Sunday, November 25, 2007

Abu Hayyan at-Tauhidi; Tokoh Kontroversial Islam Klasik (Seri 5)

Metodologi Filsafat Sufistik Abu Hayyan al-Tauhidi
Setelah adanya pertentangan antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, para intelektual Islam berusaha mencari formulasi lain yang mampu menyatukan antara rasionalitas dan irasionalitas. Pasca pertentangan antar Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd melahirkan aliran neoplatoisme yang mengarah pada pembatasan alam rasionalitas oleh adanya alam irasionalitas. Bagi bangsa Barat situasi itu dikatakan sebagai awal kemunduran umat Islam karena telah beranjak dari rasionalisme. Pada masa itu muncul beberapa aliran filsafat sufistik yang dalam bahasa lain dikatakan sebagai komunitas orang gila yang paling waras, diantaranya; Muhyiddin Ibnu Arabi, Jalaluddin al-Rumi, al-Hallaj.

Abu Hayyan al-Tauhidi berpendapat bahwa akal tidak mampu mencapai kebenaran mutlak. Ia menempatkan akal secara propersional dengan memberikan haknya untuk menemukan bebagai kemungkinan yang bisa ditempuh, dan Abu Hayyan al-Tauhidi menyatakan bahwa kemampuan yang dimiliki akal terbatas pada hal-hal tertentu, karena ada suatu alam lain yang tidak bisa ditembus oleh akal secara mutlak. Definisi itulah yang pada akhirnya memperkuat
kesufian Abu Hayyan al-Tauhidi. Walaupun sebagian orang berpendapat bahwa dunia sufi bukan dunia teori akan tetapi merupakan dunia praktik.

Abu Hayyan sebagai seorang filosof yang beraliran sufi, lebih mengenengahkan metode penyerahan diri kepada Allah dengan melantunkan bait-bait syair yang bersifat pujian dan lantunan do’a-do’a yang bersifat pengaduan. Abu Hayyan al-Tauhidi terkenal sebagai sosok yang berani dalam menyampaikan kritikan kepada penguasa. Abu Hayyan al-Tauhidi menolak anggapan bahwa manusia harus bersikap tengah-tengah dalam memahami dunia dan akhirat. Ia membenturkan antara pendapat umum yang mengatakan “bahwa orang yang baik di antara kita bukanlah yang meninggalkan dunia karena akhirat, bukan pula karena meninggalkan akhirat karena dunia, akan tetapi orang yang terbaik di antara kita adalah mereka yang mampu mengambil dari keduanya”, kemudian pandangan umum yang mengatakan “bekerjalah untuk dunia-mu seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan berbuatlah demi akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok” dengan perkataan nabi Isa As yang mengatakan “dunia dan akhirat bagaikan arah barat dan timur, ketika kamu mendekati salah satu diantara keduanya, maka kamu telah menjauhi arah yang lain”. Kemudian Abu Hayyan al-Tauhidi mengungkapkan perkataan orang lain yang menyatakan bahwa dunia dan akhirat adalah dua kebutuhan, ketika kita menghendaki satu diantara keduannya maka secara otomatis yang lain harus kita tinggalkan.

Maka dari sinilah metodo sufistik yang diterapkan oleh Abu Hayyan al-Tauhidi bisa dikatakan mengambil dari metodologi Nasrani yang dibawa oleh nabi Isa As. Puncak dari kesufian Abu Hayyan al-Tauhidi terlihat ketika ia membakar karya-karyanya sebagai usaha menghindari kesalahpahaman generasi selanjutnya dalam mencerna ilmu-ilmu yang telah termuat dalam buku-buku itu.

Metodologi Filsafat Humanistik Abu Hayyan al-Tauhidi
Hak asasi manusia merupakan etika internasional dan norma-norma yang diakui dengan tujuan untuk melindungi seluruh manusia dari jajahan politik, undang-undang dan kondisi sosial. Contoh dari hak asasi tersebut antar lain; hak asasi dalam kebebasan beragama, berhak mendapatkan keadilan dalam pengadilan ketika dituduh telah melakukan kriminalitas, hak asasi untuk tidak disiksa, dan hak asasi untuk ikut serta terlibat dalam aktivitas politik. Hak asasi ini berada pada konteks moralitas, dan hukum dalam tingkatan nasional ataupun internasional.

Pembelaan atas nama prikemanusiaan menjadi silabus utama dalam memperjuangkan hak asasi manusia yang diusung oleh Barat. Barat dengan kekuatan yang mereka miliki terus menebarkan konsep-konsep tentang hak asasi manusia. Akibatnya, paradigma hak asasi manusia secara universal dianggap oleh umat Islam sebagai upaya Barat dalam menghegemoni ajaran Islam yang terkandung dalam nilai-nilai tradisional Islam.

Ulama Islam Klasik telah memberikan kepastian hukum bahwa barang siapa melanggar hak asasi manusia, maka ia tidak akan pernah mendapatkan pengampunan dari Allah Swt sebelum orang itu menerima maaf dari yang bersangkutan. Hal itu membuktikan bahwa Islam sejak awal telah menjunjung tinggi humanitas manusia. Manusia sebagai mahluk yang bebas sejak dia lahir, memiliki hak untuk menentukan pilihan dan arah hidup yang akan ia tempuh.

Abu Hayyan al-Tauhidi adalah salah satu contoh seorang pejuang humanisme. Kedekatannya dengan para penguasa dan orang-orang kaya selalu ia gunakan untuk menyuarakan jeritan masyarakat jelata. Abu Hayyan al-Tauhidi yang lihai dalam menggunakan kata-kata indah, selalu menyertai kata-katanya dengan kandungan makna yang begitu mendalam. Sebuah pertanyaan yang diutarakan Abu Hayyan al-Tauhidi kepada Miskaweh tentang fungsi mempelajari ilmu, menjadi cermin akan kesungguhan Abu Hayya al-Tauhidi dalam memaparkan kegelisahan masyarakat jelata akan banyaknya para ilmuan yang tidak memperhatikan jeritan masyarakat kecil.

Metodologi yang digunakan Abu Hayyan al-Tauhidi dalam memperjuangkan humanisme terlihat dari usahanya dalam menyuarakan jeritan masyarakat kecil yang tertuang dalam berbagai karyanya seperti al-Bashâir wa al-Dzakhâir, al-Imtâ’ wa al-Muânasah, Matsâlib al-Wazîrîn.

Sisi Lain dari Diri Abu Hayyan Al-Tauhidi
Sebagai seorang filosof yang memiliki keistimewaan dalam menggunakan bahasa, Abu Hayyan al-Tauhidi memiliki beberapa pemikiran yang berkaitan dengan agama, posisi akal dalam mengambil sebuah keputusan hukum. Berbagai ide yang dilontarkan Abu Hayyan menyebabkan ia menjadi terkenal sebagai seorang filosof sastra di abad ke-4H. Pola pandang dan ide-ide segara yang dihasilkan oleh Abu Hayyan al-Tauhidi tidak lepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor itu antara lain;
1. Pengaruh Obyektifitas

a. Peradaban Luar
Pengaruh ini cenderung mengarah pada faktor yang datang dari luar yang membantu kematangan Abu Hayyan al-Tauhidi. Abad ke-4H merupakan masa keemasan bagi umat Islam. Berbagai ilmu pengetahuan telah menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Kegemilangan masa ini ditandai dengan datangnya berbagai peradapan yang berasal dari berbagai bangsa. Setiap peradapan yang ada memiliki kelebihan tersendiri.
Secara garis besar, kemajuan umat Islam dipengarui oleh tiga peradaban yaitu Yunani, India, dan Persia Yunani sebagai kota para filosof memiliki peranan penting dalam membangun falsafah al-ta’lîl wa al-tahlîl yang lebih menekankan makna dari pada materi, dan menghasilkan kecenderungan pada ilmu dan kemampuan akal. Dari peradapan Yunani pulalah umat Islam mempelajari ilmu filsafat, kedokteran, musik, astronomi, dan tehnik. Sementara peradaban India membawa dampak yang luar biasa bagi umat Islam dalam menumbuhkan daya imajinasi yang diakibatkan oleh pengaruh syair, cerita atau dongeng dan hikmah-hikmah. Pengaruh peradaban India inilah yang pada akhirnya membawa umat Islam pada alam tasawuf, di samping itu umat Islam juga mempelajari ilmu musik, astronomi, agreria, dan matematika. Dampak lain yang timbul pada masa itu datang dari bangsa Persia, sudut pandang yang membawa umat Islam pada ruang materi dengan membuat alat-alat musik sebagai pengiring syair-syair. Pengaruh peradaban Persia sangat besar pada umat Islam terutama dalam ilmu hukum, sastra, astronomi dan sejarah.

b. Keunggulan dalam berdiskusi dan debat.
Mu’tazila yang menempatkan akal pada urutan pertama dalam pemutusan hukum, memiliki peran besar pada abad ke-4H. Keistemewaan dan keunggulan kaum Mu’tazilah mengalahkan lawan dalam diskusi atau debat menjadikan al-jadal, al-hiwâr sebagai metodologi mencari kebenaran yang dicenderungi oleh umat Islam waktu itu. Metode tersebut diadobsi dari Yunani yang lebih mengedepankan akal dan logika.

c. Intraksi dengan para intelektual
Tidak dapat dipungkiri bahwa kedudukan seorang guru akan memiliki pengaruh besar pada pola pikir para muridnya. Kegigihan, ketekunan dan kesabaran seorang guru akan berdampak besar pada keberasilan sang murid. Demikian juga yang terjadi pada pribadi Abu Hayyan al-Tauhidi. Diantara guru-guru yang mempengaruhi metodologi pemikiran Abu Hayyan al-Tauhidi adalah; pertama, Abu Sulaiman Muhammad ibnu Thahir ibnu Bahram al-Sujastani. Ia seorang filosof, ahli logika, dan sastrawan yang banyak mempengarui filsafat dan sastra Abu Hayyan al-Tauhidi. Disebutkan dalam sebuah sumber bahwa buku yang ditulis oleh Abu Hayyan al-Tauhidi dengan judul al-Muqâbasâ secara besar memuat tentang filsafat dan dialog antara Abu Sulaiman dan para muridnya. Kedua, Abu Zakaria Yahya ibnu ‘Adi al-Manthqi. Ia terkenal sebagai seorang filosof dan ahli logika yang menerjemahkan buku-buku Arestatolis dari bahasa Suryani ke dalam bahasa Arab. Abu Zakaria memiliki peran penting pada pertumbuhan Abu Hayyan al-Tauhidi dalam bidang filsafat dan logika. Ketiga, Syekh Abu Sa’id al-Sairafi. Ia merupakan salah satu ulama besar yang ahli dibidang ilmu nahwu dan seorang teolog yang beraliran Mu’tazilah pada abad ke-4H. Menurut Abu Hayyan al-Tauhidi, Abu Sa’ad adalah orang yang telah mengumpulkan berbagai ilmu, lebih faqih dalam berfatwa, lebih banyak dalam meriwayatkan hadis dan orang yang paling cepat dan tepat dalam memutuskan hukum. Keempat, Syekh Ali Ibnu Isa al-Rumani. Abu Hayyan al-Tauhidi mengatakan bahwa Abu Sa’id adalah orang yang terkenal diantara para teolog Mu’tazilah. Ia merupakan ulama ahli nahwu, ‘arudl, mantiq dan berbagai hal yang berkaitan dengan kesusastraan. Kelima, Abu Hamid Ahmad Ibnu Basyar al-Marwarudzi. Ia seorang faqih yang mengajarkan kepada Abu Hayyan al-Tauhidi tentang usul fikih imam Syafi’i. Kekaguman Abu Hayyan al-Tauhidi kepada Abu Hamid nampak pada penukilan dalil-dalil dari Abu Hamid yang kemudian dituangkan dalam karya-karyanya seperti, al-Bashâir wa al-Dzakhâir, al-Imtâ’ wa al-Muânasah, Matsâlib al-Wazîrîn.

d. Pengaruh Perpolitikan dan Sosio Masyarakat
Lingkungan merupakan faktor utama dalam pembentukan watak dan pola pandang. Begitupula yang terjadi pada Abu Hayyan al-Tauhidi, ia tumbuh dan berkembangan di tengah-tengah lingkungan yang memiliki kecintaan dan kegemaran pada ilmu pengetahuan. Para wazir yang menjadi penguasa menjadi cermin bagi masyarakat dalam membangun komunitas intelektual dengan menghargai dan menghormati para ulama waktu itu.

2. Pengaruh Subyektif
Sosok Abu Hayyan al-Tauhidi adalah orang yang cinta akan ilmu pengetahuan, ia memiliki keistimewaan dalam membaca dan mencerna berbagai buku-buku berbahasa Arab. Kegemaran akan sastra dan dunia filsafat mengantarkannya pada lingkungan para wazir dan komunitas masyarakat jelata. Ia adalah seorang yang hidup bebas dalam kegelisahannya. Sosok yang cinta perdamaian, merasa puas dengan keadaan yang menimpanya. Kegigihan dalam memperkaya kebutuhan rohaninya selalu ia tampakkan dalam kekonsistenannya memperkaya hazanah pemikiran.

Sejarah perkembangan bangsa manusia tercatat sejak masa Mesir kuno, perubahan-perubahan yang mengarah pada kemunduran dan kemajuan senantiasa menghiasi panorama kehidupan umat manusia. Yahudi sebagai agama samawi pertama yang diturunkan melalui Nabi Musa As, menjadi strating point dalam penerapan norma-norma agama yang tersusun rapi dalam bentuk kitab suci (baca; Taurat). Problematika dan kebutuhan manusia semakin lama semakin komplit, ketenangan dan kedamaian jiwa menjadi tumpuhan semua orang. Agama Yahudi yang memperlakukan hukum tanpa kompromi terkesan membawa agama pada ranah kekerasan. Hal itu dikarenakan agama Yahudi diturunkan pada komunitas yang keras kepala.

Nasrani sebagai agama samawi kedua setelah Yahudi berusaha menerapkan ajaran-ajaran agama yang cenderung lebih melihat pada realita dan kebutuhan masyarakat. Kekerasan yang muncul dikarenakan kesalahan akan penafsiran hukum-hukum Yahudi bisa diatasi dengan datangnya Nabi Isa As sebagai utusan pembawa agama Nasrani. Agama yang lebih mengedepankan perdamaian dalam penyelesaian masalah.

Namun, Injil sebagai kitab suci bagi kaum Nasrani ternyata tidak mampu memberikan jawaban dan solusi bagi perkembangan umat-umat selanjutnya. Penulisan kitab suci (baca; Injil) yang terkesan cukup jauh dari masa Nabi Isa As cenderung mengajak pada pemahaman yang bersifat prural dan kotroversial. Maka muncullah agama Islam dengan Nabi Muhammad Saw sebagai pembawa dan penyebar ajaran-ajaran samawi. Islam

0 Comments:

Post a Comment

<< Home


Kehidupan bagaikan panggung sandiwara, problematika tak ubahnya lakon yang harus diperankan. Manusia adalah aktor dari sandiwara ini, peran nyata harus ia mainkan. Adakalanya peran itu kocak, adakalanya tragis. Hanya mereka yang mampu memainkan peran dengan baik yang akan menjadi aktor utama. Manusia merupakan makhluk yang unik, unik karena manusia memiliki dua dimensi. Pada satu sisi manusia dituntut untuk menjadi individu yang kuat, tegas, pemberani, dan bebas. Namun pada sisi lain manusia dihadapkan pada dimensi sosial yang terkadang bertentangan dengan pribadi. Kekuatan, ketegasan, keberanian dan kebebasan yang bersifat individu sering kali terbatasi oleh kenyataan sosial. Untuk menyatukan keunikan manusia, tiap-tiap individu harus berusaha terus-menerus mendaki, berjalan mencari jati diri. Jati diri adalah kunci utama dalam menentukan peran dan lakon yang harus ia mainkan. Tentu saja pencarian memerlukan proses, semakin panjang proses yang dilakukan maka semakin matang hasil yang akan diperoleh. Ketahuilah bahwa dunia adalah lelucon bagi mereka yang melakukannya, atau tragedi bagi mereka yang merasakannya. Dalam proses pencarian manusia dibekali dengan akal, nurani dan agama. Tanpa akal manusia bagaikan hewan yang hanya memainkan kehidupan berdasarkan kebutuhan biologis, tanpa nurani manusia bagaikan binatang buas yang memangsa binatang lemah, tanpa agama manusia bagaikan berjalan di tengah kegelapan tanpa memegang lentera. Apapun yang menjadikanmu bergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah hati seorang pecinta Tuhan lebih besar daripada Singgasana-Nya. . .