Saturday, November 24, 2007

Abu Hayyan at-Tauhidi; Tokoh Kontroversial Islam Klasik (Seri 2)

Kondisi Sosio Masyarakat Pada Masa Abu Hayyan al-Tauhidi
Abu Hayyan al-Tauhidi adalah salah satu tokoh Islam klasik yang terlahir pada masa Dinasti Buwaihiyyah. Dinasti ini muncul di Irak dan Iran Barat yang diawali dengan peritiwa perpecahan ditubuh dinasti Abbasiyah. Sebelum Dinasti Buwaihiyyah memasuki Irak, umat Islam terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.

Meskipun terjadi berbagai perpecahan, gagasan tentang mamlakah al-Islam (kerajaan Islam) tetap terbentang luas sepanjang India dan Atlantik. Dinasti Abbasiyyah yang mengalami kemandulan dalam bidang politik, masih menjadi simbol kesatuan kerajaan dengan otoritas kekuasaan dipegang oleh masing-masing wilayah.

Dinasti Buwaihiyyah didirikan oleh tiga bersaudara dari putra-putra Buwaih (Buya) yaitu; Ali, Hasan dan Ahmad yang kemudian mendapat gelar dari Khalifah al-Mustakfi sebagai Imad al-Daulah (Fondasi Negara), Rukn al-Daulah (Penyanggah Negara) dan Mu'izz al-Daulah (Penegak Negara).

Dinasti Buwaihiyyah, pada awal kemunculannya mampu menguasai seluruh Fars, Rayy, Ishfahan dan Jibal. Pengikut Bawaihiyyah adalah orang-orang suku Dailami yang berasal dari kabilah Syirdil Awandan, dari dataran tinggi Jilan sebelah selatan Laut Kaspian. Suku ini terdiri dari orang-orang kuat yang terkenal
dengan kekerasannya karena pengaruh dari kebebasan yang tinggi. Mereka mampu mempertahankan dirinya dengan baik di benteng pertahanan yang sekaligus digunakan sebagai sarana latihan. Benteng itu terletak di lereng gunung dengan nama Elburz yang secara efektif membentengi mereka dari arah Selatan.

Tempat perlindungan suku Dailami pernah dimasuki secara damai oleh golongan Aliyyah yang mengungsi akibat penindasan yang dilakukan oleh Bani Abbasiyyah pada tahun 175 H/791 M. Pada masa tersebut, Syi'ah muncul sebagai golongan terkuat dengan dimotori oleh Hasan ibn Zaid yang dijuluki sebagai al-Da'i al-kabir, kemudian Hasan ibn Zaid digantikan oleh saudaranya Abu Abdullah Muhammad ibn Zaid. Kurang lebih selama kurun waktu tiga belas tahun Syi'ah berkembang dengan pesat. Namun setelah Dinasti Samaniyyah mampu mengacaukan pemerintahan Aliyyah dengan menerapkan kekuasaan Islam Sunni, maka al-Hasan ibn Ali yang lebih dikenal dengan al-Nashir al-Uthrusy (w. 314 H/917 M), memperbaharui pemerintahan Aliyyah dengan menyebarkan keyakinan Zaidiyyah di kalangan suku Dailami dan Jili dengan mengubah pola-pola organisasi sosial politik, serta merubah status wilayah dari dar al-harb (wilayah perang untuk non-Muslim) menjadi dar al-islam (wilayah damai).

Pada masa Dinasti Buwaihiyyah, kekerasan antara kaum Sunni dan Syi'ah sering terjadi. Hal tersebut dipicu oleh adanya keinginan dalam memperebutkan kekuasaan dan perbedaan ideologi yang mendasar. Al-Hallaj, seorang sufi terkemuka yang mengajarkan doktrin peleburan Tuhan dan penafsiran spiritual terhadap kewajiban-kewajiaban keagamaan, termasuk pelaksanaan ibadah haji dihukum gantung di Bab al-Thaq pada tahun 922 M.

Namun ada sisi menarik yang bisa kita banggakan dalam pola dan tatanan kehidupan masyrakat pada masa Dinasti ini. Para pangeran dan wazir Dinasti ini menjadi contoh dalam memberikan dukungan terhadap berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Pada masa tersebut, Baghdad sebagai tempat berkembangnya Dinasti tersebut mengalami kemajuan yang sangat pesat. Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan. Para penguasa saling berlomba-lomba dalam mengimpulkan para sastrawan untuk menyampaikan syair-syair indahnya di istana. Sehingga bukan sebuah keanehan jika sarjana dan penyair sering kali melakukan pengembaraan dari satu istana menuju istana yang lain.

Para penguasa mengumpulkan para kerabatnya dalam sebuah majlis atau pertemuan untuk mempelajari disiplin ilmu pengetahuan seperti; ilmu kalam, hadits, fikih, kesusastraan dan lain sebagainya dengan dipandu oleh para guru yang diundang secara khusus ke dalam istana. Selain di istana, pertemuan dalam membahas ilmu pengetahuan juga diselenggarakan di masjid-masjid, rumah-rumah pribadi, kedai-kedai, alun-alun bahkan di taman-taman kota.

Abu Hayyan al-Tauhidi terkadang merujuk pada areal beberapa toko buku di Bab al-Thaq al-Harrani yang sering kali dijadikan tempat dilangsungkannya diskusi-diskusi
kesarjanaan.

Disiplin Ilmu Yang Digeluti Dan Perjalanan Kariernya

Abu Hayyan al-Tauhidi tumbuh berkembang pada masa-masa perkembangan Islam, masa itu dikenal dengan sebutan renaisans (masa kebangkitan) Islam. Masa ini, secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan Abu Hayyan al-Tauhidi. Sebagaimana ulama tempo dulu, Abu Hayyan al-Tauhidi menempuh pendidikannya dengan berpindah-pindah antar satu ulama ke-ulama lain. Di antara guru-gurunya adalah Qadhi Abu Hamid al-Marurudzi dalam bidang ilmu fikih, Abu Bakri Muhammad ibn Ali al-Qaffal al-Syasyi, Abu Sa'id al-Hasan ibn Abdullah al-Sairafi dan Ja'far al-Khuldi dalam bidang ilmu hadits, Abu Sulaiman Muhammad ibn Thahir ibn al-Manthiqi al-Sujastani, Abu Qasim Abdullah ibn al-Hasan, Ali ibn Isa al-Rumani dalam disiplin ilmu filsafat.

Selain disiplin ilmu di atas, Abu Hayyan al-Tauhidi juga mempelajari beberapa bidang ilmu di antaranya, ilmu etika, keterampilan, sastra, mantiq, sosial, ketuhanan dan teologi dalam kaca mata Mu'tazilah. Menurut Yaqut, Abu Hayyan al-Tauhidi merupakan ulama yang mendalami berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Seperti, syair, bahasa, sastra, fikih dan ilmu kalam dalam perspektif Mu'tazilah.

Selain mempelajari disiplin ilmu yang berada di Baghdad, Abu Hayyan al-Tauhidi berkelana dalam mencari ilmu sampai pada negeri Bashrah dengan berbaur dengan para ulama setempat. Setelah ia mendengar hadis yang disampaikan oleh al-Marwarrudzi berkenaan dengan penuntut ilmu (thalib al-ilm) yang mengembara di atas sayap-sayap malaikat, Abu Hayyan al-Tauhidi menyampaikannya kembali kepada sekumpulan kaum sufi dan orang-orang asing.

Abu Hayyan al-Tauhidi merupakan seorang penulis profesional, sekretaris dan anggota istana. Profesi yang digeluti memacunya untuk selalu mengabadikan berbagai kejadian dan disiplin ilmu sehingga ia sering kali dijuluki sebagai tokoh ensiklopedial yang minim dengan ilmu seni, selain itu, Abu Hayyan al-Tauhidi menjadi tokoh informer utama dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Keuletan dan keistiqamaannya sering kali membuat para wazir bertanya-tanya.

Kebutuhan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, mengharuskan Abu Hayyan al-Tauhidi berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari mata pencaharian. Berdasarkan sebuah laporan, Menteri al-Muhallabi mengasingkan Abu Hayyan al-Tauhidi dari Baghdad karena ide-ide bid'ah yang dicetus oleh al-Hallaj. Kemudian Abu Hayyan al-Tauhidi, berkunjung ke Arrajan sebuah tempat dimana ia mengadakan intraksi dengan Abu al-Wafa' al-Buzajani dan dengan hakim Ibn Syahawaih. Dan menuju ke Rayy dan istana Abu al-Fadhl ibn al-Amid.

Kemudian Abu Hayyan al-Tauhidi mengabdikan hidupnya kepada Shahib ibn Abbas kurang lebih selama tiga tahun. Namun, pengabdian itu berakhir karena menurut laporan yang ditulis oleh Abu Hayyan al-Tauhidi dalam kitabnya Akhlaq mengatakan bahwa ia mengusulkan untuk menyeleksi beberapa tulisan ia terima dari Shahib untuk disalin karena akan merusak penglihatan Abu Hayyan al-Tauhidi. Peristiwa itu melukai perasaan Shahib ibn Abbas.

Pada tahun 370 H/980 M, Abu Hayyan al-Tauhidi kembali ke Baghdad dan bertemu dengan temannya yang bernama Abu al-Wafa' al-buzajani, kemudian Abu Hayyan al-Tauhidi bekerja di rumah sakit di bawah kepemimpinan temannya. Namun, karena minimnya gajih yang ada, Abu al-Wafa' menyarankan agar Abu Hayyan al-Tauhidi mengabdikan dirinya kepada Ibn Sa'dan.

Menjelang akhir masa hidupnya, Abu Hayyan al-Tauhidi mengundurkan diri dan mengasingkan dirinya ke daerah Syiraz, sebuah tempat yang menjadi sarana perkumpulan para sufi.



0 Comments:

Post a Comment

<< Home


Kehidupan bagaikan panggung sandiwara, problematika tak ubahnya lakon yang harus diperankan. Manusia adalah aktor dari sandiwara ini, peran nyata harus ia mainkan. Adakalanya peran itu kocak, adakalanya tragis. Hanya mereka yang mampu memainkan peran dengan baik yang akan menjadi aktor utama. Manusia merupakan makhluk yang unik, unik karena manusia memiliki dua dimensi. Pada satu sisi manusia dituntut untuk menjadi individu yang kuat, tegas, pemberani, dan bebas. Namun pada sisi lain manusia dihadapkan pada dimensi sosial yang terkadang bertentangan dengan pribadi. Kekuatan, ketegasan, keberanian dan kebebasan yang bersifat individu sering kali terbatasi oleh kenyataan sosial. Untuk menyatukan keunikan manusia, tiap-tiap individu harus berusaha terus-menerus mendaki, berjalan mencari jati diri. Jati diri adalah kunci utama dalam menentukan peran dan lakon yang harus ia mainkan. Tentu saja pencarian memerlukan proses, semakin panjang proses yang dilakukan maka semakin matang hasil yang akan diperoleh. Ketahuilah bahwa dunia adalah lelucon bagi mereka yang melakukannya, atau tragedi bagi mereka yang merasakannya. Dalam proses pencarian manusia dibekali dengan akal, nurani dan agama. Tanpa akal manusia bagaikan hewan yang hanya memainkan kehidupan berdasarkan kebutuhan biologis, tanpa nurani manusia bagaikan binatang buas yang memangsa binatang lemah, tanpa agama manusia bagaikan berjalan di tengah kegelapan tanpa memegang lentera. Apapun yang menjadikanmu bergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah hati seorang pecinta Tuhan lebih besar daripada Singgasana-Nya. . .