Saturday, November 24, 2007

Abu Hayyan at-Tauhidi; Tokoh Kontroversial Islam Klasik (Seri 3)

Karya-Karya Monumental Tokoh

Abu Hayyan al-Tauhidi terkenal sebagai tokoh yang memiliki keuletan dalam mencatat berbagai peristiwa yang ia saksikan. Diakhir hayatnya, ia membakar beberapa karyanya. Peristiwa itu ia abadikan dalam sebuah risalah (surat) yang ia kirim kepada hakim Sahal Ali ibn Muhammad pada tahun 400 H. Surat itu sekaligus dijadikan pedoman untuk menentukan waktu kelahiran Abu Hayyan al-Tauhidi. Sementara kitab-kitab yang masih ada pada saat ini menurut al-Suyuthi merupakan hasil karya yang sempat diselamatkan dari peristiwa pembakaran itu.

Secara garis besar, kita bisa membedakan hasil karya Abu Hayyan al-Tauhidi menjadi dua kategori. Pertama, karya tulis yang berbentuk risalah-risalah (surat-surat) yang ia kirimkan kepada beberapa sahabat dan para penguasa. Kedua, karya tulis dalam bentuk buku. Di antara karya tulis tersebut adalah;
1. Ikhbar al-Qudama' wa al-Dzakhair al-Hukkami
2. Akhlaq al-Waziraini
3. Al-Isyarat al-Ilahiyah
4. Al-Imta' wa al-Mu'nisah
5. Anis al-Muhadharah
6. Aushaw al-Majalis
7. Al-Bashair wa al-Dzakhair
8. Al-Tadzkirah al-Tauhidiyah
9. Tarwih al-Arwah
10. Tashawwuf al-Hukkam wa Zuhd al-Falasifah
11. Al-Hajj al-Aqli idza Dhaqah al-Fadha an al-Hajj al-Syar'i
12. Dzam al-Waziraini
13. Al-Raudh al-Khashib
14. Riyadh al-A'rifin
15. Al-Zulfah
16. Al-Shadaq wa al-Siddiq
17. 'Ajaib al-Gharaib
18. Kitab al-Hujjij
19. Kitab al-Radd 'ala ibn Jani fi Syi'ri al-Mutanabbi
20. Kitab al-Nawadir
21. Matsalib al-Waziraini
22. Al-Muhadharah wa al-Munazharah
23. Al-Risalah al-Baghdadiah
24. Risalah al-Hayah
25. Al-Risalah al-Sufiah
26. Risalah ila Qadhi ibn Sahal
27. Risalah an ibn al-Fadhal ibn al-"Amid
28. Risalah fi Akhbar al-Sufiah
29. Risalah fi al-Imamah
30. Risalah fi Tahqiqi anna ma yashdar bi al-Qudrah wa al-Ikhtiar la bi al-Karaha wa al-Idhthirar
31. Risalah fi Taqrizh al-Jahizh
32. Risalah fi al-Hinih ila al-Awthar
33. Risalah fi shalat al-Fuqaha fi al-Manazharah
34. Risalah fi al-Thabi'i wa al-Ilahiyah
35. Risalah fi Al-'Ulum
36. Risalah fi al-Kalam 'ala al-Kalam
37. Risalah fi li Abi Bakr al-Thalaqani
38. Risalah fi nawadir al-Fuqaha
39. Risalah fi Riwayah al-Saqifah.

Abu Hayyan al-Tauhidi Dalam Perspektif Para Tokoh

Sejaka awal, keberadaan Abu Hayyan al-Tauhidi selalu menimbulkan kontraveksi di antara para sejarawan, dari waktu, tempat kelahiran sampai pada nasabnya. Pada bagian ini, penulis akan berusaha membahas tentang ke-kontroversial-an Abu Hayyan al-Tauhidi dari segi pengafiran, kefilsafatan, kesufian dan pembakaran karya-karya tulisnya.

Pengafiran merupakan sebuah fenomen yang sangat naif ketika harus terjadi pada sebuah komunitas. Karena pengklaiman hanya akan menghasilkan ketimpangan dalam sosial kehidupan bermasyarakat. Timbul sebuah pertanyaan, apakah benar Abu Hayyan al-Tauhidi adalah seorang yang kafir? Untuk menjawab itu, penulis akan berusaha mengetehangkan beberapa pendapat para tokoh, kemudian penulis akan berusaha memberikan pandangan penulis sendiri tentunya setelah mengkaji beberapa pendapat yang ada.

Di antara para tokoh yang mengafirkan Abu Hayyan al-Tauhidi adalah Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya Muhammad ibn Habibi Al-Razi, Ibn Jauzi, al-Subaki, al-Dzahbi.

Para tokoh yang menentang pengafiran Abu Hayyan al-Tauhidi antara lain; Ibn Najjar, Muhib al-Din, Abu Abdullah, Yaqut al-Humawi . Sementara Ibn Hajar hanya berusaha mengambil dari beberapa pendapat yang mengafirkan Abu Hayyan al-Tauhidi dan pendapat yang menentangnya. Selain Ibn Hajar, Marjulius dan Abdul al-Rahman Badawi masih meragukan kekafiran Abu Hayyan al-Tauhidi. Pengafiran itu terjadi karena adanya perbedaan dalam memandang Abu Hayyan al-Tauhidi dan ditambah dengan hilangnya buku berjudul Al-Hajj al-Aqli idza Dhaqah al-Fadha an al-Hajj al-Syar'i yang menjadi sumber polemik.

Dalam pembukaan buku Al-Imta' wa al-Mu'anasah, Abu Hayyan al-Tauhidi mengatakan, orang yang akan selamat dari urusan dunia adalah mereka yang arif, dan orang yang akan sampai pada kebaikan akhirat adalah mereka yang zuhud, dan orang yang akan merasakan lezatnya nikmat akhirat adalah orang yang memutus ketergantungannya kepada orang lain. Dalam memaknai agama, Abu Hayyan al-Tauhidi berpendapat bahwa agama tidak hanya watak atau karakter dan bukan hanya beriman kepada Pencipta, akan tetapi, agama juga merupakan syari'ah yang menuntun untuk mengatur politik dan sosial masyarakat.

Setelah melihat dan membaca beberapa pendapat dan ucapan yang sering kali dilontarkan oleh Abu Hayyan al-Tauhidi, penulis berpendapat bahwa pengafiran terhadap Abu Hayyan al-Tauhidi kurang atau bahkan tidak didukung oleh bukti-bukti yang ada? Abu Hayyan al-Tauhidi adalah tokoh Islam klasik yang dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, ia sering kali berpindah-pindah tempat sebagai upaya mencari nafkah. Peritiwa itu menimbulkan polemik bagi para sejarawan, apakah Abu Hayyan al-Tauhidi seorang sufi sejati yang meninggalkan kecintaannya kepada dunia atau ia lari dari kenyataan karena usaha yang digeluti tidak pernah mencukupi kebutuhan hidupnya?

Salah satu tokoh yang menyebut Abu Hayyan al-Tauhidi seorang sufi adalah Yaqut al-Humawi. Kemudian Abu al-Wafa' al-Buzajani menganggap keadaan Abu Hayyan al-Tauhidi yang sangat menyedihkan karena akibat dari kerendahan hatinya dan pergaulannya bersama orang-orang miskin, orang-orang asing dan para pengemis.

Sementara dalam kitab Al-Imta' wa al-Mu'nisah, Abu Hayyan al-Tauhidi mengatakan bahwa ia masih dalam keadaan miskin dan keputusasaan, kemudian ia meminta kepada Abu al-Wafa' al-Muhandas untuk melepaskannya dari meminta-minta, membelinya dengan kebajikan, memperlakukannya dengan rasa syukur, mempergunakan lisannya untuk selalu bersyukur, memaksanya karena ia telah kehilangan semangat, mencelahnya karena ia telah lalai. Ulama salaf al-Shaleh berpendapat bahwa orang yang baik di antara kita bukanlah yang meninggalkan dunia karena akhirat, bukan pula karena meninggalkan akhirat karena dunia, akan tetapi orang yang terbaik di antara kita adalah mereka yang mampu mengambil dari keduanya. Hal tersebut yang menyebabkan polemik apakah Abu Hayyan al-Tauhidi adalah seorang sufi atau bukan. Sementara dalam sumber yang berbeda dinyatakan, Abu Hayyan al-Tauhidi mengungkapkan keputusasaannya terhadap kehidupan, setelah mencapai tingkat kemasyhuran, ia terpaksa memakan rumput di Stepa, mengemis, serta menjual agama dan harga diri (muru'ah), serta menangisi penyakit dan kemiskinan.

Untuk memastikan apakah Abu Hayyan al-Tauhidi adalah seorang sufi atau hanya lari dari kenyataan, masih diperlukan sebuah kajian yang lebih intanst terutama dalam memaknai kata sufi.

Peristiwa besar yang tidak bisa kita lewatkan dari masa kehidupan Abu Hayyan al-Tauhidi adalah pembakaran hasil karyanya. Dalam sebuah sumber, Abu Hayyan al-Tauhidi menyatakan kebulatan tekatnya untuk melakukan tindakan tersebut, muncul dari sebuah mimpi dan ia semata-mata mengikuti imam-imam pendahulunya seperti, Abu 'Amr ibn al-'Ala' seorang ulam besar, saleh dan asketis yang menimbun buku-bukunya di dalam tanah. Daud al-Tha'i yang terkenal dengan sebutan Taj al-Ummah yang melemparkan buku-bukunya ke laut, Abu Sulaiman al-Darani yang membakar buku-bukunya di dalam tungku, Yusuf ibn Asbath yang meletakkan buku-bukunya di dalam gua, Sufyan al-Tsauri yang melemparkan karya-karyanya ke udara dan Abu Sa'id al-Sirafi yang meninggalkan buku-bukunya untuk anaknya dengan sebuah pesan, jika buku-buku itu menyelewengkannya dari kebaikan, maka semua buku itu harus dihanguskan.



0 Comments:

Post a Comment

<< Home


Kehidupan bagaikan panggung sandiwara, problematika tak ubahnya lakon yang harus diperankan. Manusia adalah aktor dari sandiwara ini, peran nyata harus ia mainkan. Adakalanya peran itu kocak, adakalanya tragis. Hanya mereka yang mampu memainkan peran dengan baik yang akan menjadi aktor utama. Manusia merupakan makhluk yang unik, unik karena manusia memiliki dua dimensi. Pada satu sisi manusia dituntut untuk menjadi individu yang kuat, tegas, pemberani, dan bebas. Namun pada sisi lain manusia dihadapkan pada dimensi sosial yang terkadang bertentangan dengan pribadi. Kekuatan, ketegasan, keberanian dan kebebasan yang bersifat individu sering kali terbatasi oleh kenyataan sosial. Untuk menyatukan keunikan manusia, tiap-tiap individu harus berusaha terus-menerus mendaki, berjalan mencari jati diri. Jati diri adalah kunci utama dalam menentukan peran dan lakon yang harus ia mainkan. Tentu saja pencarian memerlukan proses, semakin panjang proses yang dilakukan maka semakin matang hasil yang akan diperoleh. Ketahuilah bahwa dunia adalah lelucon bagi mereka yang melakukannya, atau tragedi bagi mereka yang merasakannya. Dalam proses pencarian manusia dibekali dengan akal, nurani dan agama. Tanpa akal manusia bagaikan hewan yang hanya memainkan kehidupan berdasarkan kebutuhan biologis, tanpa nurani manusia bagaikan binatang buas yang memangsa binatang lemah, tanpa agama manusia bagaikan berjalan di tengah kegelapan tanpa memegang lentera. Apapun yang menjadikanmu bergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah hati seorang pecinta Tuhan lebih besar daripada Singgasana-Nya. . .