Thursday, November 22, 2007

Kajian Al-thahârah dalam Kitab Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid

Agama pada dasarnya memiliki dua aspek bahasan terpenting dalam mengiringi kehidupan manusia. Aspek tersebut adalah akidah dan syari’ah. Akidah merupakan standarisasi awal yang membedakan antara manusia yang beragama dan manusia yang anti agama. Hal itu karena, penekanan akidah lebih pada keyakinan dan kepercayaan sebelum melakukan perintah-perintah yang berkaitan dengan agama. Sedangkan syari’ah lebih menekankan pada aplikasi dari akidah tersebut.

Akidah dan syari’ah menjadi kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Karena akidah adalah ruh agama sementara syariah adalah jasad agama. Orang yang telah menyatakan dirinya beragama tentu tidak akan sempurna tanpa
memiliki dan ruh dan jasad agama. Agama tanpa ruh bagaikan mayat yang tidak mampu melakukan sesuatu, begitupun agama tanpa syariah bagaikan hantu yang hanya muncul pada alam hayalan manusia.

Islam sebagai agama samawi yang memiliki misi khusus membawa manusia ke alam yang lebih baik dan sempurna, tentuh ruh dan jasadnya saling bahu-membahu dalam mewujutkan hal itu. Ruh Islam berupa dua kalimat syahadat (syahadap ketuhanan dan syahadat kenabian) yang harus diyakini dalam hati dan diucapkan secara lisan. Jasad Islam berupa shalat, zakat, puasa, dan haji.

Akidah dalam Islam nyaris tidak memiliki persoalan sebagimana yang terjado pada agama-agama lain. Toh walaupun ada hanya sebatas pada nama dan sifat-sifat Allah Swt serta peran kenabian nabi Muhammad Saw. Persoalan itu masih beradap pada bingkai pengakuan terhadap “ruh” Islam. Tentu berbeda dengan agama Kristen yang menyatakan bahwa tuhan terbagi menjadi tiga dan nabi Isa adalah bagian dari tuhan itu.

Persoalan yang banyak mewarnai kaum Islam terjadi pada masalah syari’ah atau jasad dari agama Islam itu sendiri. Hal itu karena syariah merupakan sarana untuk menjadikan akidah menjadi bermakna. Yang paling banyak dibincangkan adalah, apakah syari’ah diperuntukan untuk kepentingan Tuhan sehingga manusia sebagai hamba tidak punya wewenang sedikitpun kecuali hanya ikut dan patuh? Atau syari’ah bertujuan untuk kemaslahatan manusia sehingga perintah dan larangan Tuhan harus dimaknai sebagai usaha mensejahterakan manusia?

Persoalan tersebut telah memunculkan perbedaan di kalangan ulama Islam dalam mengambil keputusan hukum. Ulama tersebut kemudian dikenal dengan istilah fukaha . Ibnu Rusyd dengan kitabnya Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid berusaha menghaturkan perbedaan-perbedaan para ulama fikih atau fuqaha dalam menentukan suatu hukum permasalahan dengan didasarkan pada dalil-dalil masing-masing.

Tentu kitab ini sangat menarik untuk dikaji mengingat perbedaan pemahaman terhadap jasad Islam atau syariah Islam tidak dapat dipungkiri. Apalagi perbedaan budaya dan kultur masyarakat memiliki ciri-ciri tersendiri yang tidak mungkin di satukan. Di sinilah penulis akan sedikit banyak melakukan kajian epistemologi dengan merujuk langsung pada sumber, penulis lebih menekankah pada persoalan Thahârah yang menjadi bahasan awal pada tiap-tiap kitab fikih.

Ibnu Rusyd memaparkan bahwa fuqaha secara keseluruhan menyepakati tentang pembagian Thahârah. Thahârah secara garis besar terdiri dari dua bagian yaitu Thahârah dari hadats dan Thahârah dari khabits. Thahârah dari hadats terbagi menjadi tiga bagian yaitu dengan cara wudlu’, mandi dan sebagai pengganti dari keduanya (jika tidak terdapat air) adalah tayammum.
Ibnu Rusyd mengawali pembahasannya tentang wudlu’. Ibnu Rusyd membaginya menajadi lima bagian yaitu, pertama; dalil-dalil diwajibkannya wudlu’ , siapa yang wajib melakukan dan kapan wudlu’ itu menjadi wajib, kedua, mengetahui tentang pekerjaan-pekerjaan dalam wudlu’, ketiga, mengetahui tentang air sebagai bagian terpenting dalam wudlu’, keempat, hal-hal yang membatalkan wudlu’ dan kelima tentang hal-hal yang mengharuskan wudlu’.

Posisi niat dalam wudhlu’ menjadi perdebatan di kalangan fukaha. Ibnu Rusyd menuliskan perbedaan itu mengarah kepada “apakah niat adalah syarat dari wudlu’ atau tidak?”. Imam Syafi’i, Malik, Daudah, dan Abi Tsaurah mengategotikan niat sebagai syarat wudlu’ sementara Abu Hanifah dan Imam Tsaury tidak mengategorikan niat dalam syarat wudlu’. Perbedaan itu terjadi karena wudlu’ memiliki dua dimensi sekaligus, pertama berdimensi ibadah dan yang kedua berdimensi penyucian diri. Jika dilihat dari dimensi ibadah maka niat menjadi syarat sahnya wudlu’ sebagaimana fungsi niat dalam shalat, namun jika dilihat dari dimensi penyucian diri, posisi niat tidak lagi menjadi syarat sahnya wudlu’.

Para fuqaha menyepakati bahwa tayammum adalah pengganti dari wudlu’ atau hadats kecil, dan fuqaha berselisih pendapat apakah tayammun juga bisa menggantikan mandi besar sebagai cara untuk menghilangkan hadats besar? Umar dan Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa tayammum tidak dapat menggantikan hadats besar, semenatar Ali dan beberapa fukaha lainnya menjadikan tayammum sebagai pengganti hadats besar. Perbedaan itu karena tidak adanya bukti-bukti kuat yang memasukkan tayammum sebagai pengganti dari hadats besar (jinâbah). Pun demikian dengan ayat al-Qur’an ‏ فلم تجدوا ماء فتيمموا terdapat perselisihan dalam menentukan dhamirnya, apakah dhamir itu kembali kepada hadats kecil secara khusus atau kembali kepada hadats kecil dan besar.

Tiga persoalan yang dianggak oleh Ibnu Rusyd dalam bab tayammum adalah, apakah niat termasuk syarat dari tayammum atau tidak?, apakah diwajibkan mencari air terlebih dahulu sebelum melakukan tayammum atau tidak?, apakah tibanya waktu shalat menjadi syarat sah-nya tayammum? Menjawab persoalan itu, Ibnu Rusyd mengangkat perbedaan pendapat para ahli fikih. Sebagimana perpedaan dalam menentukan posisi niat dalam wudlu’, fukaha juga mengangkat tema yang sama apakah tayammum merupakan ibadah yang tidak memiliki arti akliyah sehingga menjadikan niat sebagai syarat, atau ibadah yang memiliki arti akliyah sehingga tidak membutuhkan niat!

Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang yang ingin melakukan tayammum harus mencari air terlebih dahulu, sehingga pencarian air menjadi syarat sahnya tayammum. Abu Hanifah berbeda pendapat dengan tidak menjadikan pencarian air sebagai syarat sah-nya tayammum. Persoalan yang sebenarnya bukan pada ketidakadaan air karena telah dicari atau belum dicari akan tetapi yang menjadi masalah adalah orang yang akan bertayammum harus berkeyakinan bahwa air beteul-betul tidak ada baik dengan dicari atau tidak.

Kemudian apakah tibanya waktu shalat sebagai syarat sahnya tayammum?, Imam Malik dan Imam Syafi’i menjadikan tibanya waktu shalat sebagai syarat, sementara Abu Hanifah, al-Zhâhiriyah, dan Ibnu Sya’ban (pengikut Imam Malik) tidak menjadikannya sebagai syarat sah-nya shalat. Perselisahan itu terletak pada pemahaman ayat al-Qur’anأيها الذين آمنوا إذا قمتم إلى الصلاة)‏ يا ) apakah ayat itu bermakna ketika telah tiba waktu shalat atau bermakna barangan siapa yang ingin melakukan shalat?

Pada bab al-thahâr dari najis, Ibnu Rusyd mengangkat enam persoalan, yaitu; pertama, hukum al- al-thahâr dari najis, kedua, macam-macam najis, ketiga, tempat-tempat yang harus disucikan dari najis, keempat, hal-hal yang bisa menghilangkan najis, kelima, sifat mensucikan najis dari satu tempat ke tempat lain, dan yang keenam adalah etika orang-orang yang berhadats.

Secara garis besar, perbedaan yang terjadi dalam menyikapi masalah-masalah fikih terletak pada sudut pandang masing-masing fukaha dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an atau Hadis. Perbedaan yang terjadi lebih mengarah pada usaha masing-masing fukaha untuk menjadikan syari’ah agama sebagai sarana menuju kemaslahatan masyarakat. Wallahua’lam!



0 Comments:

Post a Comment

<< Home


Kehidupan bagaikan panggung sandiwara, problematika tak ubahnya lakon yang harus diperankan. Manusia adalah aktor dari sandiwara ini, peran nyata harus ia mainkan. Adakalanya peran itu kocak, adakalanya tragis. Hanya mereka yang mampu memainkan peran dengan baik yang akan menjadi aktor utama. Manusia merupakan makhluk yang unik, unik karena manusia memiliki dua dimensi. Pada satu sisi manusia dituntut untuk menjadi individu yang kuat, tegas, pemberani, dan bebas. Namun pada sisi lain manusia dihadapkan pada dimensi sosial yang terkadang bertentangan dengan pribadi. Kekuatan, ketegasan, keberanian dan kebebasan yang bersifat individu sering kali terbatasi oleh kenyataan sosial. Untuk menyatukan keunikan manusia, tiap-tiap individu harus berusaha terus-menerus mendaki, berjalan mencari jati diri. Jati diri adalah kunci utama dalam menentukan peran dan lakon yang harus ia mainkan. Tentu saja pencarian memerlukan proses, semakin panjang proses yang dilakukan maka semakin matang hasil yang akan diperoleh. Ketahuilah bahwa dunia adalah lelucon bagi mereka yang melakukannya, atau tragedi bagi mereka yang merasakannya. Dalam proses pencarian manusia dibekali dengan akal, nurani dan agama. Tanpa akal manusia bagaikan hewan yang hanya memainkan kehidupan berdasarkan kebutuhan biologis, tanpa nurani manusia bagaikan binatang buas yang memangsa binatang lemah, tanpa agama manusia bagaikan berjalan di tengah kegelapan tanpa memegang lentera. Apapun yang menjadikanmu bergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah hati seorang pecinta Tuhan lebih besar daripada Singgasana-Nya. . .