Saturday, November 24, 2007

Abu Hayyan at-Tauhidi; Tokoh Kontroversial Islam Klasik (Seri 4)

Manusia adalah mahluk sosial yang tidak pernah lepas dari ketergantungan antara satu sama lainnya. Sikap ketergantungan tersebut menuntut manusia untuk membuat atau menciptakan sebuah komunitas. Komunitas tercipta berdasarkan kepentingan bersama dalam mencampai tujuan yang menjadi nota kesepakatan bersama. Dalam lingkup komunitas, masing-masing individu harus memiliki pola pikir take and give. Sebagai sebuah komunitas, manusia memerlukan adanya norma-norma yang akan mengatur pola kehidupan mereka secara umum. Norma itulah yang pada akhirnya akan membentuk tatanan komunitas tersebut.

Islam sebagai agama yang menjunjung moralitas, menempatkan fungsinya sebagai norma agama yang memiliki batasan-batasan yang jelas dalam menjawab kebutuhan umat. Islam turun sebagai agama yang menempatkan kepentingan dunia dan akhirat. Ajaran-ajaran Islam tumbuh berkembang seiring dengan kemajuan dan kebutuhan jaman. Sebagai sebuah peradapan, umat Islam telah melahirkan tokoh-tokoh ternama yang membawa pembaharuan pada jamannya bahkan menjadi resensi dalam menentapkan hukum-hukum yang berkembang pada masa kontemporer ini. Ibnu Rusyd dengan disiplin ilmu
filsafatnya telah memberikan penyegaran pada umat Islam dalam dinamika rasionalitas. Ibnu Sina dengan teori kedokterannya telah menjadi inspirator dalam kemajuan ilmu kedokteran di Barat dan Timur, dan sebagainya.

Abad ke-3H/9 M sampai abad ke-4 H/10 M merupakan masa keemasan bagi perkembangan sejarah umat Islam. Kekuasaan yang dipegang oleh Dinasti Buhawwiyah tercatat sebagai penguasa yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Pada masa tersebut, lahirlah para ilmuwan-ilmuwan kenamaan yang mampu mewarnai perkembangan umat Islam. Kegemilangan ditandai oleh munculnya para filosof kesusastraan atau sastrawan yang berfilsafat yang selalu intens menyuarakan humanistik, seperti Miskaweh dan al-Tauhidi.

Pada sisi lain, sejarah perkembangan umat Islam ternodai oleh beragam bentuk kekerasan, kekerasan yang dilandasi berbagai kepentingan untuk mencapai tujuan. Sejarah kekerasan yang terjadi dalam tubuh umat Islam masih membekas sampai saat ini, Islam dicap sebagai teroris yang harus dimusnahkan, bahkan Huntington dalam tesisnya mengatakan bahwa musuh terbesar Amerika setelah Rusia adalah umat Islam. Peristiwa Irak, Afganistan dan berbagai macam peristiwa kekerasan dinisbahkan kepada umat Islam. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak lepas dari pola pemahaman umat Islam sendiri terhadap ajaran-ajaran agama terutama berkaitan dengan makna jihad.

Kemudian timbul sebuah pertanyaan, apakah memang Islam dengan perintah jihadnya membuka atau memberi ruang kepada pengikutnya untuk melakukan kekerasan? Saya yakin kalau kita mengerti dan betul-betul paham dengan ajaran Islam akan dengan tegas menjawab Tidak!. Sejarah mencatat bahwa peristiwa peperangan yang terjadi antara umat Islam dengan penganut agama lainnya masih memiliki etika dan moral perang. Tidak ada satupun penulis sejarah yang mencatat bahwa jihad atau peperangan yang melibatkan umat Islam melampaui batas kemanusiaan, lain halnya dengan para penjajah atau peperangan yang dilakukan oleh bangsa Eropa, dimana kekerasan, pemerkosaan dan perlakuan yang tidak berprikemanusiaan menodai masa-masa peperangan.

Suara-suara umat Islam tentang keseimbangan dan hak asasi manusia mulai ditenggelamkan oleh mereka yang menganjurkan kekerasan dan kebencian. Benturan ideologi menyebabkan pertumbuhan umat Islam selalau berada dalam bingkai ketertinggalan. Situasi tersebut mampu menggugah para pemikir Islam untuk berusaha dengan berbagai cara menunjukkan ke permukaan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi toleransi dan hak asasi manusia.

Problema yang dihadapi agama Islam adalah discrepancy (kesenjangan) antara idealitas ajaran agama di satu pihak dan realita sosial maupun kebutuhan umat Islam di pihak lain. Telah menjadi kesepakan bahwa modernitas telah menyebabkan kebutuhan manusia akan pemahaman dan penafsiran secara rasional terhadap segala sesuatu semakin meningkat. Dalam terma ini, tuntutan untuk “mengobjektifkan” ajaran agama menjadi semakin meningkat deras. Pada kasus ini, upaya untuk merumuskan relevansi antara apa yang esensial dari agama dan apa yang menjadi buah dari dinamika pemikiran umatnya merupakan keharusan dan sekaligus menjadi tantangan.

Problematika dan kebutahan yang semakin komplit, menuntut manusia untuk selalu melakukan tindakan-tindakan progresif dalam memenuhi hajat hidup. Peristiwa itu pula lah yang menyebabkan pemahaman terhadap Islam menjadi terpecah dan berkembang dalam bentuk disiplin ilmu pengetahuan, diantaranya; ilmu filsafat, teologi, tasawuf, politik, ekonomi dan sebagainya. Pengaruh kebutuhan dan keadaan sosio masyarakat menjadi faktor utama dalam pertumbuhan dan perkembangan pemahaman keislaman.

Pada masa kontemporer ini, kita seringkali dihadapkan pada realita-realita sosial yang mengajak kita untuk kembali memahami Islam sebagai ajaran-ajaran yang turun dari langit dengan aturan-aturan yang membumi. Pemahaman yang bersifat progresif itulah yang mengajak kita untuk kembali menggali pemikiran para pemikir Islam klasik sebagai jawaban bahwa Islam telah lama menjunjung tinggi keseimbangan dan toleransi.

Salah satu usaha konkrit untuk kembali menggali pemikiran para tokoh klasik Islam, adalah dengan mengadakan kajian para tokoh dengan ditekankan pada metodologi yang dipakai untuk melontarkan ide pemikirannya. Di sinilah penulis menganggap perlunya kembali mengangkat ketokohan Abu Hayyan al-Tauhidi yang terkenal sebagai seorang filosof yang beraliran humanistik dengan pola kajian yang lebih ditekankan pada filsafat humanistik-nya setelah sebelumnya penulis ketengahkan tentang biografi ketokohan Abu Hayyan al-Tauhidi. Penulis juga akan berusaha memaparkan beberapa pemikiran Abu Hayyan al-Tauhidi berkenaan dengan makna agama, kedudukan akal dan syariah agama,

Metodologi Filsafat Sastra Abu Hayyan al-Tauhidi

Secara etimologi sastra (adab)memiliki perkembangan dan perluasan makna dari masa ke masa. Pada masa Jahaliah, kata adab memiliki makna mengundang orang untuk jamuan makan. Setelah Islam datang, kata adab memiliki perluasan makna, yaitu pelatian jiwa dan pembekalan dengan ilmu sehingga mencapai pada tingkat akhlak yang mulia. Pada masa Dinasti Umawiyah, kata adab memiliki kandungan makna yang mengarah pada persoalan kebudayaan, syair, cerita atau dongeng dan lain sebainya selain ilmu agama. Pada akhir Dinasti Umawiyyah dan di awal Dinasti Abbasiyah, kata adab memliki makna yang lebih menyempit dengan hanya mengarah pada persoalan yang berkaitan secara langsung dengan lingustik seperti; syair, nahwu, sharaf, balaghah dan sebaginya.

Sebuah pemikiran tentunya tidak lahir dari ruang hampa, ia muncul sebagai respon atau tanggapan dari situasai yang terjadi. Sehingga bisa dikatakan bahwa pemikiran menyandarkan diri kepada situasi aktual zamannya. Untuk memahami sebuah pemikiran yang diusung oleh seorang pemikir, tentu tidak cukup bagi kita untuk sekedar mempelajari sosio historis yang terjadi, akan tetapi aktivitas dan perkembangan keintelektualan seorang tokoh harus kita pertimbangkan pula.

Sejarah mencatat bahwa filsafat Yunani memiliki sumbangsih yang cukup besar terhadap perkembangan filsafat Islam. Masa khalifah Al-Makmun merupakan starting point dalam perkembangan ilmu filsafat Islam. Kegemaran Al-Makmun terhadap berbagai ilmu pengetahuan dibuktikan dengan maraknya pernerjemahan ilmu-ilmu filsafat dari bahasa Yunani ke bahasa Arab.

Gerakan penerjemahan terhadap teks-teks Yunani ke bahasa Arab, mempermudah para pemikir Islam dalam memahami pola pikir Arestatoles, Plato, Plotinus dan Stoics. Sosok Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd adalah para filosof yang memiliki peran penting dalam memberikan pemahaman kepada umat Islam dalam menggapai kegemilangan dibidang ilmu pengetahuan.

Perkembangan ilmu pengatahuan di tubuh umat Islam dihiasai oleh berbagai pergolakan para filosof dan kaum teolog yang pada akhirnya berdampak pada perkembangan dan pola pikir para intelektual Islam dikemudian hari. Al-juwayni seorang guru dari Al-Ghazali memberikan ultimatum akan ancaman para filosof terhadap kaum teolog. Sehingga Al-Ghazali dengan maqâsid al-falâsifah berusaha mengkritisi filsafat Ibnu Sina yang bagi Al-Ghazali telah keluar dari ajaran-ajaran Islam karena menolak akan adanya hari pembalasan dan berbagai hal yang menurut Al-Ghazali mengarah pada perbuatan bid’ah atau mengada-ngada. Sementara konter balik dilakukan oleh Ibnu Rusyd sebagai seorang filosof yang beraliran Arestatolis terhadap buku tahâfut al-falâsifah karya Al-Ghazali dengan menerbitkan sebuah buku berjudul tahâfut al-tahâfut. Pertentangan kedua kubuh intelektual itulah yang pada akhirnya akan berdampak pada pola pikir Abu Hayyan al-Tahuhidi.

Pada masa dinasti Buhawiyah, para pengusa lebih memanjakan para filosof sastra atau para sastrawan filosof yang beraliran Humanistik. Bagi kaum intelektual yang bergolak dalam dunia filsafat dan sastra, sosok Abu Hayyan al-Tauhidi sudah sangat dikenal, terutama bagi kalangan peminat kajian humanistik, katakanlah seperti Muhamammad Arkoun. Sosok Abu Hayyan al-Tauhidi terkenal sebagai salah satu pemikir Islam Arab yang memiliki kemampuan luar biasa dalam merangkai kata dan dalam penyampaian kata-kata indah. Ketenaran Abu Hayyan al-Tauhidi mulai nampak ketika ia telah mampu mengkolaborasikan antara filsafat dan sastra dan menjadikan kesusastraannya sebagai titik tolak dalam dunia filsafat yang menggabungkan antara pemikiran kaum filosof dan kaum teolog. Abu Hayyan al-Tauhidi merupakan filosof yang mampu menerangkan makna filsafat seni dengan indah pada abad ke-4 H

Dalam konteks dunia filsafat, Abu Hayyan al-Tauhidi tergolong pada barisan filosof sastra dan filosof yang beraliran sufi. Dalam teori filsafat sastranya, ia memiliki metodologi yang tidak jauh berbeda dengan para filosof Yunani. Hal ini nampak pada metode yang dilakukan oleh Abu Hayyan al-Tauhidi dalam memaparkan tentang “al-tahakum wa al-sakhriah (sindiran)” dalam bukunya matsâlib al-wazîrîn. Sebuah metode lama yang telah diketahui secara umum oleh orang-orang Yunani dari tangan Sokrates. Pengaruh metode tersebut juga diperkuat oleh Al-Jâhidz dalam bukunya al-bukhalâu. Al-tahakum adalah suatu ungkapan yang sekilas nampak serius namun pada dasarnya bersifat gurawan. Metode al-tahakum yang digunakan oleh Sokrates adalah dengan mengungkapkan sebuah pertanyaan tentang sesuatu dan menampakkan kebodohan pada sesuatu itu, sehingga orang yang ditanya menganggap si penanya sebagai orang yang bodoh. Kemudian setelah mendapatkan jawaban, si penanya kembali melontarkan pertanyaan yang bisa menimbulkan kebingungan dalam diri orang yang ditanya terhadap jawaban yang pernah ia berikan. Sementara bagi kaum muhadditsin mengartikan al-tahakum sebagai metode balagha dengan menyampaikan sesuatu yang berlainan dengan apa yang dikehendaki atau dengan mengungkapkan kebalikan dari apa yang diinginkan. Hegal dalam bukunya History of Philosophy mengungkapkan, bahwa Sokrates senantiasa mengutarakan pertanyaan-pertanyaan kepada para pendengarnya jika ia menginginkan agar mereka mengajarinya. Selain metode al-tahakum, Abu Hayyan al-Tauhidi juga menggunakan metode al-jadal (debat) dalam mencari sebuah kebenaran sebagaimana dilakukan oleh para filosof Yunani dan filosof saat ini. Sebagian berpendapat bahwa metode al-jadal dan pembahasan secara ilmiah yang dilakukan Abu Hayyan al-Tauhidi berpijak pada metodelogi yang digunakan kaum Mu’tazilah. Namun pada pola penempatan fungsi akal dan metodologi pemahaman tentanng takdir, Abu Hayyan al-Tauhidi berseberangan dengan Mu’tazilah.



0 Comments:

Post a Comment

<< Home


Kehidupan bagaikan panggung sandiwara, problematika tak ubahnya lakon yang harus diperankan. Manusia adalah aktor dari sandiwara ini, peran nyata harus ia mainkan. Adakalanya peran itu kocak, adakalanya tragis. Hanya mereka yang mampu memainkan peran dengan baik yang akan menjadi aktor utama. Manusia merupakan makhluk yang unik, unik karena manusia memiliki dua dimensi. Pada satu sisi manusia dituntut untuk menjadi individu yang kuat, tegas, pemberani, dan bebas. Namun pada sisi lain manusia dihadapkan pada dimensi sosial yang terkadang bertentangan dengan pribadi. Kekuatan, ketegasan, keberanian dan kebebasan yang bersifat individu sering kali terbatasi oleh kenyataan sosial. Untuk menyatukan keunikan manusia, tiap-tiap individu harus berusaha terus-menerus mendaki, berjalan mencari jati diri. Jati diri adalah kunci utama dalam menentukan peran dan lakon yang harus ia mainkan. Tentu saja pencarian memerlukan proses, semakin panjang proses yang dilakukan maka semakin matang hasil yang akan diperoleh. Ketahuilah bahwa dunia adalah lelucon bagi mereka yang melakukannya, atau tragedi bagi mereka yang merasakannya. Dalam proses pencarian manusia dibekali dengan akal, nurani dan agama. Tanpa akal manusia bagaikan hewan yang hanya memainkan kehidupan berdasarkan kebutuhan biologis, tanpa nurani manusia bagaikan binatang buas yang memangsa binatang lemah, tanpa agama manusia bagaikan berjalan di tengah kegelapan tanpa memegang lentera. Apapun yang menjadikanmu bergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah hati seorang pecinta Tuhan lebih besar daripada Singgasana-Nya. . .