Thursday, November 22, 2007

Politik dan Idealisme


Jalaluddin Ar-Rumi seorang sufi Islam kelahiran Afghanistan dalam bukunya fîhi ma fîyhi mengutip hadis nabi yang mengatakan bahwa sebaik-baiknya penguasa (umara) adalah yang datang mengunjungi ulama (agamawan Islam) dan seburuk-buruknya ulama adalah yang mendatangi umara.

Dalam ungkapan tersebut, terdapat dikotomi antara ulama dan umara, atau dalam bahasa lain antara agamawan dan pemerintah. Ulama adalah mereka yang senantiasa menyibukkan hari-harinya berlandaskan pada ajaran-ajaran agama. Sementara pemerintah adalah kumpulan para penguasa yang memiliki tugas dan kewajiban memimpin masyarakat.

Ulama yang berkewajiban menyiarkan ajaran-ajaran agama dituntut untuk menghadirkan wajah agama yang peduli pada persoalan masyarakat, anti kekerasan, cinta damai dan
pro kemanusian. Untuk mewujudkan hal itu, ulama harus mampu bersifat safety for all dengan tidak memposisikan dirinya pada ideologi-ideologi tertentu dalam menafsirkan ajaran agama.

Peran ulama yang anti golongan bisa berkaca pada sejarah para ulama Islam terdahulu yang menjaukan dirinya pada gelombang perpolitikan (kekuasaan). Sebutlah Abu Hurairah R.a, beliau dengan masa waktu yang relatis singkat mampu menguasai berbagai hadis yang disampaikan oleh rasulullah dibanding dengan para sahabat yang telah lebih dahulu memeluk Islam. Kecintaan Abu Hurairah akan ilmu betul-betul beliau realisasikan dengan amal perbuatan dan usaha yang sungguh-sungguh. Pergolakan perpolitikan pasca wafatnya rasulullah tidak menjadikan sosok Abu Hurairah berbalik arah untuk ikut serta menikmati kekuasaan atau paling tidak merasa paling pantas merai kedudukan tinggi di mata umat Islam.

Pergolakan politik Islam terus memanas disaat khalifah Utsman bin Affan terbunuh. Pertentangan antar kabilah yang semula mampu diredam oleh kehadiran rasulullah muncul kembali. Perseteruan antara bani Hasim dan bani Umayyah tidak bisa dibendung lagi. Sosok Ali bin Abi Thalib didukung penuh oleh orang-orang Syi’ah dan bani Hasim, sementara sosok Muawiyah didukung penuh oleh bani Umayyah.

Umat Islam saling membunuh, menfitnah dan saling mengkafirkan satu sama lainnya. Pada suasana seperti itulah, muncul beberapa ulama yang konsisten memperjuangkan ajaran agama dengan tidak terpengaruh oleh pergolakan politik. Di antara ulama tersebut adalah Sa’ad bin Malik, Sa’ad bin Abi Waqash, Abdullah bin Umar bin Khattab, Muhammad bin Muslimah al-Anshari, Utsamah bin Zaid bin Haritsah al-Kalabi. Bagi mereka keluar dari perpolitikan (fitnah) adalah pilihan yang paling tepat. Begitu juga yang dilakukan oleh khalifah Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah. Sehingga peristiwa itu dikenal sebagai tahun kebersamaan.
Suasana yang semula berakar dari perebutan kekuasaan atau persoalan politik telah menyebar ke berbagai penjuru. Persoalan agidah pun mulai “dibajak” dengan menciptakan hadis-hadis palsu. Dalil-dalil agama mulai berserakan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Islam tidak lagi menjadi agama yang safety for all, Islam telah menjadi agama yang unhumanis, keras, kejam, haus kekuasaan, dan sebagainya.

Di sadari atau tidak, umat Islam yang ada saat ini masih terpengaruh oleh problematika politik masa lampau. Dalam pembacaan sejarahatau turas misalnya, tiap-tiap golongan yang ada masih terpengaruh oleh ideologi-ideologi tertentu atau dengan kata lain, masih tergantung pada siapa yang menulis dan dari aliran apa penulis itu, tanpa mengkaji lebih dalam apa yang penulis tulis.

Pola pandang seperti itulah yang pada akhirnya menyebabkan umat Islam terjebak pada kepetingan pragmatis dan menghilangkan “sistem nilai” yang dijunjung rasulullah dalam menyebarkan ajaran Islam.

Sejarah perpolitikan umat Islam telah merubah wajah Islam menjadi agama yang hanya sesuai dengan keinginan dan kepentingan masing-masing. Ajaran-ajaran Islam yang semula berpihak pada kemaslahatan bersama telah “dibajak” oleh kepentingan-kepentingan golongan. Maka tidak salah jika pembaharu Islam Mesir Muhammad Abduh dalam doanya mengatakan “aku berlindung kepada Allah dari syeitan dan politik”. Seolah-olah Abduh telah menyamakan antara politik dan syetan yang terlaknat oleh Allah.

Berbeda dengan Muhammad Abduh, Hasan al-Bannah menganggap bahwa politik adalah wasilah untuk memperjuangkan Islam. Hal itu yang pada akhirnya dijadikan dalil bagi para politikus yang mengatas namakan politisi Islam.

Di Indonesia, pergolakan politik Islam juga tidak kalah menarik untuk dibincangkan. Pergolakan politik awal kemerdekaan telah menggugah umat Islam untuk menjadikan Islam sebagai asas negara. Berbagai partai politik Islam (PPI) bermunculan dengan pola pandang atau ideologi keberislaman yang berbeda. PPI tersebut antara lain Masyumi, NU, PSII, Hizbullah dan sebagainya. Kepentingan dan perpedaan dalam memahami ajaran Islam oleh masing-masing partai telah menjadikan perpolitikan Islam memburuk. Klaim kebenaran telah menjadi eksklusif dengan hanya dinikmati oleh golongan tertentu. Agama lagi-lagi menjadi alat justifikasi kepentingan. Partai-partai mengatas namakan dirinya sebagai partai Islam yang sejati dan paling layak untuk diikuti dan dipilih. Tentu tidak heran jika tokoh sekaliber Nurchalis Majid mengatakan “Islam yes partai Islam no”. Sebuah ungkapan yang tidak serampangan jika ditelisik dari sejarah perpolitikan umat Islam Indonesia.

Orde lama telah berlalu, Pancasila telah menjadi asas tunggal yang telah teruji kesaktiannya dalam mempertahankan NKRI. PPI telah melebur menjadi satu dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Umat Islam tidak lagi disibukkan oleh persoalan politik. Kajian, pendidikan keberislaman di pesantren, kampus dan sebagainya memiliki porsi lebih karena yang ada dibenak umat Islam bukan lagi kekuasaan.
Lantas orde baru tumbang digantingan oleh orde Reformasi. Masa ini, lagi-lagi menjadikan umat Islam latah untuk ikut serta dalam panggung perpolitikan. Muncullah berbagai partai baru yang mengatas namakan Islam. Misalnya, PPP, PBB, PKS, PBR dan sebaginya. Umat Islam lagi-lagi disibukkan dengan persoalan politik, dalil-dalil agama kembali dijadikan justifikasi oleh masing-masing politisi dalam merai dukungan. Para politikus berkoar-koar bahwa partainya-lah yang paling Islami, paling adik, paling konsisten dalam memperjuangkan ajaran-ajaran agama. Bukan merupakan pemandangan aneh jika masing-masing juru kampanye (jurkam) mengutip dalil-dalil agama dalam mempromosikan partai dan calon-calonnya. Lagi-lagi ajaran agama Islam dibajak ke dalam dunia politik.

Akhir-akhir ini juga ramai dibincangkan tentang asas tunggal Pancasila. Kaum nasionalis menganggap Pancasila telah final karena telah teruji selama bertahun-tahun dalam merangkul NKRI. Sebagian politikus Islam menganggap bahwa asas tunggal hanya hasil dari akal-akalan yang diciptakan oleh orde baru. PPI seolah-olah kebakaran jenggot ketika mendengar kata Pancasila. Mereka menghendaki Islam sebagai agama yang mengatur kehidupan berbangsa dan beragama bagi masyarakat Indonsesia. Entah sistem apa yang mereka tawarkan, karena sampai saat ini tidak satu negara Islam pun yang mampu menghadirkan wajah Islam sebagai agama yang safety for all. Negara-negara Islam yang ada hanya mampu menerapkan ajaran-ajaran agama sesuai dengan sudut pandang, ideologi atau bahkan kepentingan masing-masing golongan yang berkuasa!
Kelatahan perpolitikan telah merasuk ke berbagai pelosok. Pesantren dengan santrinya dan kampus dengan mahasiswanya telah “dibajak” oleh PPI terntentu dengan dalih pendidikan politik. Pendidikan yang di sisi lain menjadi lahan basah untuk mendukung kepentingan tertentu.

Oleh karena itu, sebagai seorang santri atau mahasiswa harus pandai-pandai membedakan antara pendidikan yang memberikan kebebasan berpikir dengan pendidikan yang bersifat doktrinis yang hanya mencekoki ideologi-ideologi tertentu. Tentu itu semua tidak akan pernah tercapai kecuali masing-masing individu (santri atau mahasiswa) memiliki “idealisme” yang tinggi dalam memajukan nilai-nilai ajaran Islam. Perlu di renungkan, bahwa orang-orang yang berjalan berlandaskan pada idealisme dan keteguhan membawa nilai-nilai Islam yang safety for all hanya sedikit. Abu Hurairah R.a adalah sosok yang sedikit di antara para perawi hadis begitu juga dengan nama-nama sahabat di atas yang keluar dari pergolakan politik. Lantas apakah kita termasuk orang yang sedikit atau tidak? Maka mari kita renungkan! Wallahua’lam



0 Comments:

Post a Comment

<< Home


Kehidupan bagaikan panggung sandiwara, problematika tak ubahnya lakon yang harus diperankan. Manusia adalah aktor dari sandiwara ini, peran nyata harus ia mainkan. Adakalanya peran itu kocak, adakalanya tragis. Hanya mereka yang mampu memainkan peran dengan baik yang akan menjadi aktor utama. Manusia merupakan makhluk yang unik, unik karena manusia memiliki dua dimensi. Pada satu sisi manusia dituntut untuk menjadi individu yang kuat, tegas, pemberani, dan bebas. Namun pada sisi lain manusia dihadapkan pada dimensi sosial yang terkadang bertentangan dengan pribadi. Kekuatan, ketegasan, keberanian dan kebebasan yang bersifat individu sering kali terbatasi oleh kenyataan sosial. Untuk menyatukan keunikan manusia, tiap-tiap individu harus berusaha terus-menerus mendaki, berjalan mencari jati diri. Jati diri adalah kunci utama dalam menentukan peran dan lakon yang harus ia mainkan. Tentu saja pencarian memerlukan proses, semakin panjang proses yang dilakukan maka semakin matang hasil yang akan diperoleh. Ketahuilah bahwa dunia adalah lelucon bagi mereka yang melakukannya, atau tragedi bagi mereka yang merasakannya. Dalam proses pencarian manusia dibekali dengan akal, nurani dan agama. Tanpa akal manusia bagaikan hewan yang hanya memainkan kehidupan berdasarkan kebutuhan biologis, tanpa nurani manusia bagaikan binatang buas yang memangsa binatang lemah, tanpa agama manusia bagaikan berjalan di tengah kegelapan tanpa memegang lentera. Apapun yang menjadikanmu bergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah hati seorang pecinta Tuhan lebih besar daripada Singgasana-Nya. . .