Friday, November 23, 2007

Islam dan Pluralitas Pemikiran

Kehidupan bagai roda yang berputar, terma perubahan menjadi slogan yang acapkali disanjung-sanjung. Dalam tubuh umat Islam, perubahan seringkali mengalami pasang-surut dari sejak diutusnya Nabi Muhammad Saw sampai saat ini. Berbagai metodologi telah digunakan untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang ramah lingkungan dan peduli pada problematika masyarakat.

Perbedaan dalam tubuh umat Islam yang mengarah pada perpecahan terjadi pertama kali pada persoalan politik atau kekuasaan. Sejak Nabi Muhammad Saw wafat, perseteruan antara kabila kembali meledak. Sebelum Nabi Muhammad dimakamkan, kaum muslimin Anshar berkumpul di serambi bani Sa’ad untuk memilih dan menentukan pemimpin umat Islam. Dalam musyawarah tersebut ditetapkan
beberapa nama yang akan diajukan kepada umat Islam, antara lain; Abu Bakar al-Siddiq, Umar ibn Khathab, Abu Ubaid ibn Jarah. Kaum muslim Anshar berpendapat bahwa syarat menjadi pemimpin adalah berasal dari kaum Anshar, karena ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, beliau dengan leluasa bisa melakukan dakwah dengan atas bantuan kaum muslimin Anshar. Sedangkan kaum muslim Muhajirin berpendapat bahwa syarat menjadi pemimpin berasal dari Kota Makkah, karena kaum muslimin Makkah adalah orang yang pertama kali percaya akan kenabiannya.

Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya diputuskan bahwa tiap-tiap golongan kaum muslimin mengajukan perwakilannya, dan berakhir dengan terpilihnya Abu Bakar al-Shiddiq sebagai pemimpin (khalifah) umat Islam pengganti Nabi Muhammad. Perpecahan ditubuh umat Islam memuncak pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Peristiwa itu diprakarsai oleh Abdulah bin Saba’ seorang tokoh Yahudi yang menyatakan masuk Islam. Abdullah bin Saba’ menghimpun umat Islam untuk melakukan makar terhadap pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan. Selain gerakan makar yang dicetuskan oleh Abdullah bin Saba’, ia juga mencari justifikasi dengan membuat beberapa hadis palsu yang berkaitan dengan kecintaan kepada ahlu al-bait dan keagungan Ali bin Abi Thalib. Maka terpecahlah umat Islam menjadi beberapa kelompok.

Muawiyah yang memiliki ikatan keluarga dengan Utsman bin Affan menghimpun kekuatan untuk menuntut balas atas terbunuhnya Utsman bin Affan kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Ia juga mencari justifikasi dengan menjadikan ajaran-ajaran agama sebagai penguat gerakannya. Sementara pada masa dinasti Abbasiah, para ulama seringkali menjadikan agama sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada penguasa. Sehingga pada masa-masa tersebut, Islam tidak lagi menjadi agama yang menawarkan sistem nilai, akan tetapi telah menjadi idiologi-idiologi yang diinterpretasikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing golongan.

Pergolakan perpolitikan menjadi virus perpecahan umat Islam. Perbedaan tidak lagi terbatas dalam ruang politik akan tetapi beranjak pada persoalan-persoalan asasi seperti akidah, filsafat, fikih, sosiologi dan sebagainya. Setiap kelompok mengatas namakan golongan yang paling syah untuk diikuti.

Dalam rana pemikiran (filsafat) secara garis besar terbagi menjadi dua. Pertama, kelompok yang menentang adanya filsafat karena agama bagi mereka merupakan kewajiban yang harus dijalankan dengan ketaatan tanpa melalui unsur perenungan. Dan golongan menempatkan filsafat sebagai keharusan sebagai pegangan bagi para pemeluk agama dalam menerapkan ajaran-ajaran agamanya.

Dalam konteks fikih, terdapat beberapa madzhab yang pada akhirnya menjadi tumpuan bagi generasi selanjutnya. Diantara para fuqaha tersebut adalah; Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal. Dari masing-masing fuqaha tersebut memiliki pola pandang yang bersifat variatif atau dalam bahasa lain plural. Abu Hanifah dikategorikan sebagai fuqaha yang mengedepankan rasionalitas dalam menjawab problematika syari’ah. Malik bin Anas dan Ahmad bin Hambal merupakan fuqaha yang lebih menitik beratkan sudut pandangnya pada hadis sehingga lebih terkenal sebagai fuqaha ahli hadis. Sementara Syafi’i dapat dikategorikan sebagai fuqaha yang menjembatani antara fuqaha rasionalitas dan fuqaha ahli hadis.

Di sadari atau tidak, umat Islam yang ada saat ini banyak yang terpengaruh oleh realita sejarah tersebut di atas. Perbedaan-perbedaan yang ada tidak mampu menjadikan mereka (umat Islam) sebagai komunitas yang menghargai dan menjunjung tinggi pluralitas. Semua bergerak berdasarkan kepentingan dan idiologi masing-masing dan yang paling ironis adalah menjadikan agama sebagai alat justifikasi atas segala tindakan-tindakan yang tidak mencerminkan Islam sebagai agama yang rahmat li al-‘âlamîn.

Polemik antar partai politik misalnya, dalam mengubah UU Partai dari “tidak boleh bertentangan” menjadi “harus berasaskan Pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945, mengindikasikan lemahnya umat Islam Indonesia dalam memaknai “Islam” sebagai agama yang mampu eksis dalam segala bentuk dan sistem negara. Jika kita mau dengan sadar dan terbuka untuk mengkaji tiap-tiap butir Pancasila, maka tidak ada satu pun yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam! Dari sila Ketuhanan yang Maha Esa sampai pada sila keadilan sosial bagi selurah rakyat Indonesia telah mencerminkan nilai-nilai agamis yang patut dijunjung tinggi. Entah jika kita melihat butir-butir Pancasila tersebut dengan menggunakan kaca mata Islam sebagai ideologi (bukan sistem nilai)? Maka tentu polemik di atas tidak akan pernah menemukan kata sepakat dan pada akhirnya berdampak pada kemajuan bangsa Indonesia. Bukankah bangsa yang dipimpin oleh orang yang tidak bermoral akan tetapi adil dan bertanggung jawab lebih baik dari pada bangsa yang dipimpin oleh orang yang bermoral akan tetapi tidak adil dan tidak bertanggung jawab? Wallahu a’lam.



0 Comments:

Post a Comment

<< Home


Kehidupan bagaikan panggung sandiwara, problematika tak ubahnya lakon yang harus diperankan. Manusia adalah aktor dari sandiwara ini, peran nyata harus ia mainkan. Adakalanya peran itu kocak, adakalanya tragis. Hanya mereka yang mampu memainkan peran dengan baik yang akan menjadi aktor utama. Manusia merupakan makhluk yang unik, unik karena manusia memiliki dua dimensi. Pada satu sisi manusia dituntut untuk menjadi individu yang kuat, tegas, pemberani, dan bebas. Namun pada sisi lain manusia dihadapkan pada dimensi sosial yang terkadang bertentangan dengan pribadi. Kekuatan, ketegasan, keberanian dan kebebasan yang bersifat individu sering kali terbatasi oleh kenyataan sosial. Untuk menyatukan keunikan manusia, tiap-tiap individu harus berusaha terus-menerus mendaki, berjalan mencari jati diri. Jati diri adalah kunci utama dalam menentukan peran dan lakon yang harus ia mainkan. Tentu saja pencarian memerlukan proses, semakin panjang proses yang dilakukan maka semakin matang hasil yang akan diperoleh. Ketahuilah bahwa dunia adalah lelucon bagi mereka yang melakukannya, atau tragedi bagi mereka yang merasakannya. Dalam proses pencarian manusia dibekali dengan akal, nurani dan agama. Tanpa akal manusia bagaikan hewan yang hanya memainkan kehidupan berdasarkan kebutuhan biologis, tanpa nurani manusia bagaikan binatang buas yang memangsa binatang lemah, tanpa agama manusia bagaikan berjalan di tengah kegelapan tanpa memegang lentera. Apapun yang menjadikanmu bergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah hati seorang pecinta Tuhan lebih besar daripada Singgasana-Nya. . .