Friday, January 9, 2009

Dialog atas Keberagaman Agama

Agama pada dasarnya muncul dalam misi dan tujuan yang sama. Pengakuan terhadap kekuasaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta yang harus disembah menjadi ajaran asasi bagi tiap-tiap agama yang berkembang. Dalam konteks ajaran syari’ah, tiap-tiap agama memiliki sudut ruang yang berbeda-beda sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan umat manusia. Hal itu dikarenakan agama turun untuk membantu dan membawa umat manusia ke arah yang lebih baik. Sehingga ajaran-ajaran agama yang bersifat syar’i lebih cenderung membumi. Di sinilah salah satu hikmah dari diturunkannya para rasul dengan membawa risalah syar’iyah yang variatif.
Dalam tatanan praktek dan realita, agama seringkali menunjukkan keunikannya. Unik karena ketika agama dihadapkan pada persoalan individu yang bersifat spritual, agama mampu menghadirkan kedamaian, ketenangan dan ketentraman. Namun
ketika agama dihadapkan pada problematika sosial, agama seringkali muncul dengan wajah yang kasar, keras, dan tidak mengenal kompromi.
Sejarah menunjukkan bahwa pada masa Nabi Muhammad Saw, Islam dan pemahaman terhadapnya masih dalam bingkai kesatuan, Islam tumbuh berkembang dalam komunitas Arab yang hidup di alam sederhana dengan dikelilingi oleh daratan padang pasir. Secara tidak langsung hal tersebut mempengarui pola pikir dan kecenderungan psikis masyarakat setempat. Keselarasan dalam memahami Islam dan ajarannya, disebabkan adanya tokoh sentral yang menjadi pijakan bagi masyarakat pada umumnya. Nabi Muhammad Saw, sebagai top leader mampu menghadirkan wajah Islam secara sempurna, sehingga dengan waktu yang begitu cepat dan singkat, Islam tersebar keseluruh jazirah Arab.
Kesalahan terhadap penafsiran ajaran-ajaran agama menyebabkan timbulnya gejolak sosial yang pada akhirnya menghasilkan komunitas yang anti agama. Komunitas yang mengingkari adanya eksistensi lain di luar materi. Diantara tokoh-tokoh komunitas ini antara lain; Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872) yang berpendapat bahwa wujud Tuhan adalah hasil dari proyeksi manusia tentang dirinya sendiri, sementara agama adalah media atau sarana untuk mewujudkan proyeksi atau cita-cita manusia tersebut. Bagi Feuerbach, tidak ada Tuhan yang maha adil melainkan hanyalah manusia yang ingin menjadi adil. Kemudian pendapat ini dilanjutkan oleh Karl Mark (1818-1883) dengan slogannya “agama adalah candu”. Bagi Mark, agama hanya membawa manusia pada rana dunia fantasi (baca: surga) dan membawa manusia lari dari kehidupan yang pahit. Kemudian Lenin (1820-1895), Joseph Stalin (1879-1953), dan sebagainya.
Komunitas anti agama tersebut menyakini bahwa agama adalah biyang persoalan. Dapat dicontohkan bagaimana masing-masing agama memiliki konteks yang sama dalam menangani persoalan. Islam dengan jihatnya telah menjadikan agama itu sebagai agama yang anti perdamaian. Begitu juga Kristen dengan perang sucinya telah menyebakan konflik antar agama tidak pernah berhenti. Terma Jihat dan Perang suci telah menghambur-hamburkan surga dengan mengorbankan ribuan jiwa. Tentu hal itu muncul karena kesalahpahaman dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama tersebut.
Peristiwa Poso dan Ambon merupakan contoh terburuk bagi keberagaman masyarakat Indonesia dalam beragama. Korban yang mencapai 2.000 sampai 5.000 jiwa menjadi ujian terbesar bagi peran dan konstribusi agama dalam membangun masyarakat madani, sebuah masyarakat yang damai dan tentam dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Untuk mengatasi konflik antar agama, tidak ada kata lain selain dengan cara dialog antar agama. Dialog yang berupaya mencari titik temu atau titik kesamaan antar agama tanpa mempersoalkan perbedaan-perbedaan yang ada.
Islam mengategorikan golongan yang berselisih dalam persoalan antar agama sebagai orang-orang yang bodoh. Dan orang-orang Yahudi berkata:"Orang-orang Nasrani itu tidak punya suatu pegangan", dan orang-orang Nasrani berkata:"Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan", padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengucapkan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili diantara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya (Q.S 2:113). Bodoh dalam artian tidak mampu menangkap dan mengartikulasikan makna agama secara hakiki. Tiap-tiap agama tentu menawarkan perdamaian, kedamaian dan kesejahteraan. Mengingat kata agama terdiri dari dua suku kata, “a” yang berati tidak dan “gama” yang berati kekacauan. Sehingga secara bahasa agama bermakna sebagai tidak ada kekacauan.
Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya jika Wapres Jusuf Kalla dalam sambutannya memperingati hari Perdamaian Dunia (21/9) di auditorium Istana Wapres, Jakarta meminta untuk menghentikan konflik yang berlandaskan pada agama. Karena fakta telah mencatat bahwa korban terbesar disebabkan oleh konflik agama. Islam sendiri melarang penganutnya untuk berselisih yang mengarah pada perpecahan. Membunuh satu orang manusia bagaikan membunuh manusia secara keselurahan dan barang siapa menjaga eksistensi manusia maka sesungguhnya dia telah menghidupkan manusia secara keseluruhan. Sementara Kristen juga menawarkan untuk saling memberikan kata maaf dalam menyelesaikan berbagai konflik. Begitu juga dengan agama-agama lainnya. Maka disinilah tiap-tiap agama harus bersifat toleran dengan mencari titik temu dan mengakui perbedaan yang ada serta membiarkan perbedaan itu demi terciptanya kehidupan yang madani (berperadapan).


1 Comments:

  • seharus nya tidak harus seragam dengan ada nya agama karna tiap tiap agama mempunyai aturan sendiri sendiri
    seandai nya masyarakat kita lebih berpikir independent dan berpikir positip tanpa harus ada nya keseragaman mungkin hidup ini akan damai walau pun dalam perbedaan yang emakin mendalam

    By Blogger Cuno_Go, at March 29, 2010 at 9:36 PM  

Post a Comment

<< Home


Kehidupan bagaikan panggung sandiwara, problematika tak ubahnya lakon yang harus diperankan. Manusia adalah aktor dari sandiwara ini, peran nyata harus ia mainkan. Adakalanya peran itu kocak, adakalanya tragis. Hanya mereka yang mampu memainkan peran dengan baik yang akan menjadi aktor utama. Manusia merupakan makhluk yang unik, unik karena manusia memiliki dua dimensi. Pada satu sisi manusia dituntut untuk menjadi individu yang kuat, tegas, pemberani, dan bebas. Namun pada sisi lain manusia dihadapkan pada dimensi sosial yang terkadang bertentangan dengan pribadi. Kekuatan, ketegasan, keberanian dan kebebasan yang bersifat individu sering kali terbatasi oleh kenyataan sosial. Untuk menyatukan keunikan manusia, tiap-tiap individu harus berusaha terus-menerus mendaki, berjalan mencari jati diri. Jati diri adalah kunci utama dalam menentukan peran dan lakon yang harus ia mainkan. Tentu saja pencarian memerlukan proses, semakin panjang proses yang dilakukan maka semakin matang hasil yang akan diperoleh. Ketahuilah bahwa dunia adalah lelucon bagi mereka yang melakukannya, atau tragedi bagi mereka yang merasakannya. Dalam proses pencarian manusia dibekali dengan akal, nurani dan agama. Tanpa akal manusia bagaikan hewan yang hanya memainkan kehidupan berdasarkan kebutuhan biologis, tanpa nurani manusia bagaikan binatang buas yang memangsa binatang lemah, tanpa agama manusia bagaikan berjalan di tengah kegelapan tanpa memegang lentera. Apapun yang menjadikanmu bergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah hati seorang pecinta Tuhan lebih besar daripada Singgasana-Nya. . .