Saturday, November 24, 2007

Abu Hayyan at-Tauhidi; Tokoh Kontroversial Islam Klasik (Seri 1)

Pada masa kontemporer saat ini, kita seringkali dihadapkan pada persoalan-persoalan yang bersifat krusial terutama yang berkaitan dengan agama. Agama menunjukkan keunikannya karena selama ia tumbuh dan berkembang pada diri seseorang, mampu menghadirkan kedamaian dan ketenangan. Namun, ketika agama telah dihadapkan pada problema sosial, agama sering kali hadir dalam wajah keras, garang dan tak kenal kompromi. Agama seringkali dijadikan landasan untuk membenarkan sebuah tindakan, ironinya, agama dijadikan alat untuk menggapai sebuah tujuan.

Bukan sebuah keanehan jika Karl Marx, tokoh pencetus sosialis mengatakan bahwa agama merupakan candu yang harus dihindari. Sejarah mencatat bahwa agama seringkali dibawa pada daerah konflik, agama dijadikan justifikasi dalam membangun dan merebut sebuah kekuasaan. Sejarah perkembangan agama seringkali menodai lembaran-lembaran sejarah dengan pola dan bentuk kekerasan yang bermacam-macam. Salah satu bentuk kekerasan yang masih tercatat rapi dalam lembaran sejarah adalah perang Salib yang melibatkan agama Islam dan Kristen. Islam dengan label jihadnya telah memiliki makna yang semakin menyempit, jihad seringkali dijadikan alat justifikasi dalam
menyebarkan misi-misi dakwah. Begitu pula dengan agama Kristen dengan dokma Perang Suci-nya telah menghimpun para kaum Kristiani untuk melancarkan serangan kepada umat Islam.

Dengar berbagai kekerasan yang terjadi, maka muncullah para tokoh reformasi yang berusaha mereinterpretasi ajaran-ajaran agama. Kaum Kristiani yang mayoritas berdomisili di kawasan Barat, mulai menyadari bahkan mulai menentang otoritas agama yang dimonopoli oleh gereja. Dalam tubuh umat Kristiani, kita mengenal sosok Martin Luther dengan reformasi Protestannya pada abad ke-16 di Eropa. Luther menegaskan bahwa manusia dilahirkan dalam kadaan bebas dan mengapa mereka harus menyerahkan diri kepada para tiran(gereja.Red). Sejarawan dan bangsawan asal perancis bernama Francois Guizot (1787-1874) mengatakan dalam pidato sejarah Eropa abad ke-19 bahwa salah satu penyebab utama kemajuan peradapan Barat adalah munculnya kelompok yang mengatakan “meskipun agama kita Kristen, kita mencari pembuktian atas hal-hal mendasar dalam keyakinan kita”. Para Imam tidak memberi izin dan mereka berkata agama (Kristen) disandarkan pada imitasi.

Para toko reformasi Kristen tersebut, telah mampu membawa dunia Barat kembali menemukan makna kehidupan dan keberadaan masyarakat dalam kehidupan sosial. Barat lebih terkenal sebagai bangsa yang memiliki jiwa sosial yang tinggi, sehingga Barat diklaim sebagai bangsa yang menjunjung tinggi humanisme. Masa renaisans (kebangkitan kembali) Barat berawal pada abad ke-12, masa itu melahirkan kembali pengetahuan, kebudayaan dan gaya klasik.

Bagaimana dengan dunia Timur? Apakah dunia Timur memiliki sejarah kebangkitan Islam yang menjadi agama mayoritas penduduk setempat? Untuk menjawab itu, kita harus kembali membuka lembaran-lembaran sejarah peradapan Islam. Mungkin kita akan beranggapan bahwa umat Islam selalu mengadopsi dari Barat dalam menemukan dan membangun tatanan kehidupan bermasyarakat! Namun, sejarah berkata lain, Islam sebagai agama mayoritas penduduk Timur ternyata telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan pada abad ke-3H/9 M sampai abad ke-4 H/10 M, tiga abad lebih awal daripada dunia Barat. Masa tersebut menurut istilah S.D Gointein disebut sebagai puncak “intermediate Cilivication of Islam”. Selama masa tersebut, para penguasa dan pejabat menjadi suri tauladan dalam menaruh minat terhadap ilmu pengetahuan, memanjakan para filosof, ilmuwan, dan sastrawan di istana kerajaan yang megah. Pertumbuhan dan perkembangan merata diseluruh lapisan.

Masa perkembangan dan kemajuan Islam tersebut, melahirkan beberapa tokoh ternama yang sampai saat ini karya-karyanya masih dijadikan referensi dalam sebuah penelitian. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah, Abu Sulaiman al-Sijistani (w. 983 M)-seorang filosof humanis Islam-, al-Rummani, al-Syaimari dan Abu Hayyan al-Tauhidi. Abu Hayyan al-Tauhidi merupakan tokoh utama dalam dunia sastra yang terkenal dengan salah satu karya besarnya berjudul al-Imta’ wa al-Mu’nisah.

Biografi Abu Hayyan al-Tauhidi
Abu Hayyan al-Tauhidi dengan lama lengkap Ali ibn Muhammad ibn al-Abbas Abu Hayyan al-Tauhidi, sejak awal telah menyebabkan perbedaan di antara para sejarawan. Sejarawan berselisih pendapat tentang waktu, tempat kelahiran dan nasabnya. Adapun salah satu sumber yang digunakan untuk menetapkan waktu kelahirannya adalah surat yang pernah ia tulis kepada hakim Sahal Ali ibn Muhammad pada tahun 400 H yang berbunyi "Sesungguhnya saya dalam usia 90-an", sehingga diperkirakan kelahiran Abu Hayyan al-Tauhidi bertepatan pada tahun 312 H. Sementara sejarawan lain memprediksikan bahwa Abu Hayyan al-Tauhidi dilahirkan antara tahun 310 H/922 M dan 320 H/932.

Sebagaimana perbedaan antar para sejarawan dalam menentukan waktu kelahiran Abu Hayyan al-Tauhidi, mereka juga berbeda dalam menentukan tempat kelahirannya. Ibn al-Qadhi berusaha memaparkan tempat kelahiran Abu Hayyan al-Tauhidi dengan memberikan sebuah argumen tentang keberadaan keluargannya yang menjual kurma di Baghdad sehingga diperkirakan ia lahir di sana. Disumber lain masih meragukan tentang kedatangan Abu Hayyan al-Tauhidi ke Baghdad karena tidak ditemukan informasi yang jelas. Namun dapat diperkirakan bahwa hal itu terjadi sebelum 348 H/959 M, ketika gurunya dalam bidang tasawuf yang bernama Abu Muhammad Ja'far al-Khuldi meninggal.Mengenai nasab Abu Hayyan al-Tauhidi, Ibn al-Qadhi berpendapat bahwa nama al-Tauhidi merupakan julukan kepada orang tuanya yang menjual kurma di Baghdad yang disebut "al-Tauhid". Pendapat ini diperkuat oleh al-Zubaidi dan Shahib al-Taj. Berbeda dengan tokoh-tokoh tersebut, Ibn Hajar berpendapat bahwa al-Tauhid lebih mengarah pada makna agama, karena orang Mu'tazilah menamakan dirinya sebagai kaum yang adil dan bertauhid sementara menurut Ibn Hajar, Abu Hayyan al-Tauhidi beraliran Mu'tazilah.

Abu Hayyan al-Tauhidi dikenal sebagai sastrawan yang selalu hidup dalam kesusahan dan kesengsaraan. Kehidupannya tidak pernah lepas dari dunia tulis-menulis, sehingga ia dijuluki sebagai orang yang paling baik dalam hal tulis-menulis di antara para penulis lainnya.

Selain itu, Abu Hayyan al-Tauhidi juga terkenal sebagai tokoh humanisme Islam klasik, gelar itu mengutip dari perkataan Abu Hayyan al-Tauhidi "al-insan asykala alahi al-insan" (Sungguh, manusia seringkali membuat kesulitan bagi manusia lainnya).

0 Comments:

Post a Comment

<< Home


Kehidupan bagaikan panggung sandiwara, problematika tak ubahnya lakon yang harus diperankan. Manusia adalah aktor dari sandiwara ini, peran nyata harus ia mainkan. Adakalanya peran itu kocak, adakalanya tragis. Hanya mereka yang mampu memainkan peran dengan baik yang akan menjadi aktor utama. Manusia merupakan makhluk yang unik, unik karena manusia memiliki dua dimensi. Pada satu sisi manusia dituntut untuk menjadi individu yang kuat, tegas, pemberani, dan bebas. Namun pada sisi lain manusia dihadapkan pada dimensi sosial yang terkadang bertentangan dengan pribadi. Kekuatan, ketegasan, keberanian dan kebebasan yang bersifat individu sering kali terbatasi oleh kenyataan sosial. Untuk menyatukan keunikan manusia, tiap-tiap individu harus berusaha terus-menerus mendaki, berjalan mencari jati diri. Jati diri adalah kunci utama dalam menentukan peran dan lakon yang harus ia mainkan. Tentu saja pencarian memerlukan proses, semakin panjang proses yang dilakukan maka semakin matang hasil yang akan diperoleh. Ketahuilah bahwa dunia adalah lelucon bagi mereka yang melakukannya, atau tragedi bagi mereka yang merasakannya. Dalam proses pencarian manusia dibekali dengan akal, nurani dan agama. Tanpa akal manusia bagaikan hewan yang hanya memainkan kehidupan berdasarkan kebutuhan biologis, tanpa nurani manusia bagaikan binatang buas yang memangsa binatang lemah, tanpa agama manusia bagaikan berjalan di tengah kegelapan tanpa memegang lentera. Apapun yang menjadikanmu bergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah hati seorang pecinta Tuhan lebih besar daripada Singgasana-Nya. . .