islam. Maka disinilah pentingnya mengkaji kembali ayat-ayat al-Qur’an.

Tafsir dalam bahasa terkini dikenal dengan istilah hermeneutik, yang secara makna berarti menafsirkan, menerjemahkan. Islam tumbuh dan tersebar sebagai agama Ilahi yang ditopang oleh kitab suci al-Qur’an. Hal itu juga berlaku bagi agama-agama samawi lainnya. Satu-satunya jalan untuk memahami pesan-pesan Ilahi tersebut adalah dengan cara mempelajari, menafsirkan, menakwilkannya. Usaha memahami ajaran-ajaran agama telah menjadi kebiasaan bagi tiap-tiap pengikut agama khususnya para pembesar atau ulama agama.

A. Metodologi Tafsir bi al-Ma’tsûr

Umat Islam masa nabi Muhammad melakukan penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan tiga cara diantaranya, pertama; berdasarkan pada al-Qur’an sendiri. Hal itu diambil jika di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang ayat-ayat lain yang bersifat lebih umum. Kedua; berdasarkan pada hadis nabi atau penjelasan yang datang dari nabi. Jika umat Islam (para sahabat) tidak menemukan keterangan atau penjelasan secara rinci dalam al-Qur’an, mereka meminta petunjuk dan penjelasan kepada nabi Muhammad. Hal itu karena selain sebagai penyampai wahyu, nabi Muhammad juga dibebani atau diwajibkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan atas wahyu-wahyu Ilahi.

Ahlu’ Sunnah wa al-jamâ’ah berpendapat bahwa nabi Muhammad adalah seorang mufassir al-Qur’an, dan untuk mengetahui hal itu harus melalui hadis-hadis nabi. Dengan demikian, pengungkapan dan penyikapan tujuan Ketuhanan tidak bisa dilakukan tanpa berpedoman pada hadis nabi. Ketiga; jika umat Islam (para sahabat) tidak menemukan keterangan dalam al-Qur’an dan hadis, mereka berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pemahaman dan ijtihad. Perkataan para sahabat nabi selanjutnya dijadikan rujukan dalam penafsiran al-Qur’an. Hal itu karena para sahabat nabi termasuk orang-orang yang tahu dan mengalami secara langsung sejarah diturunkannya al-Qur’an. Metode penafsiran versi sahabat dibagi menjadi dua, pertama; tafsîr marfû’, yaitu perkataan atau penafsiran yang dilakukan oleh sahabat dan diketahui secara langsung oleh nabi. Kedua; tafsîr mawqûf, yaitu tafsir yang murni dari hasil ijtihad para sahabat.

Pada masa Tabi’in, pintu ijtihad masih terbuka lebar. Begitu pula yang terjadi pada perkembangan metode tafsir. Ketika para Tabi’in tidak menemukan penjelasan tentang ayat-ayat al-Qur’an dari al-Qur’an, hadis dan perkataan para sahabat nabi, mereka tidak segan-segan untuk berijtihad. Metode penafsiran tersebut di atas dikemudian hari lebih dikenal dengan tafsîr al-Qur’ân bi al-Ma’tsûr.

Namun tafsir al-Qur’an yang dilakukan oleh Tabi’in masih dalam perdebatan, apakah ia termasuk dalam kategori tafsîr al-Qur’ân bi al-Ma’tsûr atau tidak? Ibnu Taymiyah mengutip perkataan Sya’bah bin al-Hujjâj yang mengatakan bahwa tafsir Tabi’in tidak termasuk dalam kategori tafsîr al-Qur’ân bi al-Ma’tsûr. Secara umum, penafsiran Tabi’in dapat diterima sebagai bagian dari tafsîr al-Qur’ân bi al-Ma’tsûr.

Metode tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yang berasal dari hadis yang sengaja dibuat-buat atau dipalsukan. Selain hadis palsu juga terdapat cerita-cerita atau dongeng-dongeng masa lalu yang lebih dikenal dengan istilah isrâîliyât. Isrâîliyât adalah cerita-cerita masa lalu yang tersebar di kalangan umat Islam yang bersumber dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani).

Pengaruh Luar terhadap Metodologi Tafsir al-Ma’tsûr

Telah menjadi keyakinan bagi orang-orang Arab, bahwa ahlu Kitab adalah golongan terdidik dan ahli agama. Hal ini diperkuat oleh Ibnu Khuldun yang menyatakan bahwa orang Arab (tempo dulu) bukanlah orang-orang yang berilmu melainkan adalah orang-orang yang buta huruf dan badui, sehingga ketika mereka ingin mengetahui sesuatu (seperti masalah wujudiyah dan alam ciptaan) sebagaimana fitrah manusia pada umumnya, maka mereka menanyakannya kepada ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani. Namun setelah nabi datang dengan membawa risalah, maka orang Arab pun berpegang teguh terhadap hukum-hukum syari’ah. Bahkan sebagian besar dari pembesar-pembesar ahlu kitab menyatakan diri masuk Islam, diantaranya; Ka’ab bin Akhbar, Abdullah bin Salam.

Muqatil bin Sulaiman adalah sampel dari sekian banyak orang Islam yang mempelajari al-Qur’an melalui Yahudi dan Nasrani dan menjadikan al-Qur’an sesuai dengan ajaran-ajaran kitab-kitab mereka. Bahkan ada sebagian golongan yang mempelajari al-Qur’an dari cerita-cerita Yahudi dan Nasrani serta menyakininya sebagai tafsir al-Qur’an.

Persoalan isrâîliyât pada masa nabi tidak memiliki peran penting karena umat Islam disibukkan dengan hafalan al-Qur’an dan peperangan. Namun, setelah nabi wafat, isrâîliyât di tubuh umat Islam menjadi jamur. Hal itu yang pada akhirnya menyebabkan lemahnya metode tafsîr al-Qur’ân bi al-Ma’tsûr. Faktor lain yang menjadi pelemah metode itu adalah, pertama; tipu muslihat yang dilakukan oleh orang-orang kafir dari kalangan Yahudi, Persia dan Romawi yang menyatakan diri masuk Islam, dikemudian hari mereka membuat hadis-hadis palsu dengan dalil rasa cinta yang tinggi kepada ahlu bait. Hal itu mereka lakukan karena merasa tidak mampu menyerang Islam melalui medan pertempuran fisik. Kedua; pergolakan politik pasca wafatnya nabi Muhammad. Masing-masing umat Islam membuat golongan (madzhab) tersendiri. Ironisnya, ajaran-ajaran agama dijadikan justifikasi untuk membenarkan segala tindakan. Ketiga; semaraknya dongeng-dongeng masa lalu yang bersumber dari isrâîliyât. Dongeng itu bertujuan untuk mengajak orang-orang awam yang secara psikis lebih tertarik pada hal-hal aneh. Keempat; munculnya sebagian aliran zuhud dan tasawuf yang membuat hadis-hadis palsu untuk membenarkan ritual ibadahnya. Kelima; wafatnya nabi Muhammad sebagai rujukan bagi umat Islam menjadikan sebagian umat Islam kembali pada masa awal di mana para ahlu kitab menjadi sumber atau rujukan untuk mengetahui berbagai persoalan.

Waktu terus berubah, persoalan dan kebutuhan masyarakat semakin pelik dan komplit. Ilmu-ilmu terus berkembang seiring kebutuhan masyarakat. Begitu pula yang terjadi pada disiplin ilmu tafsir. Ibnu Jarir al-Thabari merupakan mufassir awal yang secara resmi mengkodifikasikan tafsir dengan menitik beratkan pada pengambilan-pengambilan hukum dan i’rab. Kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Katsir yang secara teori memiliki syarat-syarat periwayatan lebih ketat dibanding pendahulunya. Cerita-cerita isrâîliyât yang dibahas Ibnu Katsir hampir semuanya memiliki landasan keabsahan. Berbeda dengan Ibnu Jarir al-Thabari yang cenderung mengumpulkan cerita-cerita isrâîliyât tanpa diadakan penfilteran terlebih dahulu.

B. Metodologi Tafsir bi al-Ra’yî

Ekspansi Islam semakin meluas, Islam dihadapkan pada masyarakat yang tidak lagi bersifat mono. Pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam melalui tafsir dituntut untuk bisa menjawab tiap-tiap kebutuhan masyarakat. Maka tidak heran jika dalam kondisi yang demikian metode tafsir telah mengalami perubahan. Masing-masing mufassir menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan masing-masing. Fakhruddin al-Razi lebih menekankan tafsirnya pada persoalan hukum-hukum dan filsafat. al-Qurthuby dengan tafsir fiqih, al-Tsa’laby dengan tafsir sejarah, Qadhi Abdul Jabbar, Juba’i, al-Rumany dengan tafsir ilmu kalam.

Perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam disiplin ilmu tafsir menandai adanya motode baru dalam mengkaji dan menafsrikan pesan-pesan Ilahi. Metodologi tersebut lebih dikenal dengan tafsîr al-Qur’ân bi al-Ra’yî.

Ibnu Taymiyah menolak adanya tafsîr al-Qur’ân bi al-Ra’yî, karena para sahabat dan tabi’in telah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga tafsir yang bertentangan dengan tafsir para sahabat dan tabi’in masuk dalam kategori salah dan bid’ah. Al-Suyuthi mengutib beberapa hadis yang melarang penafsiran al-Qur’an dengan al-Ra’yî.

Ibnu Asyur menyangkal pendapat dan pengutipan hadis-hadis nabi yang melarang secara keras medote penafsiran al-Qur’an bi al-Ra’yî. Bagi Ibnu Asyur, tafsir adalah seni-seni dalam memahami al-Qur’an. Keindahan dan keistimewaan al-Qur’an sendiri tedapat pada ragam seni-seni tersebut. Jika penafsiran al-Qur’an hanya berpegang pada tafsir-tafsir terdahulu tanpa adanya inovasi dari mufassir, maka tafsir al-Qur’an hanya berupa lembaran-lembaran yang minim.

Ibnu Asyur menjelaskan bahwa para sahabat nabi dan ulama-ulama terdahulu lebih mengfungsikan akal dan pengetahuan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Ibnu Asyur lebih cenderung menggunakan hadis yang menyatakan bahwa nabi Muhammad hanya menjelaskan al-Qur’an pada ayat-ayat tertentu. Selain itu, Ibnu Asyur juga mengutip pendapat al-Ghazali dan al-Qurthuby yang mengatakan bahwa tidak benar kiranya jika semua perkataan sahabat nabi bersumber dari nabi. Hal itu karena beberapa faktor, pertama; nabi Muhammad hanya menetapkan atau menafsirkan ayat-ayat tertentu dengan jumlah yang sedikit (sesuai hadis Aisyah), kedua; adanya perbedaan penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh para sahabat. Jika tafsir-tafsir sahabat berdasarkan penjelasan atau mendengar langsung dari nabi, maka secara otomatis penafsiran terhadap al-Qur’an akan sama. Para ahli fikih dan sastrawan beranggapan bahwa membaca sedikit dengan pemahaman yang mendalam jauh lebih bagus daripada pembacaan yang banyak akan tetapi dangkal pemahaman.

Ada sebuah kisah menarik yang seringkali dijadikan rujukan oleh para ahli fikih dan tafsir dalam usaha menafsirkan kembali ajaran-ajaran Islam. Kisah itu berkenaan dengan nabi Muhammad ketika berjalan melewati kebun kurma milik salah seorang Anshar. Kemudian nabi memberikan petunjuk kepada pemilik kebun tentang tata cara penanaman kurma. Namun pemilik kebun tersebut tidak mengikuti apa yang dikatakan oleh nabi karena melihat bahwa nasehat yang disampaikan nabi cenderung pada kemaslahatan yang lebih minim dibanding apa yang telah ia ketahui. Kemudian nabi mengatakan secara langsung bahwa pengalaman seseorang lebih diutamakan daripada pendapat orang lain.

Ibnu Khuldun memaparkan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab beserta susunan balaghahnya. Semua umat Islam memahami dan mengerti arti dan makna al-Qur’an. Pemahaman yang dimaksud tentunya memiliki kadar yang berbeda-beda sesuai dengan kemapuan masing-masing. Bahkan saling melengkapi satu sama lainnya.

Muhammad Abduh memaknai tafsir sebagai upaya memahami al-Qur’an dengan kaca mata agama sebagai pedoman bagi manusia dalam meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Maka disitulah maksud dari tujuan tafsir al-Qur’an itu. Sementara cara memahami dan menafsirkan al-Qur’an hanyalah media, wasilah, metode untuk mencapai tujuan.

Mungkin sebagian orang akan berpendapat bahwa tidak diperlukan adanya kajian-kajian atau tafsir-tafsir baru terhadap al-Qur’an, karena ulama-ulama terdahulu telah mengkaji dan menafsirkannya berlandaskan pada al-Qur’an dan Sunnah, serta telah memutuskan hukum-hukum berdasarkan tafsir-tatsir tersebut. Maka tidak ada celah untuk kembali menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, kecuali hanya dengan mengikuti apa yang telah ada. Menanggapi hal itu, Muhammad Abduh kembali mempertanyakan, bagaimana bisa orang itu berkata demikian sementara ia berada pada masa dengan kondisi masyarakat yang memiliki problematika fikih yang berbeda dengan masa nabi, entah kenapa pola pikir tersebut ada pada diri seorang Muslim?

Muhammad Abduh dalam dialognya bersama Rasyid Ridha mengatakan bahwa al-Qur’an tidak memerlukan penafsiran secara utuh, sesungguhnya al-Qur’an memiliki penafsiran-penafsiran yang saling melangkapi satu sama lainnya. Bagi Muhammad Abduh, yang terpenting adalah menafsirkan sebagian dari ayat-ayat al-Qur’an itu. Mungkin, di sinilah Muhammad Abduh memahami adanya perbedaan-perbedaan dalam penafsiran al-Qur’an sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan masing-masing mufassir. Muhammad Abduh menafsirkan al-Qur’an dengan menitik beratkan pada persoalan-persoalan ilmu kalam, filsafat, pembaharuan agama, masyarakat dan pemikiran. Metodologi yang digunakan oleh Muhammad Abduh adalah dengan mengikuti pola-pola tafsir yang digunakan oleh Mu’tazilah, Asy’ari (324 H), al-Maturidy (333 H), Abi Ja’fat Thahawy (321 H).

Muhammad Abduh berpendapat bahwa untuk menjadi seorang mufassir kontemporer harus menyandarkan diri kepada al-Qur’an, dengan berusaha memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya sebagaimana orang-orang Arab pertama kali memahami al-Qur’an. Tentu hal itu akan bisa dilaksanakan jika seorang mufassir telah mengetahui dan memahami bahasa Arab, sejarah nabi Muhammad, sosio masyarakat pada masa diturunkannya al-Qur’an. Muhamad Imarah menambahkan, bahwa Muhammad Abduh menyarankan bagi mufassir kontemporer untuk tidak merujuk pada tafsir-tafsir terdahulu kecuali hanya untuk mencari kosa-kata yang tidak ditemukan makna bahasa Arabnya. Karena tafsir-tafsir terdahulu hanya sesuai dengan kemampuan akal, ilmu pengatuhan, keadaan sosio kultural masyarakat pada waktu itu.

Muhammad Abduh dalam tafsirnya perpedoman langsung kepada kemampuan perasaan dan akal sehatnya. Tinjauan tafsir Muhammad Abduh lebih metitikberatkan pada prolematika sosial yang terjadi pada abad ke 19 tanpa mengkaji kembali tafsir-tafsir terdahulu. Muhammad Abduh melihat al-Qur’an dengan penglihatan kontemporer, khususnya yang berkaitan dengan Darwin.

Dengan demikian, metode al-ra’yi yang digunakan oleh Muhammad Abduh merupakan hasil dari ijtihad. Untuk itu, Muhammad Abduh menempatkan bahasa Arab sebagai bekal utama untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Muhammad Abduh mengingatkan bahwa salah satu keutamaan al-Qur’an adalah adanya transformasi dan penjelasan dari satu masalah ke masalah lain atau yang mendekati dalam satu kerangka tema yang sama.

Jamal al-Bannah menambahkan bahwa para sabahat berusaha memahami al-Qur’an sesuai dengan kemampuan masing-masing. Hal itu sebagaimana terjadi pada Umar bin Khattab yang mengahafal (mempelajari) surat al-Baqarah selama delapan tahun. Oleh karena itu, memahami atau menafsirkan al-Qur’an dengan metode bi al-ma’tsûr hanya akan menyempitkan tafsir itu sendiri.

Secara garis besar, penganut tafsir bi al-ra’yi menghendaki adanya perubahan pemahaman al-Qur’an dengan menjadikan akal sebagai pedoman kedua setelah al-Qur’an itu sendiri. Peran dan fungsi tafsir-tafsir terdahulu bagi mereka tidak lain hanya berupa hasil ijtihad yang bisa jadi tidak lagi relevan dengan keadaan saat ini, dan para mufassir kontemporer bisa melakukan seperti apa yang kaum mufassir tempo dulu lakukan.

Epilog

Al-qur’an turun sebagai pedoman dan petunjuk bagi orang-orang yang mempercayai adanya Tuhan. Jika ditimbang-timbang, maka keberpihakan al-Qur’an terhadap kepentingan manusia jauh lebih berat dibanding kepentingan Tuhan sendiri. Untuk memahami al-Qur’an maka tidak ada cara lain kecuali dengan mempelajari dan mengkajinya.

Melihat problematika masyarakat yang semakin maju dan semakin pesat, penulis berpendapat bahwa pemahaman terhadap al-Qur’an cukup dengan kemampuan masing-masing. Tentu saja hasil dari pemahaman itu tidak boleh dipaksakan ketika dipertemukan dengan pemahaman-pemahaman lain yang secara akal lebih nampak logis.

Semaraknya terjemahan-terjemahan al-Qur’an ke berbagai bahasa akan lebih memudahkan bagi tiap-tiap individu untuk memahami ayat-ayatnya. Namun penulis tidak menafikan pentingnya mempelajari dan menguasai bahasa Arab, karena al-Qur’an sendiri turun dalam bentuk bahasa Arab. Selain itu, pembacaan-pembacaan secara tidak langsung pada sumber-sumber ilmu akan menyebabkan pemahaman yang dangkal, dan sangat besar kemungkinan pembaca akan terpengaruh oleh penterjemah. Sehingga hal itu akan menyebabkan minimnya gaya kreasi dan inovasi yang muncul dari hasil perenungan dan pembacaan murni.

Al-qur’an bagaikan teks mati yang harus dihidupkan dengan penafsiran-penafsiran yang mengarah pada kemaslahatan manusia. Tafsir-tafsir yang telah ada dapat dijadikan landasan awal, wasilah untuk menciptakan tafsir-tafsir baru yang lebih manusiawi, kreatif, inovatif bukan sebagai pedoman utama. Wallaha’lam bi al-shawâb!

Daftar Pustaka:

1. Dr., Sulaiman Ma’rufy, fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Majlis’l Nasyr, al-‘Ilmy Jâmi’ah al-Kuwâit, Kuwait
2. Syeikh Rifa’ Rafi’ al-Thathawi, Nihâyah al-Ỉjâz fî Sîrah Sâkin al-Hijâz Sîrah’l Rasûl Saw, al-Dzakhâir 151, al-Haiah al-‘Âmah li Qushûr’l Tsaqâfah, Kairo
3. Shalahuddin Arqaradan, Mukhtashar al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân li’l Suyûthy, Dar’l Nafâis, Beirut, cet. II, 1987
4. Muhammad Abduh, Al-a’mâl al-Kâmilah li al-Imâm al-Syeh Muhammad Abduh, ditahkik oleh DR. Muhammad ‘Imârah, jilid 4, Dar al-Syurûq, Kairo
5. Muhammad Arkoun, Al-fikr al-Ushûly wa Istihâlah al-Ta’shîl Nahwa Târîkh Âkhar li Fikr al-Islâmy, trjm. Hasyim Shaleh, Dar al-Saqi, London, cet. I, 1999
6. Theodor Noldeke, Târikh al-Qur’ân, Trjm. Konrad Adenauer Stiftung, Beirut, cet. I, 2004
7. Dr., Muhammad Abdullah Daraz, Madkhal ilâ al-Qur’ân al-Karîm, Trjm. Muhammad Abdul al-‘Adhim Ali, Dâr al-Qalam li al-Nasyr wa al-Tawzî’, Kairo, cet. V, 2003
8. Muhammad Arkoun, al-Fikr al-‘Araby, ditrjm. Dr., ‘Âdil al-Awwâh, Jam’u Huqûq al-‘Arabiyyah fî al-‘Âlam Mahfûdzah li Dâr Mansyûrah ‘Awîdât, Bairut, cet. III, 1985
9. Qasim Ahmad, I’Âdah Taqyîm al-hadîts al-‘Awdah ilâ al-Qur’ân, Madmûly, Kairo
10. Dr., Abdul Ghaffar Abdurrahim, al-Imâm Muhammad Abduh wa Manhajatuhu fî al-Tafsîr, Dar al-Anshâr, Kairo, 1980
11. Dr., Jum’ah Ali Abduh al-Qâdir, al-Dâkhîl bainah al-Dirâsah al-Manhajiyyah wa al-Namâdzaj al-Tathbîqiyyah, Jâmi’ah alAzhar, Kairo, cet. I, 2006
12. Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Muqaddimah Ibn Khuldûn, ditahqiq oleh Dr., Ali Abdul Wahid Wafi, Maktabah al-Usrah, Kairo, jilid 3, 2006
13. Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islamy, ditrjm., Dr., Abdul Halim al-Najar, Maktab al-Khânijy, Kairo, 1955
14. Dr., Muhammad bin Muhammad Abu Syahibah, Al-Isrâîliyât wa al-Maudlû’ât fî kutub al-Tafsîr, Maktab’ Sunnah, Kairo, cet. II, 2006
15. Syeikh Muhammad al-Thâhir ibnu ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Dâr Suhnûn li al-Nasyr wa al-Tawzî’, Tunis,
16. Malik bin Nabi, Al-dzâhirah al-Qur’ân Musykilât al-Hadhârah, trjm., Abdus Shabur Syahin, Dâr al-Fikr, Beirut, 2000
17. Amin Khuly, Al-a’mâl al-Kâmilah Amîn al-Khuwaily Manâhij Tajdîd fî al-Nahw wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adzab, Maktab al-Usrah, Kairo, juz. 10, 1995
18. Dr.,‘Athif al-‘Irâqy, al-Syiekh Al-Imâm Muhammad Abduh wa al-Tanwîr Qarn min al-Zamân ‘Alâ wafâtihi, Dâr’l Rasyâd, Kairo, cet. I, 2006
19. Al-Sayyid Yusuf, al-Imam Muhammad Abduh râid al-Ijtihâd wa al-Tajdîd fî al-‘Asyr al-Hadîts, Maktabah al-Usrah, Kairo, 2007
20. Dr. Musthafa Labib Abdul Ghani, Tafsîr al-Fâthihah wa Juz ‘Ammâ li’l Ustâdz al-‘Imâm al-Syêikh Muhammad Abduh, al-Hay’ah al-‘Âmah li Qushûr’l Tsaqâfah, Kairo, al-Dzakhâir 162, 2007
21. Jamal al-Bannah, Tatswîr al-Qur’ân, Dar al-Fikr al-Islâmy, Kairo


Read more!

Monday, November 26, 2007

Kebebasan Wanita; Paparan Tentang Sejarah dan Realita (Seri 2)

Tinjauan Antropologis
Setiap lingkungan memiliki tradisi dan keyakinan yang mengakar di tengah-tengah masyarakat. Tradisi dan keyakinan tersebut dibentuk berdasarkan keinginan dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karena itu, kajian tentang antropologi merupakan keharusan dalam menilai sejarah secara objektif. Maka tidak lengkap kiranya jika kajian tentang wanita tanpa dilengkapi dengan kajian antropologis yang melatar belakangi adanya pengekangan dan tuntutan kebebasan wanita.

Arab pada abad ke-VI M masih berupa jazirah yang berada di kawasan Timur Tengah. Masyarkat yang berdomisili masih bersifat nomaden. Hal itu dikarenakan kebutuhan akan bahan makanan dan minuman yang menjadi kebutuhan pokok dalam melangsungkan kehidupan, sehingga apabila persediaan makanan telah habis maka mereka harus mencari tempat lain yang masih menyediakan kebutuhan bahan pokok tersebut. Kehidupan nomaden menjadikan watak dan sifat bangsa Arab keras dan kasar. Suasana itulah yang pada akhirnya menjadikan orang-orang Arab lebih bangga memiliki anak laki-laki dari pada wanita. Hak waris hanya diberikan kepada laki-laki, sementara wanita hanya menerima caci-maki yang tidak manusiawi.

Di Mesir, wanita memiliki penghormatan yang luar biasa. Wanita memiliki hak veto dalam memimpin pasukan. Kisah Cleopatra, Arlena Cawis, Nefertiti, menjadi bukti sejarah bahwa wanita di Mesir memiliki kekuatan dan kemampuan untuk memimpin pasukan atau kerajaan. Tercatat dalam sejarah, peristiwa Fir’aun dan bala tentaranya yang tenggelam ketika melakukan pengejaran terhadap nabi Musa. Peristiwa itu menyebabkan keberadaan wanita Mesir lebih banyak dibanding laki-laki sehingga pada waktu itu laki-laki memanggil kaum wanita dengan sebutan
sitti (sayyidatĩ). Bahkan wanita diagungkan dengan menyembah kepadanya. Namun pada masa Turki Utsmani, kebebasan terhadap wanita telah mengalami pengurangan dan pengekangan. Pada masa itu pula muncul berbagai aliran yang menghendaki adanya kebangkitan wanita kembali. Abad XIX merupakan awal bangkitnya kembali wanita Mesir. Diantara para pembaharu yang menghendaki kebangkitan kembali wanita Mesir antara lain; Rifâ’ al-Thahtâwiy dalam bukunya talkhĩsh al-ibrĩz ilâ talkhĩsh bâriz (1834). Dalam buku ini al-Thahtâwiy menuliskan tentang perjalanannya ke Paris dan pada masa-masa berdomisili di sana dalam rangka mencari ilmu pengetahuan. Namun yang paling urgen dari kitab ini adalah pemaparan dia tentang kemajuan dan gaya hidup masyarakat Perancis. Di dalamnya terangkum tentang sistem pemerintahan Perancis, sistem penanganan kesehatan, sistem penerapan hukum atau konstitusional dan sistem pendidikan serta adat-istiadat bangsa Eropa. Kemudian buku manâhij al-albâb al-misriyyah fĩ manâhij al-adab al-Ashriyyah (1870), di dalamnya tertulis arti pentingnya perekonomian masyarakat. Al-thahtâwiy berpendapat bahwa majunya sebuah bangsa bisa ditempuh dengan dua hal yaitu dengan berpegang teguh pada ajaran agama dan perbaikan ekonomi. Kemudia di dalam buku al-mursyid al-amĩn li al-banât wa al-banĩn (1872), al-Thahtâwiy menerangkan bahwa pendidikan harus bersifat universal dengan tidak membedakan antara golongan laki-laki dan wanita. Kaum ibu harus memiliki pendidikan yang sama sehingga diharapkan kaum ibu bisa menemani suami dalam kehidupan intelektual dan dapat mendidik anak-anaknya yang diharapkan dikemudian hari akan menjadi aset bangsa. Selain al-Thahtâwiy, Mesir juga memiliki Ali Mubârak yang dengan gigih memperjuangkan dan menyuarakan kebebasan wanita pada tahun 1823-1893 M. Muhammad Abduh berpendapat bahwa kaum wanita dalam Islam sebenarnya memiliki kedudukan yang tinggi, namun karena pengaruh adat-istiadat masyarakat yang berkembang, akhirnya wanita memiliki nilai rendah di mata masyarakat. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, kebebasan wanita yang disuarakan lebih banyak mengarah pada tuntutan akan hak pendidikan, ekonomi dan politik.

Sementara di Eropa, wanita diperlakukan sebagai mahluk kedua setelah laki-laki. Wanita tidak memiliki hak pendidikan, ekonomi dan politik sebagaimana laki-laki. Di Inggris, wanita dilarang membaca kita suci Perjanjian Lama, hal itu karena dipengaruhi oleh kekuatan Gereja yang menempatkan wanita sebagai sumber kesalahan dan kesesatan. Di Perancis, wanita baru diberi haknya dalam bidang pendidikan pada tahun 1892 walaupun sebelumnya pada tahun 1875 telah ada seorang wanita yang meraih gelar doktor di bidang kedokteran. Berbeda dengan sumber di atas, Ahmad Amin menulis bahwa wanita Barat lebih maju daripada wanita Timur, hal itu karena wanita Barat memiliki kebudayaan jauh lebih luas. Wanita Barat menerapkan metodologi ilmiah dalam mendidik dan mengajar anak-anaknya, sementara wanita Timur lebih mengedepankan metodologi hayalan (baca; khurâfat). Wanita Barat memiliki keberanian dan keteguhan dalam menuntut dan menjalankan hak-haknya, sementara wanita Timur hanya menunggu dan tidak mau tahu tentang hak-haknya. Sehingga wanita Timur selalu hidup dalam kekangan laki-laki.

Tinjauan Teoritis
Berbagai sumber menyebutkan bahwa salah satu penyebab adanya dikotomi antara wanita dan laki-laki karena disebabkan oleh fungsi organ tubuh dan kebutuhan biologis yang tidak sama sejak mereka diciptakan. Masalah biologis, pisikologis, struktur sosial dan sebagainya merupakan tema besar yang sering kali diusung dalam isu-isu feminisme, gender atau kebebasan wanita.

Manusia adalah mahluk biologis yang memiliki keistimewaan lebih dari pada mahluk lainnya. Keistimewaan itulah yang menjadikan manusia terutus sebagai khalifah di muka bumi. Bagi sebagian ilmuan menyatakan bahwa perbedaan unsur-unsur biologis yang terdapat pada tubuh laki-laki dan wanita akan berpengaruh besar terhadap perkembangan emosional dan keintelektualan. Secara garis besar perbedaan laki-laki dan wanita secara emosional bisa digambarkan sebagai berikut:
Laki-laki
- Sangat Agresif
- Independen
- Tidak emosional
- Dapat menyembunyikan emosi
- Lebih Objektif
- Tidak mudah terpengaruh
- Tidak submisif
- Sangat menyukai pengetahuan eksakta
- Tidak mudah goyang terhadap krisis
- Lebih aktif
- Lebih kompetitif
- Lebih logis
- Lebih mendunia
- Lebih terampil berbisnis
- Lebih berterus-terang
-Memahami seluk beluk perkembangan dunia
- Berperasaan tidak mudah tersinggung
- Lebih suka bertualang
- Mudah mengatasi persoalan
- Jarang menangis
-Umumnya selalu tampil sebagai pemimpin
- Penuh rasa percaya diri
- Lebih banyak mendukung sikap agresif
- Lebih ambisi
- Lebih mudah membedakan antara rasa dan rasio
- Lebih merdeka
- Tidak canggung dalam penampilan
- Pemikiran lebih unggul
- Lebih bebas berbicara
Wanita
- Tidak terlalu agresif
- Tidak telalu independen
- Lebih emosional
- Sulit menyembunyikan emosi
- Lebih subjektif
- Mudah terpengaruh
- Lebih submisif
- Kurang menyenangi eksakta
- Mudah goyang menghadapi krisis
- Lebih pasif
- Kurang kompetitif
- Kurang logis
- Berorientasi ke rumah
- Kurang terampil berbisnis
- Kurang berterus-terang
- Kurang memahami seluk-beluk perkembangan dunia
- Berperasaan mudah tersinggung
- Tidak suka bertualang
- Sulit mengatasi persoalan
- Lebih sering menangis
- Tidak umum tampil sebagai pemimpin
- Kurang rasa percaya diri
- Kurang senang terhadap sikap agresif
- Kurang ambisi
- Sulit membedakan antara rasa dan rasio
- Kurang merdeka
- Lebih canggung dalam penampilan
- Pemikiran kurang unggul
- Kurang bebas berbicara
Menurut Sigmund Freud, kenyataan seorang laki-laki mempunyai alat kelamin menonjol yang tidak dimiliki perempuan menimbulkan masalah kecemburuan alat kelamin yang mempunyai implikasi lebih jauh; anak laki-laki merasa superior dan anak perempuan merasa inferior.
Agust Comte (1798-1857 M) yang menyamakan antara teori sosiologi dan biologi menyatakan dengan teori fungsionalismenya bahwa kesatuan dalam masyarakat hanya akan terbentuk ketika elemen-elemen biologis dan sosial yang terdapat pada tubuh organik telah solid. Herbert Spencer (1820-1930 M) yang menjadi penerus teori Comte berusaha membedakan antara konsep “struktur” dan konsep “fungsi” yang terdapat pada organisme masyarakat dan organisme individu. Ia menyatakan;
“Apabila sebuah organisasi terdiri dari serangkaian konstruksi yang menyatu di mana setiap bagian hanya dapat berfungsi melalui cara saling ketergantungan antara satu sama lainnya, maka pemisahan salah satu bagian dari kesatuan organisasinya akan menyebabkan berubahnya fungsi dari bagian-bagian lain secara kelesuruhan”
Sementara Emile Durkheim (1858-1917 M) menyatakan bahwa kelangsungan hidup dalam masyarakat hanya akan bisa diperoleh ketika para elemen masyarakat telah memiliki kesadaran dalam pembagian tugas atau kerja (division of labor).

Dari pembahasan sederhana di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa Adanya perbedaan biologis antara laki-laki dan wanita nyaris tidak mendapatkan pertentangan, namun yang menjadi perselisihan adalah pengaruh atau efek dari perbedaan biologis itu dalam penyikapan perilaku manusia.




Read more!

Sunday, November 25, 2007

Kebebasan Wanita; Paparan Tentang Sejarah dan Realita (Seri 1)

Kebebasan merupakan harapan bagi tiap-tiap individu yang ingin maju dan terus berkembang dalam mencari keautentikan diri menuju pada titik kesempurnaan. Kata bebas dalam kamus besar bahasa Indonesia bermakna lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa). Dalam konteks dan rana pemikiran, terma kebebasan merupakan keharusan yang harus dijunjung tinggi, sehingga tanpa kebebasan, pemikiran hanya akan menjadi sebuah keniscayaan. Qasim Amin dalam al-‘Amâl al-Kâmilah menyatakan bahwa kebebasan yang sejati akan menimbulkan berbagai corak pemikiran dan kebangkitan berbagai ragam aliran serta menciptakan suasana sirkulasi atau peredaran pemikiran. Kebebasan yang berkembang pada akhirnya akan menciptakan pola pikir yang berbeda dalam menyikapi problematika kehidupan. Ibn Rusyd mengkiaskan pemikiran dengan makanan. Makanan bagi sebagian mahluk akan menjadi vitamin dan sumber penguat dalam menjalankan roda aktivitas kehidupan, sementara bagi sebagian lainnya akan menjadi racun yang pada akhirnya menjadi sumber malapetaka dan kelemahan. Lebih lanjut Ibnu Rusyd menyatakan bahwa memaksakan pemikiran sama halnya dengan menjadikan makanan menjadi vitamin bagi semua mahluk dan melarang kebebasan dalam berpikir sama halnya memaksakan diri untuk menyatakan bahwa makanan adalah racun bagi semua mahluk.

Secara garis besar, pemikiran bisa kita kategorikan menjadi dua yaitu; pemikiran yang dilandasi oleh sifat-sifat intrinsik yang ada pada diri manusia dengan dilandasi oleh perasaan dan keinginan yang kuat untuk mengetahui, memiliki dan menguasai. Dan pemikiran yang timbul akibat dorongan, kebutuhan yang datang dari luar diri manusia misalnya
kebutuhan sosial dan ekonomi. Pemikiran yang mampu memberikan konstribusi dalam menjawab, memajukan hasrat dan kebutuhan manusia secara benar akan terus berkembang, sementara pemikiran yang tidak mampu menjawab tantangan yang terjadi maka ia akan musnah dengan sendirinya.

Tuntutan akan kebebasan sering kali muncul di tengah-tengah komunitas prural, komunitas yang penuh warna warni. Hal itu karena setiap individu memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menjawab dan menyelesaikan problematika masyarakat yang berkembang. Perbedaan sudut pandang tentunya akan menghasilkan out put yang berbeda pula. Dalam kaca mata kesetaraan gender, terma kebebasan lebih ditempatkan pada tuntutan akan kesejajaran hak antara kaum wanita dan kaum laki-laki. Tuntutan itu muncul didasari oleh keinginan untuk mencari format yang lebih progresif dalam mengusung terma pembaharuan.

Pembaharuan seringkali dinisbatkan pada perubahan yang mengarah pada kemajuan, perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Bagi kaum Orientalis, pembaharuan yang terjadi dalam tubuh umat Islam dikategorikan dalam tiga periodeisasi; masa klasik, pertengahan dan modern. Masa klasik (650-1250 M) terbagi menjadi dua fase, pertama; fase ekspansi (650-1000 M), masa-masa integrasi dan punca kemajuan umat Islam. Pada masa tersebut, Islam berkembang luas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke India di Timur. Pada fase ini pula muncul beberapa ulama besar yang keberadaannya menjadi referensi bagi ulama selanjutnya. Diantaranya; Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ibnu Hambal, Imam al-Asy’ari, Imam al-Maturidi, Wasil bin ‘Ata’, Abu al-Huzail, al-Nazzam, al-Jubba’i, Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawaih, Ibn al-Haisam, Ibn Hayyan, al-Khawarizmi, al-Mas’udi, dan al-Razi. Fase kedua (1000-1250 M) merupakan fase kemunduran bagi umat Islam terutama dalam bidang politik. Fase ini ditandai dengan runtuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad dan pada akhirnya dikuasai oleh Hulagu pada tahun 1258 M.

Periode Pertengahan (1250-1800 M) juga terbagi dalam dua fase; pertama, masa kemunduran (1250-1500 M). Pada masa ini, umat Islam mengalami disintegrasi dan desentralisasi. Peristiwa itu disebabkan adanya perbedaan antara kaum Sunni dan Syi’ah, serta diperparah oleh perpecahan yang terjadi antara Arab dan Persia. Arab berdiri dengan sekutunya yang terdiri atas Arabiah, Irak, Suriah, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai central. Sementara Persia terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tenggara dengan Iran sebagai pusat. Sementara umat Islam di Spanyol dipaksa untuk memeluk agama Kristen atau ke luar dari daerah tersebut. Fase kedua (1500-1800 M) ditandai oleh munculnya tiga kerajaan besar. Fase tersebut dimulai dari masa kemajuan (1500-1700 M) dan masa kemunduran (1700-1800 M). Ketiga kerajaan besar itu antara lain; kerajaan Utsmani (Ottoman Empire) di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Masa kemajuan ketiga kerajaan besar tersebut ditandai dengan maraknya literatur-literatur dan arsitektis yang terpasang indah di gedung-gedung masjid dengan ciri dan corok khasnya. Sementara masa kemunduran pada periode ini ditandai dengan runtuhnya kerajaan Utsmani yang dipukul mundur di Eropa, hancurnya kerajaan Safawi karena serangan-serangan suku bangsa Afghan, dan mengecilnya kekuasaan kerajaan Mughal karena dipaksa tunduk oleh para raja India. Masa tersebut, Islam menjadi agama yang statis.

Periode Modern (1800 M dan seterusnya) merupakan masa kebangkitan umat Islam kembali. Jatuhnya Mesir ketangan Napoleon pada tahun 1798 M menjadikan umat Islam kembali membuka mata bahwa di Barat telah muncul kekuatan-kekuatan baru yang jauh lebih besar daripada kekuatan umat Islam yang tentunya akan menjadi ancaman tersendiri bagi perkembangan umat Islam. Pada masa ini muncullah berbagai aliran dan ide-ide pembaharuan dalam tubuh umat Islam.

Pada dasarnya berbagai perkembangan dan perubahan telah muncul pada masa nabi Muhammad Saw, Islam yang dibawa nabi Muhammad merupakan kelanjutan dari risalah-risalah yang pernah disampaikan oleh nabi-nabi sebelumnya. Kebebasan dan hak asasi manusia telah dijunjung tinggi sejak nabi Muhammad mengikrarkan bahwa tidak ada perbedaan antara kaum Arab dan non Arab, bangsa kulit putih dan kulit hitam, antara kaum borjuis dan proletar kecuali rasa takwa kepada Allah Swt.

Pada makalah sederhana ini, penulis akan berusaha mengetengahkan beberapa pandangan umat Islam tentang kebebasan wanita ditinjau dari problematika yang bersifat domestik atau dalam bahasa lain yang bersifat syar’i tanpa harus menafikan tinjauan sejarah yang melatar belakangi adanya penerapan ajaran-ajaran tersebut. Sehingga diharapkan makalah ini akan menjadi pelengkap dari edisi sebelumnya sebagai mata rantai dari silabus yang telah disepakati.

Tinjauan Historis Teologis

Sejarah adalah silsilah, asal usul (keturunan), kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Dengan sejarah, manusia akan mampu membuka tabir kehidupan sebagai pintu awal membangun masa depan yang lebih cerah. Sejarah juga membawa manusia kerana objektifitas dalam melakukan penilaian terhadap fenomena-fenomena yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, kajian tentang sejarah merupakan keharusan bagi tiap-tiap individu yang menceburkan dirinya dalam penelitian dan kajian tentang fenomen yang terjadi di masyarakat.

Dalam konteks agama samawi, sejarah tentang kehidupan dan peran wanita telah tertuang dalam kitab Perjanjian Lama yang diyakini sebagai kitab suci bagi kaum Yahudi. Kitab Perjanjian Lama menempatkan wanita sebagai sumber utama dari kesalahan. Hal itu terkisahkan dalam bentuk cerita atau kisah-kisah yangdiyakini kebenarannya. Dikisahkan bahwa Hawa adalah penyebab dikeluarkannya Adam dari surga karena telah merayu Adam untuk ikut serta memakan buah khuldi setelah sebelumnya dia terpesona oleh rayuan iblis. Tidak hanya itu, kitab Perjanjian Lama juga mengisahkan peristiwa antara nabi Luth dan putrinya. Nabi Luth sebagai pembawa risalah dijadikan sampel sebagai laki-laki yang terpesona oleh rayuan wanita, yaitu putrinya. Dikisahkan bahwa nabi Luth melakukan uzlah ke gunung kemudian dia mendiami gua yang terdapat di gunung tersebut. Sebagai seorang anak, putri dari nabi Luth tersebut memberikan pengabdian dengan mengantar bahan makanan kepada ayahnya. Suatu hari, putri nabi Luth tersebut mengajak dan menggoda nabi Luth untuk ikut serta menikmati bir yang dia bawa. Sehingga pada akhirnya mereka terlena dalam kemabukan, kemudian mereka melakukan tindakan amoral yang pada akhirnya menyebabkan putri nabi Luth tersebut menjadi hamil.

Syari’ah Yahudi juga mewajibkan bagi orang yang telah meninggal untuk melimpahkan hak waris kepada anak laki-laki tanpa sedikitpun melibatkan anak wanita. Dalam pasal 419 juga tertulis bahwa harta benda yang dimiliki oleh istri adalah hak atau milik suami secara penuh, sementara sang istri hanya berhak memiliki harta benda yang menjadi mahar dalam pernikahan. Dalam pasal 429 dinyatakan bahwa laki-laki memiliki hak veto untuk menceraikan istri yang dianggap telah melakukan tindakan-tindakan amoral seperti zina dan sebagainya. Sementara dalam pasal 433 tertulis bahwa istri tidak memiliki hak sama sekali untuk meminta cerai walaupun ia telah mengetahui secara nyata bahwa si suami telah melakukan tindakan amoral. Dalam pasal 430 dinyatakan bahwa bagi suami yang tidak mampu memberikan nafkah dari hasil kerja kepada istri selama sepuluh tahun maka wajib untuk menceraikan istrinya dan menikah dengan wanita lain. Yahudi telah mengklaim wanita sebagai mahluk yang najis sehingga segala hal yang pernah disentuhnya, baik itu berupa manusia, hewan, atau pun makanan menjadi kotor dan najis. Ironisnya, Yahudi menyandarkan segala kesalahan atau perbuatan amoral yang dilakukan oleh laki-laki menjadi tanggungjawab wanita.

Dari beberapa kisah di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa wanita bagi kaum Yahudi tak ubahnya sebagai malapetaka dan alat pemuas kebutuhan biologis bagi laki-laki. Wanita nyaris tidak memiliki peranan penting dalam membangun tatanan kehidupan yang harmonis dan dinamis. Kata kebebasan dan kesetaraan hanya menjadi impian utopis bagi kaum wanita Yahudi.

Sementara kaum Nasrani dengan Perjanjian Baru sebagai kitab suci yang mereka yakini kebenarannya memposisikan wanita sebagaimana Perjanjian Lama. Mereka menyakini bahwa wanita merupakan penyebab utama menjauhnya kaum adam atau laki-laki dari Tuhan. Mereka menetapkan bahwa satu-satunya jalan menuju kedekatan kepada Sang Pencipta adalah dengan menjaukan diri dari wanita. Mereka meyakini bahwa Isa As yang terbunuh dalam keadaan tersalib diutus ke bumi untuk menembus dosa-dosa Adam yang disebabkan oleh Hawa. Kaum Nasrani juga melarang wanita untuk mengangkat suara di dalam Gereja, karena bagi mereka suara wanita adalah penyebab atau sumber fitnah. Selain itu, Perjanjian Lama juga mensyari’ahkan agar wanita selalu menutupi tubuhnya dengan pakean yang sederhana serta menutupi kepalanya dengan hijab. Mereka kaum Nasrani menyakini bahwa di atas kepala wanita terdapat syetan sehingga bagi wanita Nasrani yang tidak mau menutupi kepalanya harus digundul. Al-Maududi berpendapat bahwa agama kaum Nasrani telah banyak melakukan penyimpangan dalam menerapkan ajaran syari’ahnya. Wanita telah dijadikan sebagai sumber kesesatan dan menyatakan bahwa kecantikan yang dimiliki seorang wanita merupakan senjata ampuh bagi iblis untuk menyesatkan manusia.

Secara garis besar, perlakuan Nasrani atas kaum wanita tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh umat sebelumnya (Yahudi). Nasrani menjadikan wanita sebagai orang kedua yang ditempatkan di bawah kekuasaan laki-laki.

Islam datang ke Jazirah Arab dengan membawa ajaran-ajaran baru yang cenderung menentang dan memperbaharui tradisi-tradisi masyarakat yang berkembang pada kala itu. Tentu saja tradisi yang bisa diakomodir ke dalam Islam ialah yang sejalan atau tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kemanusiaan. Islam menentang ajaran yang diyakini oleh kaum Yahudi dan Nasrani yang menghegemoni kaum wanita. Islam menjawab bahwa peristiwa keluarnya Adam dan Hawa dari surga adalah atas tipu daya yang dilakukan oleh iblis semata tanpa mencari justifikasi kepada Adam atau Hawa. Hal itu bisa dilihat dari bahasa al-Qur’an yang sama sekali tidak menyebutkan nama Adam atau Hawa, melainkan dengan menggunakan gaya bahasa umum (baca; dhamir humâ). Islam menjunjung tinggi egaliter dengan memposisikan wanita sebagai mahluk yang memiliki tempat yang sama di hadapan Tuhan. Imam Mahmud Syaltut berpendapat bahwa Islam memposisikan wanita sebagai mitra bagi kaum laki-laki, sehingga Islam menyamaratakan antara hak dan kewajiban bagi wanita dan laki-laki. Islam memberikan hak bagi wanita dalam pendidikan, kehidupan, ibadah, dan dalam menyampaikan pendapat. Muhammad Abduh berpendapat bahwa pengangkatan derajat terhadap kaum wanita dalam tubuh umat Islam belum pernah dilakukan oleh agama-agama samawi sebelumnya. Bahkan ia menyatakan bahwa wanita Eropa yang diklaim memiliki kebebasan dalam menjalankan roda kehidupan masih memiliki batasan-batasan dengan tidak diperkenankan memiliki harta benda tanpa adanya izin dari si suami.

Dari pembahasan sederhana di atas, bisa diambil kesimpulan sementara bahwa Islam datang dengan membawa ajaran baru yang lebih bersifat humanis daripada agama samawi sebelumnya. Islam dengan ajaran-ajaran barunya telah mengislamisasikan tradisi yang ada dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.





Read more!


Kehidupan bagaikan panggung sandiwara, problematika tak ubahnya lakon yang harus diperankan. Manusia adalah aktor dari sandiwara ini, peran nyata harus ia mainkan. Adakalanya peran itu kocak, adakalanya tragis. Hanya mereka yang mampu memainkan peran dengan baik yang akan menjadi aktor utama. Manusia merupakan makhluk yang unik, unik karena manusia memiliki dua dimensi. Pada satu sisi manusia dituntut untuk menjadi individu yang kuat, tegas, pemberani, dan bebas. Namun pada sisi lain manusia dihadapkan pada dimensi sosial yang terkadang bertentangan dengan pribadi. Kekuatan, ketegasan, keberanian dan kebebasan yang bersifat individu sering kali terbatasi oleh kenyataan sosial. Untuk menyatukan keunikan manusia, tiap-tiap individu harus berusaha terus-menerus mendaki, berjalan mencari jati diri. Jati diri adalah kunci utama dalam menentukan peran dan lakon yang harus ia mainkan. Tentu saja pencarian memerlukan proses, semakin panjang proses yang dilakukan maka semakin matang hasil yang akan diperoleh. Ketahuilah bahwa dunia adalah lelucon bagi mereka yang melakukannya, atau tragedi bagi mereka yang merasakannya. Dalam proses pencarian manusia dibekali dengan akal, nurani dan agama. Tanpa akal manusia bagaikan hewan yang hanya memainkan kehidupan berdasarkan kebutuhan biologis, tanpa nurani manusia bagaikan binatang buas yang memangsa binatang lemah, tanpa agama manusia bagaikan berjalan di tengah kegelapan tanpa memegang lentera. Apapun yang menjadikanmu bergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah hati seorang pecinta Tuhan lebih besar daripada Singgasana-Nya. . .