Sunday, November 25, 2007

Kebebasan Wanita; Paparan Tentang Sejarah dan Realita (Seri 1)

Kebebasan merupakan harapan bagi tiap-tiap individu yang ingin maju dan terus berkembang dalam mencari keautentikan diri menuju pada titik kesempurnaan. Kata bebas dalam kamus besar bahasa Indonesia bermakna lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa). Dalam konteks dan rana pemikiran, terma kebebasan merupakan keharusan yang harus dijunjung tinggi, sehingga tanpa kebebasan, pemikiran hanya akan menjadi sebuah keniscayaan. Qasim Amin dalam al-‘Amâl al-Kâmilah menyatakan bahwa kebebasan yang sejati akan menimbulkan berbagai corak pemikiran dan kebangkitan berbagai ragam aliran serta menciptakan suasana sirkulasi atau peredaran pemikiran. Kebebasan yang berkembang pada akhirnya akan menciptakan pola pikir yang berbeda dalam menyikapi problematika kehidupan. Ibn Rusyd mengkiaskan pemikiran dengan makanan. Makanan bagi sebagian mahluk akan menjadi vitamin dan sumber penguat dalam menjalankan roda aktivitas kehidupan, sementara bagi sebagian lainnya akan menjadi racun yang pada akhirnya menjadi sumber malapetaka dan kelemahan. Lebih lanjut Ibnu Rusyd menyatakan bahwa memaksakan pemikiran sama halnya dengan menjadikan makanan menjadi vitamin bagi semua mahluk dan melarang kebebasan dalam berpikir sama halnya memaksakan diri untuk menyatakan bahwa makanan adalah racun bagi semua mahluk.

Secara garis besar, pemikiran bisa kita kategorikan menjadi dua yaitu; pemikiran yang dilandasi oleh sifat-sifat intrinsik yang ada pada diri manusia dengan dilandasi oleh perasaan dan keinginan yang kuat untuk mengetahui, memiliki dan menguasai. Dan pemikiran yang timbul akibat dorongan, kebutuhan yang datang dari luar diri manusia misalnya
kebutuhan sosial dan ekonomi. Pemikiran yang mampu memberikan konstribusi dalam menjawab, memajukan hasrat dan kebutuhan manusia secara benar akan terus berkembang, sementara pemikiran yang tidak mampu menjawab tantangan yang terjadi maka ia akan musnah dengan sendirinya.

Tuntutan akan kebebasan sering kali muncul di tengah-tengah komunitas prural, komunitas yang penuh warna warni. Hal itu karena setiap individu memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menjawab dan menyelesaikan problematika masyarakat yang berkembang. Perbedaan sudut pandang tentunya akan menghasilkan out put yang berbeda pula. Dalam kaca mata kesetaraan gender, terma kebebasan lebih ditempatkan pada tuntutan akan kesejajaran hak antara kaum wanita dan kaum laki-laki. Tuntutan itu muncul didasari oleh keinginan untuk mencari format yang lebih progresif dalam mengusung terma pembaharuan.

Pembaharuan seringkali dinisbatkan pada perubahan yang mengarah pada kemajuan, perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Bagi kaum Orientalis, pembaharuan yang terjadi dalam tubuh umat Islam dikategorikan dalam tiga periodeisasi; masa klasik, pertengahan dan modern. Masa klasik (650-1250 M) terbagi menjadi dua fase, pertama; fase ekspansi (650-1000 M), masa-masa integrasi dan punca kemajuan umat Islam. Pada masa tersebut, Islam berkembang luas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke India di Timur. Pada fase ini pula muncul beberapa ulama besar yang keberadaannya menjadi referensi bagi ulama selanjutnya. Diantaranya; Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ibnu Hambal, Imam al-Asy’ari, Imam al-Maturidi, Wasil bin ‘Ata’, Abu al-Huzail, al-Nazzam, al-Jubba’i, Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawaih, Ibn al-Haisam, Ibn Hayyan, al-Khawarizmi, al-Mas’udi, dan al-Razi. Fase kedua (1000-1250 M) merupakan fase kemunduran bagi umat Islam terutama dalam bidang politik. Fase ini ditandai dengan runtuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad dan pada akhirnya dikuasai oleh Hulagu pada tahun 1258 M.

Periode Pertengahan (1250-1800 M) juga terbagi dalam dua fase; pertama, masa kemunduran (1250-1500 M). Pada masa ini, umat Islam mengalami disintegrasi dan desentralisasi. Peristiwa itu disebabkan adanya perbedaan antara kaum Sunni dan Syi’ah, serta diperparah oleh perpecahan yang terjadi antara Arab dan Persia. Arab berdiri dengan sekutunya yang terdiri atas Arabiah, Irak, Suriah, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai central. Sementara Persia terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tenggara dengan Iran sebagai pusat. Sementara umat Islam di Spanyol dipaksa untuk memeluk agama Kristen atau ke luar dari daerah tersebut. Fase kedua (1500-1800 M) ditandai oleh munculnya tiga kerajaan besar. Fase tersebut dimulai dari masa kemajuan (1500-1700 M) dan masa kemunduran (1700-1800 M). Ketiga kerajaan besar itu antara lain; kerajaan Utsmani (Ottoman Empire) di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Masa kemajuan ketiga kerajaan besar tersebut ditandai dengan maraknya literatur-literatur dan arsitektis yang terpasang indah di gedung-gedung masjid dengan ciri dan corok khasnya. Sementara masa kemunduran pada periode ini ditandai dengan runtuhnya kerajaan Utsmani yang dipukul mundur di Eropa, hancurnya kerajaan Safawi karena serangan-serangan suku bangsa Afghan, dan mengecilnya kekuasaan kerajaan Mughal karena dipaksa tunduk oleh para raja India. Masa tersebut, Islam menjadi agama yang statis.

Periode Modern (1800 M dan seterusnya) merupakan masa kebangkitan umat Islam kembali. Jatuhnya Mesir ketangan Napoleon pada tahun 1798 M menjadikan umat Islam kembali membuka mata bahwa di Barat telah muncul kekuatan-kekuatan baru yang jauh lebih besar daripada kekuatan umat Islam yang tentunya akan menjadi ancaman tersendiri bagi perkembangan umat Islam. Pada masa ini muncullah berbagai aliran dan ide-ide pembaharuan dalam tubuh umat Islam.

Pada dasarnya berbagai perkembangan dan perubahan telah muncul pada masa nabi Muhammad Saw, Islam yang dibawa nabi Muhammad merupakan kelanjutan dari risalah-risalah yang pernah disampaikan oleh nabi-nabi sebelumnya. Kebebasan dan hak asasi manusia telah dijunjung tinggi sejak nabi Muhammad mengikrarkan bahwa tidak ada perbedaan antara kaum Arab dan non Arab, bangsa kulit putih dan kulit hitam, antara kaum borjuis dan proletar kecuali rasa takwa kepada Allah Swt.

Pada makalah sederhana ini, penulis akan berusaha mengetengahkan beberapa pandangan umat Islam tentang kebebasan wanita ditinjau dari problematika yang bersifat domestik atau dalam bahasa lain yang bersifat syar’i tanpa harus menafikan tinjauan sejarah yang melatar belakangi adanya penerapan ajaran-ajaran tersebut. Sehingga diharapkan makalah ini akan menjadi pelengkap dari edisi sebelumnya sebagai mata rantai dari silabus yang telah disepakati.

Tinjauan Historis Teologis

Sejarah adalah silsilah, asal usul (keturunan), kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Dengan sejarah, manusia akan mampu membuka tabir kehidupan sebagai pintu awal membangun masa depan yang lebih cerah. Sejarah juga membawa manusia kerana objektifitas dalam melakukan penilaian terhadap fenomena-fenomena yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, kajian tentang sejarah merupakan keharusan bagi tiap-tiap individu yang menceburkan dirinya dalam penelitian dan kajian tentang fenomen yang terjadi di masyarakat.

Dalam konteks agama samawi, sejarah tentang kehidupan dan peran wanita telah tertuang dalam kitab Perjanjian Lama yang diyakini sebagai kitab suci bagi kaum Yahudi. Kitab Perjanjian Lama menempatkan wanita sebagai sumber utama dari kesalahan. Hal itu terkisahkan dalam bentuk cerita atau kisah-kisah yangdiyakini kebenarannya. Dikisahkan bahwa Hawa adalah penyebab dikeluarkannya Adam dari surga karena telah merayu Adam untuk ikut serta memakan buah khuldi setelah sebelumnya dia terpesona oleh rayuan iblis. Tidak hanya itu, kitab Perjanjian Lama juga mengisahkan peristiwa antara nabi Luth dan putrinya. Nabi Luth sebagai pembawa risalah dijadikan sampel sebagai laki-laki yang terpesona oleh rayuan wanita, yaitu putrinya. Dikisahkan bahwa nabi Luth melakukan uzlah ke gunung kemudian dia mendiami gua yang terdapat di gunung tersebut. Sebagai seorang anak, putri dari nabi Luth tersebut memberikan pengabdian dengan mengantar bahan makanan kepada ayahnya. Suatu hari, putri nabi Luth tersebut mengajak dan menggoda nabi Luth untuk ikut serta menikmati bir yang dia bawa. Sehingga pada akhirnya mereka terlena dalam kemabukan, kemudian mereka melakukan tindakan amoral yang pada akhirnya menyebabkan putri nabi Luth tersebut menjadi hamil.

Syari’ah Yahudi juga mewajibkan bagi orang yang telah meninggal untuk melimpahkan hak waris kepada anak laki-laki tanpa sedikitpun melibatkan anak wanita. Dalam pasal 419 juga tertulis bahwa harta benda yang dimiliki oleh istri adalah hak atau milik suami secara penuh, sementara sang istri hanya berhak memiliki harta benda yang menjadi mahar dalam pernikahan. Dalam pasal 429 dinyatakan bahwa laki-laki memiliki hak veto untuk menceraikan istri yang dianggap telah melakukan tindakan-tindakan amoral seperti zina dan sebagainya. Sementara dalam pasal 433 tertulis bahwa istri tidak memiliki hak sama sekali untuk meminta cerai walaupun ia telah mengetahui secara nyata bahwa si suami telah melakukan tindakan amoral. Dalam pasal 430 dinyatakan bahwa bagi suami yang tidak mampu memberikan nafkah dari hasil kerja kepada istri selama sepuluh tahun maka wajib untuk menceraikan istrinya dan menikah dengan wanita lain. Yahudi telah mengklaim wanita sebagai mahluk yang najis sehingga segala hal yang pernah disentuhnya, baik itu berupa manusia, hewan, atau pun makanan menjadi kotor dan najis. Ironisnya, Yahudi menyandarkan segala kesalahan atau perbuatan amoral yang dilakukan oleh laki-laki menjadi tanggungjawab wanita.

Dari beberapa kisah di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa wanita bagi kaum Yahudi tak ubahnya sebagai malapetaka dan alat pemuas kebutuhan biologis bagi laki-laki. Wanita nyaris tidak memiliki peranan penting dalam membangun tatanan kehidupan yang harmonis dan dinamis. Kata kebebasan dan kesetaraan hanya menjadi impian utopis bagi kaum wanita Yahudi.

Sementara kaum Nasrani dengan Perjanjian Baru sebagai kitab suci yang mereka yakini kebenarannya memposisikan wanita sebagaimana Perjanjian Lama. Mereka menyakini bahwa wanita merupakan penyebab utama menjauhnya kaum adam atau laki-laki dari Tuhan. Mereka menetapkan bahwa satu-satunya jalan menuju kedekatan kepada Sang Pencipta adalah dengan menjaukan diri dari wanita. Mereka meyakini bahwa Isa As yang terbunuh dalam keadaan tersalib diutus ke bumi untuk menembus dosa-dosa Adam yang disebabkan oleh Hawa. Kaum Nasrani juga melarang wanita untuk mengangkat suara di dalam Gereja, karena bagi mereka suara wanita adalah penyebab atau sumber fitnah. Selain itu, Perjanjian Lama juga mensyari’ahkan agar wanita selalu menutupi tubuhnya dengan pakean yang sederhana serta menutupi kepalanya dengan hijab. Mereka kaum Nasrani menyakini bahwa di atas kepala wanita terdapat syetan sehingga bagi wanita Nasrani yang tidak mau menutupi kepalanya harus digundul. Al-Maududi berpendapat bahwa agama kaum Nasrani telah banyak melakukan penyimpangan dalam menerapkan ajaran syari’ahnya. Wanita telah dijadikan sebagai sumber kesesatan dan menyatakan bahwa kecantikan yang dimiliki seorang wanita merupakan senjata ampuh bagi iblis untuk menyesatkan manusia.

Secara garis besar, perlakuan Nasrani atas kaum wanita tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh umat sebelumnya (Yahudi). Nasrani menjadikan wanita sebagai orang kedua yang ditempatkan di bawah kekuasaan laki-laki.

Islam datang ke Jazirah Arab dengan membawa ajaran-ajaran baru yang cenderung menentang dan memperbaharui tradisi-tradisi masyarakat yang berkembang pada kala itu. Tentu saja tradisi yang bisa diakomodir ke dalam Islam ialah yang sejalan atau tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kemanusiaan. Islam menentang ajaran yang diyakini oleh kaum Yahudi dan Nasrani yang menghegemoni kaum wanita. Islam menjawab bahwa peristiwa keluarnya Adam dan Hawa dari surga adalah atas tipu daya yang dilakukan oleh iblis semata tanpa mencari justifikasi kepada Adam atau Hawa. Hal itu bisa dilihat dari bahasa al-Qur’an yang sama sekali tidak menyebutkan nama Adam atau Hawa, melainkan dengan menggunakan gaya bahasa umum (baca; dhamir humâ). Islam menjunjung tinggi egaliter dengan memposisikan wanita sebagai mahluk yang memiliki tempat yang sama di hadapan Tuhan. Imam Mahmud Syaltut berpendapat bahwa Islam memposisikan wanita sebagai mitra bagi kaum laki-laki, sehingga Islam menyamaratakan antara hak dan kewajiban bagi wanita dan laki-laki. Islam memberikan hak bagi wanita dalam pendidikan, kehidupan, ibadah, dan dalam menyampaikan pendapat. Muhammad Abduh berpendapat bahwa pengangkatan derajat terhadap kaum wanita dalam tubuh umat Islam belum pernah dilakukan oleh agama-agama samawi sebelumnya. Bahkan ia menyatakan bahwa wanita Eropa yang diklaim memiliki kebebasan dalam menjalankan roda kehidupan masih memiliki batasan-batasan dengan tidak diperkenankan memiliki harta benda tanpa adanya izin dari si suami.

Dari pembahasan sederhana di atas, bisa diambil kesimpulan sementara bahwa Islam datang dengan membawa ajaran baru yang lebih bersifat humanis daripada agama samawi sebelumnya. Islam dengan ajaran-ajaran barunya telah mengislamisasikan tradisi yang ada dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.





Read more!

Abu Hayyan at-Tauhidi; Tokoh Kontroversial Islam Klasik (Seri 5)

Metodologi Filsafat Sufistik Abu Hayyan al-Tauhidi
Setelah adanya pertentangan antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, para intelektual Islam berusaha mencari formulasi lain yang mampu menyatukan antara rasionalitas dan irasionalitas. Pasca pertentangan antar Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd melahirkan aliran neoplatoisme yang mengarah pada pembatasan alam rasionalitas oleh adanya alam irasionalitas. Bagi bangsa Barat situasi itu dikatakan sebagai awal kemunduran umat Islam karena telah beranjak dari rasionalisme. Pada masa itu muncul beberapa aliran filsafat sufistik yang dalam bahasa lain dikatakan sebagai komunitas orang gila yang paling waras, diantaranya; Muhyiddin Ibnu Arabi, Jalaluddin al-Rumi, al-Hallaj.

Abu Hayyan al-Tauhidi berpendapat bahwa akal tidak mampu mencapai kebenaran mutlak. Ia menempatkan akal secara propersional dengan memberikan haknya untuk menemukan bebagai kemungkinan yang bisa ditempuh, dan Abu Hayyan al-Tauhidi menyatakan bahwa kemampuan yang dimiliki akal terbatas pada hal-hal tertentu, karena ada suatu alam lain yang tidak bisa ditembus oleh akal secara mutlak. Definisi itulah yang pada akhirnya memperkuat
kesufian Abu Hayyan al-Tauhidi. Walaupun sebagian orang berpendapat bahwa dunia sufi bukan dunia teori akan tetapi merupakan dunia praktik.

Abu Hayyan sebagai seorang filosof yang beraliran sufi, lebih mengenengahkan metode penyerahan diri kepada Allah dengan melantunkan bait-bait syair yang bersifat pujian dan lantunan do’a-do’a yang bersifat pengaduan. Abu Hayyan al-Tauhidi terkenal sebagai sosok yang berani dalam menyampaikan kritikan kepada penguasa. Abu Hayyan al-Tauhidi menolak anggapan bahwa manusia harus bersikap tengah-tengah dalam memahami dunia dan akhirat. Ia membenturkan antara pendapat umum yang mengatakan “bahwa orang yang baik di antara kita bukanlah yang meninggalkan dunia karena akhirat, bukan pula karena meninggalkan akhirat karena dunia, akan tetapi orang yang terbaik di antara kita adalah mereka yang mampu mengambil dari keduanya”, kemudian pandangan umum yang mengatakan “bekerjalah untuk dunia-mu seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan berbuatlah demi akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok” dengan perkataan nabi Isa As yang mengatakan “dunia dan akhirat bagaikan arah barat dan timur, ketika kamu mendekati salah satu diantara keduanya, maka kamu telah menjauhi arah yang lain”. Kemudian Abu Hayyan al-Tauhidi mengungkapkan perkataan orang lain yang menyatakan bahwa dunia dan akhirat adalah dua kebutuhan, ketika kita menghendaki satu diantara keduannya maka secara otomatis yang lain harus kita tinggalkan.

Maka dari sinilah metodo sufistik yang diterapkan oleh Abu Hayyan al-Tauhidi bisa dikatakan mengambil dari metodologi Nasrani yang dibawa oleh nabi Isa As. Puncak dari kesufian Abu Hayyan al-Tauhidi terlihat ketika ia membakar karya-karyanya sebagai usaha menghindari kesalahpahaman generasi selanjutnya dalam mencerna ilmu-ilmu yang telah termuat dalam buku-buku itu.

Metodologi Filsafat Humanistik Abu Hayyan al-Tauhidi
Hak asasi manusia merupakan etika internasional dan norma-norma yang diakui dengan tujuan untuk melindungi seluruh manusia dari jajahan politik, undang-undang dan kondisi sosial. Contoh dari hak asasi tersebut antar lain; hak asasi dalam kebebasan beragama, berhak mendapatkan keadilan dalam pengadilan ketika dituduh telah melakukan kriminalitas, hak asasi untuk tidak disiksa, dan hak asasi untuk ikut serta terlibat dalam aktivitas politik. Hak asasi ini berada pada konteks moralitas, dan hukum dalam tingkatan nasional ataupun internasional.

Pembelaan atas nama prikemanusiaan menjadi silabus utama dalam memperjuangkan hak asasi manusia yang diusung oleh Barat. Barat dengan kekuatan yang mereka miliki terus menebarkan konsep-konsep tentang hak asasi manusia. Akibatnya, paradigma hak asasi manusia secara universal dianggap oleh umat Islam sebagai upaya Barat dalam menghegemoni ajaran Islam yang terkandung dalam nilai-nilai tradisional Islam.

Ulama Islam Klasik telah memberikan kepastian hukum bahwa barang siapa melanggar hak asasi manusia, maka ia tidak akan pernah mendapatkan pengampunan dari Allah Swt sebelum orang itu menerima maaf dari yang bersangkutan. Hal itu membuktikan bahwa Islam sejak awal telah menjunjung tinggi humanitas manusia. Manusia sebagai mahluk yang bebas sejak dia lahir, memiliki hak untuk menentukan pilihan dan arah hidup yang akan ia tempuh.

Abu Hayyan al-Tauhidi adalah salah satu contoh seorang pejuang humanisme. Kedekatannya dengan para penguasa dan orang-orang kaya selalu ia gunakan untuk menyuarakan jeritan masyarakat jelata. Abu Hayyan al-Tauhidi yang lihai dalam menggunakan kata-kata indah, selalu menyertai kata-katanya dengan kandungan makna yang begitu mendalam. Sebuah pertanyaan yang diutarakan Abu Hayyan al-Tauhidi kepada Miskaweh tentang fungsi mempelajari ilmu, menjadi cermin akan kesungguhan Abu Hayya al-Tauhidi dalam memaparkan kegelisahan masyarakat jelata akan banyaknya para ilmuan yang tidak memperhatikan jeritan masyarakat kecil.

Metodologi yang digunakan Abu Hayyan al-Tauhidi dalam memperjuangkan humanisme terlihat dari usahanya dalam menyuarakan jeritan masyarakat kecil yang tertuang dalam berbagai karyanya seperti al-Bashâir wa al-Dzakhâir, al-Imtâ’ wa al-Muânasah, Matsâlib al-Wazîrîn.

Sisi Lain dari Diri Abu Hayyan Al-Tauhidi
Sebagai seorang filosof yang memiliki keistimewaan dalam menggunakan bahasa, Abu Hayyan al-Tauhidi memiliki beberapa pemikiran yang berkaitan dengan agama, posisi akal dalam mengambil sebuah keputusan hukum. Berbagai ide yang dilontarkan Abu Hayyan menyebabkan ia menjadi terkenal sebagai seorang filosof sastra di abad ke-4H. Pola pandang dan ide-ide segara yang dihasilkan oleh Abu Hayyan al-Tauhidi tidak lepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor itu antara lain;
1. Pengaruh Obyektifitas

a. Peradaban Luar
Pengaruh ini cenderung mengarah pada faktor yang datang dari luar yang membantu kematangan Abu Hayyan al-Tauhidi. Abad ke-4H merupakan masa keemasan bagi umat Islam. Berbagai ilmu pengetahuan telah menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Kegemilangan masa ini ditandai dengan datangnya berbagai peradapan yang berasal dari berbagai bangsa. Setiap peradapan yang ada memiliki kelebihan tersendiri.
Secara garis besar, kemajuan umat Islam dipengarui oleh tiga peradaban yaitu Yunani, India, dan Persia Yunani sebagai kota para filosof memiliki peranan penting dalam membangun falsafah al-ta’lîl wa al-tahlîl yang lebih menekankan makna dari pada materi, dan menghasilkan kecenderungan pada ilmu dan kemampuan akal. Dari peradapan Yunani pulalah umat Islam mempelajari ilmu filsafat, kedokteran, musik, astronomi, dan tehnik. Sementara peradaban India membawa dampak yang luar biasa bagi umat Islam dalam menumbuhkan daya imajinasi yang diakibatkan oleh pengaruh syair, cerita atau dongeng dan hikmah-hikmah. Pengaruh peradaban India inilah yang pada akhirnya membawa umat Islam pada alam tasawuf, di samping itu umat Islam juga mempelajari ilmu musik, astronomi, agreria, dan matematika. Dampak lain yang timbul pada masa itu datang dari bangsa Persia, sudut pandang yang membawa umat Islam pada ruang materi dengan membuat alat-alat musik sebagai pengiring syair-syair. Pengaruh peradaban Persia sangat besar pada umat Islam terutama dalam ilmu hukum, sastra, astronomi dan sejarah.

b. Keunggulan dalam berdiskusi dan debat.
Mu’tazila yang menempatkan akal pada urutan pertama dalam pemutusan hukum, memiliki peran besar pada abad ke-4H. Keistemewaan dan keunggulan kaum Mu’tazilah mengalahkan lawan dalam diskusi atau debat menjadikan al-jadal, al-hiwâr sebagai metodologi mencari kebenaran yang dicenderungi oleh umat Islam waktu itu. Metode tersebut diadobsi dari Yunani yang lebih mengedepankan akal dan logika.

c. Intraksi dengan para intelektual
Tidak dapat dipungkiri bahwa kedudukan seorang guru akan memiliki pengaruh besar pada pola pikir para muridnya. Kegigihan, ketekunan dan kesabaran seorang guru akan berdampak besar pada keberasilan sang murid. Demikian juga yang terjadi pada pribadi Abu Hayyan al-Tauhidi. Diantara guru-guru yang mempengaruhi metodologi pemikiran Abu Hayyan al-Tauhidi adalah; pertama, Abu Sulaiman Muhammad ibnu Thahir ibnu Bahram al-Sujastani. Ia seorang filosof, ahli logika, dan sastrawan yang banyak mempengarui filsafat dan sastra Abu Hayyan al-Tauhidi. Disebutkan dalam sebuah sumber bahwa buku yang ditulis oleh Abu Hayyan al-Tauhidi dengan judul al-Muqâbasâ secara besar memuat tentang filsafat dan dialog antara Abu Sulaiman dan para muridnya. Kedua, Abu Zakaria Yahya ibnu ‘Adi al-Manthqi. Ia terkenal sebagai seorang filosof dan ahli logika yang menerjemahkan buku-buku Arestatolis dari bahasa Suryani ke dalam bahasa Arab. Abu Zakaria memiliki peran penting pada pertumbuhan Abu Hayyan al-Tauhidi dalam bidang filsafat dan logika. Ketiga, Syekh Abu Sa’id al-Sairafi. Ia merupakan salah satu ulama besar yang ahli dibidang ilmu nahwu dan seorang teolog yang beraliran Mu’tazilah pada abad ke-4H. Menurut Abu Hayyan al-Tauhidi, Abu Sa’ad adalah orang yang telah mengumpulkan berbagai ilmu, lebih faqih dalam berfatwa, lebih banyak dalam meriwayatkan hadis dan orang yang paling cepat dan tepat dalam memutuskan hukum. Keempat, Syekh Ali Ibnu Isa al-Rumani. Abu Hayyan al-Tauhidi mengatakan bahwa Abu Sa’id adalah orang yang terkenal diantara para teolog Mu’tazilah. Ia merupakan ulama ahli nahwu, ‘arudl, mantiq dan berbagai hal yang berkaitan dengan kesusastraan. Kelima, Abu Hamid Ahmad Ibnu Basyar al-Marwarudzi. Ia seorang faqih yang mengajarkan kepada Abu Hayyan al-Tauhidi tentang usul fikih imam Syafi’i. Kekaguman Abu Hayyan al-Tauhidi kepada Abu Hamid nampak pada penukilan dalil-dalil dari Abu Hamid yang kemudian dituangkan dalam karya-karyanya seperti, al-Bashâir wa al-Dzakhâir, al-Imtâ’ wa al-Muânasah, Matsâlib al-Wazîrîn.

d. Pengaruh Perpolitikan dan Sosio Masyarakat
Lingkungan merupakan faktor utama dalam pembentukan watak dan pola pandang. Begitupula yang terjadi pada Abu Hayyan al-Tauhidi, ia tumbuh dan berkembangan di tengah-tengah lingkungan yang memiliki kecintaan dan kegemaran pada ilmu pengetahuan. Para wazir yang menjadi penguasa menjadi cermin bagi masyarakat dalam membangun komunitas intelektual dengan menghargai dan menghormati para ulama waktu itu.

2. Pengaruh Subyektif
Sosok Abu Hayyan al-Tauhidi adalah orang yang cinta akan ilmu pengetahuan, ia memiliki keistimewaan dalam membaca dan mencerna berbagai buku-buku berbahasa Arab. Kegemaran akan sastra dan dunia filsafat mengantarkannya pada lingkungan para wazir dan komunitas masyarakat jelata. Ia adalah seorang yang hidup bebas dalam kegelisahannya. Sosok yang cinta perdamaian, merasa puas dengan keadaan yang menimpanya. Kegigihan dalam memperkaya kebutuhan rohaninya selalu ia tampakkan dalam kekonsistenannya memperkaya hazanah pemikiran.

Sejarah perkembangan bangsa manusia tercatat sejak masa Mesir kuno, perubahan-perubahan yang mengarah pada kemunduran dan kemajuan senantiasa menghiasi panorama kehidupan umat manusia. Yahudi sebagai agama samawi pertama yang diturunkan melalui Nabi Musa As, menjadi strating point dalam penerapan norma-norma agama yang tersusun rapi dalam bentuk kitab suci (baca; Taurat). Problematika dan kebutuhan manusia semakin lama semakin komplit, ketenangan dan kedamaian jiwa menjadi tumpuhan semua orang. Agama Yahudi yang memperlakukan hukum tanpa kompromi terkesan membawa agama pada ranah kekerasan. Hal itu dikarenakan agama Yahudi diturunkan pada komunitas yang keras kepala.

Nasrani sebagai agama samawi kedua setelah Yahudi berusaha menerapkan ajaran-ajaran agama yang cenderung lebih melihat pada realita dan kebutuhan masyarakat. Kekerasan yang muncul dikarenakan kesalahan akan penafsiran hukum-hukum Yahudi bisa diatasi dengan datangnya Nabi Isa As sebagai utusan pembawa agama Nasrani. Agama yang lebih mengedepankan perdamaian dalam penyelesaian masalah.

Namun, Injil sebagai kitab suci bagi kaum Nasrani ternyata tidak mampu memberikan jawaban dan solusi bagi perkembangan umat-umat selanjutnya. Penulisan kitab suci (baca; Injil) yang terkesan cukup jauh dari masa Nabi Isa As cenderung mengajak pada pemahaman yang bersifat prural dan kotroversial. Maka muncullah agama Islam dengan Nabi Muhammad Saw sebagai pembawa dan penyebar ajaran-ajaran samawi. Islam


Read more!


Kehidupan bagaikan panggung sandiwara, problematika tak ubahnya lakon yang harus diperankan. Manusia adalah aktor dari sandiwara ini, peran nyata harus ia mainkan. Adakalanya peran itu kocak, adakalanya tragis. Hanya mereka yang mampu memainkan peran dengan baik yang akan menjadi aktor utama. Manusia merupakan makhluk yang unik, unik karena manusia memiliki dua dimensi. Pada satu sisi manusia dituntut untuk menjadi individu yang kuat, tegas, pemberani, dan bebas. Namun pada sisi lain manusia dihadapkan pada dimensi sosial yang terkadang bertentangan dengan pribadi. Kekuatan, ketegasan, keberanian dan kebebasan yang bersifat individu sering kali terbatasi oleh kenyataan sosial. Untuk menyatukan keunikan manusia, tiap-tiap individu harus berusaha terus-menerus mendaki, berjalan mencari jati diri. Jati diri adalah kunci utama dalam menentukan peran dan lakon yang harus ia mainkan. Tentu saja pencarian memerlukan proses, semakin panjang proses yang dilakukan maka semakin matang hasil yang akan diperoleh. Ketahuilah bahwa dunia adalah lelucon bagi mereka yang melakukannya, atau tragedi bagi mereka yang merasakannya. Dalam proses pencarian manusia dibekali dengan akal, nurani dan agama. Tanpa akal manusia bagaikan hewan yang hanya memainkan kehidupan berdasarkan kebutuhan biologis, tanpa nurani manusia bagaikan binatang buas yang memangsa binatang lemah, tanpa agama manusia bagaikan berjalan di tengah kegelapan tanpa memegang lentera. Apapun yang menjadikanmu bergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah hati seorang pecinta Tuhan lebih besar daripada Singgasana-Nya. . .