Thursday, January 8, 2009

Al-qur’an dan Pemahaman terhadap al-Qur’an

Prolog
Al-qur’an adalah wahyu Ilahi yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Al-qur’an sebagai pedoman bagi umat Islam diyakini telah tertulis dalam bentuk mushhaf, dan bersifat turun-temurun di antara umat Islam. Pun demikian yang terjadi pada pemahaman al-Qur’an. Di sisi lain, al-Qur’an mengandung unsur kebahasaan yang dapat dipahami oleh orang-orang yang memiliki kesamaan bahasa.

Kedua unsur tersebut memunculkan dua metodologi pembahasan yang berbeda. Pertama metodologi bi al-Ma’tsûr. Metodologi pemahaman al-Qur’an yang dititik beratkan berdasarkan pada penukilan-penukilan hadis Nabi Saw, perkataan para Sahabat dan Tabi’in. Kedua metodologi linguistik. Metodologi pemahaman al-Qur’an berdasarkan unsur kebahasaan yang terkandung di dalamnya.

Pada makalah lanjutan ini, penulis akan lebih mengenengahkan kajian tentang tafsir bedasarkan metodologi linguistik. Kajian ini akan penulis bagi menjadi dua unsur utama yaitu

tafsir sosio-linguistik dan tafsir sensibility (isyâry). Sebagai pengantar dari dua pembahasan tersebut, penulis akan menyinggung tentang Hermeneutik sebagai metodologi pembacaan teks yang rame dibicarakan.

Hermeneutik, Takwil dan Tafsir

Konotasi wacana bersifat variatif dan warna-warni. Perkembangan ilmu pengetahuan telah mencapai sebuah gambaran secara umum tentang konotasi wacana. Gambaran yang terdiri dari perkataan, pendengaan, tulisan, rumus, simbol, istilah dan sebagainya. dengan prestise bahwa arti konotasi wacana adalah teks yang tunduk pada kaidah analisa wacana. Maka di sini terjadi pergeseran dari arti konotasi wacana menuju arti konotasi analisis, yang tidak hanya menyempurnakan konotasi wacana, melainkan juga menyempurnakan analisa perkataan, perbuatan dan kaidah-kaidah yang berkaitan dengannya. Wacana tidak hanya terdiri dari kalimat yang terbentuk dari kaidah-kaidah tertentu, akan tetapi juga mencangkup gambaran lafadz dan keterkaitan yang jelas untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Oleh karena itu, wacana tidak hanya menjelaskan tentang teks dan kalimat akan tetapi juga menjelaskan tentang pola pikir dan sudut pandang. Bahkan wacana menjelaskan tentang adanya kesinambungan antara perkataan dan perbuatan yang telah ditetapkan.

Wacana keagamaan tidak lepas dari pembahasan atas perkataan-perkataan dan teks-teks tertulis yang muncul dari institusi agama dan agamawan, atau muncul dari ideologi keagamaan atau teologi. Dengan kata lain, wacana keagamaan muncul dalam bentuk kitab, retorika atau artikel-artikel.

Pada dasarnya arti konotasi wacana tumbuh dalam rana linguistik-semiotik, namun kemudian mengalami pergeseran ke ilmu sosial seperti antropologi, ilmu psikologi, dan politik. Pembahasan tersebut berlandaskan pada kaidah analisa wacana, sehingga berusaha untuk membuka tabir-tabir yang tersimpan dalam teks-teks dan proyeksi pemikiran. Serta menyikap makna-makna yang terkandung di dalam teks.
Analisa wacana melihat pada kalimat baik bersifat verbal maupun dalam bentuk teks yang mencerminkan tingkah laku (perbuatan) masyarakat, dengan kata lain bahwa kalimat adalah bagian dari tingkah laku.

Bagi Paul Ricoeur teks yang tertulis adalah kalimat yang telah sempurna pada waktu penulisannya. Oleh karena itu, maka sesuatu yang berkesesuaian dengan analisa penulisan memiliki kesesuaian dengan analisa teks. Sehingga kalimat menjadi sempurna di antara batasan-batasan masa kini, sementara teks menjadi sempurna pada waktu yang telah berlalu. Dengan kata lain, pengarang menulis pada saat pembaca tidak ada, begitupula sebaliknya. Maka tidak heran kiranya jika teks bergelindang dengan kebebasan, yang menjadikannya tema sebagai upaya dialog dengan teks-teks lain ketika dibaca atau pada saat pengulangan bacaan. Teks dalam konteks ini merupakan kumpulan dalil-dalil, tanda-tanda, makna, bentuk dalam rumus linguistik yang terpancar bebas dan menerima pemahaman, dan penafsiran atau takwil.

Paul Ricoeur membedakan antara proses pemahaman dan pemahaman yang dihasilkan dari proses tersebut. Ricouer membagi teori hermeneutik menjadi tiga bagian, pertama; hermeneutik dan femenologi, kedua; hermeneutik historis-semiotik, dan ketiga; hermeneutik dan ideologi.

Dalam teori femenologinya, Ricoeur memaparkan tiga persoalan utama dalam melakukan penelitian. Pertama; memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan akan keluasan pemakaian bahasa dan bentuk-bentuknya yang tidak mengalami reduksi. Kedua; perhatian atas berbagai macam dan bentuk yang berserakan sebagai permainan pengkisah, sepanjang pertumbuhan kebudayaan yang diwariskan. Terkadang sebuah kisah yang terlalu indah seringkali bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya, atau bahkan bertentangan dengan teori ilmiyah. Seperti persoalan yang terjadi dalam kisah dan kesusastraan yang berhubungan dengan sejarah, atau sejarah itu sendiri. Pada bagian lain, persoalan muncul di antara para penghayal. Penghayal yang menghasilkan drama, dongeng, atau bahkan kisah yang tidak lagi menggunakan keindahan bahasa seperti film dan sinema.

Lebih lanjut Ricoeur menjelaskan bahwa cerita yang mengkisahkan peradaban manusia adalah produk yang bersifat temporal. Setiap kisah terjadi pada masanya, kemudian akan tenggelam oleh peredaran jaman. Meskipun setiap persoalan memiliki batasan-batasan, namun dengan keluasan bahasa baik berupa makna asli ataupun kiasan akan menjadi persoalan yang padat. Ricouer mengategorikan persoalan-persoalan tersebut dalam satu terma yaitu ‘pemprosesan’.

Dengan demikian muncul persoalan ketiga yaitu perhatian atas kemungkinan menghadirkan problematika jaman dan cerita yang mengalami sedikit kerumitan dalam pemprosesan. Yaitu dengan mengadakan penyeleksian terhadap kaidah bahasa, di mana ketika kaidah tersebut tersusun secara rapi akan membentuk ungkapan atau phrase atau dengan kata lain disebut teks. Teks menjelma sebagai bahasa yang memerlukan pembahasan dan menjadi perantara antara fenomena kehidupan masa lalu dengan cerita. Ketika sebuah problematika telah menjadi teks, maka berdasarkan teori di atas, diperlukan pembahasan dalam penggunaan bahasa berdasarkan standarisasinya, tentu saja hal itu memerlukan batasan-batasan, pengaturan dan penafsiran.

Dalam teori hermeneutik historis-semiotiknya, Ricouer mengartikan teks sebagai wacana yang tersimpan dalam bentuk tulisan. Lebih panjang Ricouer memaparkan hubungan antara teks dan kalimat atau perkataan. Kalimat atau ucapan muncul dari sosok yang menyampaikannya, sehingga pada sisi lain teks dalam konteks linguistik adalah implementasi dari kalimat atau ucapan. Realita menyatakan bahwa tulisan menimbulkan intrepretasi atau takwil. Hubungan antara pembaca dan teks bukan berupa hubungan dialegtika, atau tanya-jawab, melainkan bagai penyimak. Berbeda ketika pembaca bertemu dengan pengarang, maka hubungan yang akan terjadi antara mereka adalah hubungan dialektika ataupun tanya-jawab. Di sinilah letak perbedaan antara aktivitas pembacaan dan dialektika.

Dalam teori hermeneutik-ideloginya, Ricouer menghadirkan konsep ilmu sosial. Konsep yang membagi objek kajiannya menjadi dua bagian, pertama; kesadaran hermaneutik, kedua; kesadaran kritik. Ricouer membahas tentang teori hermeneutik-tradition yang di gagas oleh Gadamer yang dikritik oleh J. Harbemas. Pembahasan tersebut adalah kesadaran-historis dan kesadaran untuk mengembalikan kembali asumsi-asumsi dalam bentuk provokatis. Pemahaman teori tersebut terbagi menjadi tiga tingkatan, pertama; hukum terdahulu (awal), kedua; kekuasaan dan yang ketiga; tradisi yang berkembang. Pembahasan tersebut bertitik tolak pada kegagalan eksperimen yang muncul dari kesadaran modern dan keinginan untuk hidup merdeka.

Tafsir Sosio-Linguistik

Al-qur’an mengajak pada rasionalitas agama, dengan kata lain mengajak pada agama yang menjunjung tiggi fungsi akal dalam menyakininya. Berdasarkan pada keyakinan akan adanya Allah dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya baik secara akidah maupun syari’ah.

Disadari atau tidak, al-Qur’an sebagai Kitab suci dan Nabi Muhammad Saw sebagai utusan menjadi keistimewaan tersendiri bagi agama Islam. Istimewa dari agama-agama lain yang menjadikan pengetahuan terhadap agama muncul dari luar fungsi akal.
Kehidupan Nabi Muhammad Saw dan al-Qur’an menjadi tema yang terbuka bagi aktivitas akal. Hubungan antara Nabi Muhammad Saw dan al-Qur’an adalah hubungan keselarasan. Hubungan keseharian bahkan setiap waktu. Al-qur’an tidak hanya memposisikan Nabi Muhammad Saw sebagai utusan akan tetapi juga sebagai manusia yang memiliki kecenderungan dan kebiasaan sebagaimana manusia umumnya. Hal itulah yang mendasari para ulama tempo dulu dalam mengatakan bahwa tiap-tiap ayat dalam al-Qur’an memiliki asbâb al-nuzhûl.

Keyakinan adanya asbâb al-nuzhûl inilah yang pada akhirnya menjadikan beberapa ulama ahli tafsir berusaha untuk terus melakukan kajian berdasarkan konteks sosio masyarakat. Tafsir yang menjadikan masyarakat sebagai tujuan dari pembahasan ayat-ayat Ilahi. Tafsir yang selalu berubah sesuai dengan perubahan dan perkembangan masyarakat.

Selain itu, tafsir sosiologi yang berkembang pada masa kontemporer bertujuan sebagai upaya mempertahankan Islam dari rong-rongan, serta sebagai bukti bahwa al-Qur’an selalu selaras dengan pertumbuhan dan perkembangan jaman. Misalnya tafsir kesusastraan yang dilakukan oleh Amien Khuly, atau tafsir ilmy yang lakukan oleh Syekh Thanthawy dalam kitabnya al-Jawâhir. Alasan yang paling ekstrim adalah, bahwa tafsir terdahulu tidak memiliki landasan ilmiyah berupa eksperimen ilmiyah. Maka bukan sesuatu yang aneh jika dalam penafsiran al-Qur’an dinisbatkan pada bentuk materil.

Ulama ternama dalam tafsir sosiologi adalah Imam Muhammad Abduh. Abduh mengembangkan teorinya dengan berlandaskan pada sepuluh alasan, pertama; penyatuan dan pengkoordiniran makna dalam satu surat. Abduh melakukan penafsiran secara utuh dengan menyatukan ayat-ayat yang memiliki kesesuaian antara satu dan lainnya. Tak heran kiranya, jika Abduh menolak beberapa tafsir terdahulu yang tidak memperhatikan kesesuaian ayat-ayat yang ditafsirkan. Pemahaman terhadap surat-surat al-Qur’an menjadi landasan untuk memahami ayat-ayatnya, dan tema pembahasan menjadi landasan dalam memahami ayat-ayat yang diturunkan.

Kedua; keuniversalan al-Qur’an. Al-qur’an memiliki kandungan makna yang umum dan terus mengalir hingga hari Kiyamat. Keuniversalan itulah yang menentang adanya esklusivitas dalam pemaknaan. Al-qur’an memiliki cangkupan yang luas, ia berkaitan dengan etika, tradisi dan tingkah laku yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Di sinilah pentingnya kembali menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan perkembangan jaman.
Ketiga; posisi al-Qur’an sebagai sumber utama dalam penetapan syari’ah. Sehingga al-Qur’an harus dikedepankan daripada hasil ijtihad yang dilakukan oleh ulama-ulama fikih terdahulu. Hal itu berlandaskan pada kisah Mu’adz yang diutus oleh Rasulullah Saw ke Yaman. Mua’dz bin Jabal mengedepankan al-Qur’an sebagai sumber utama dalam menentukan hukum yang kemudian diikuti oleh Hadis dan Ijtihad.

Keempat; upaya Abduh menentang budaya taklid. Abduh sangat menyayangkan jika umat Islam berkeyakinan bahwa hasil ijtihad para ulama terdahulu telah bersifat final, tanpa melihat kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Bagi Abduh, Islam adalah agama universal sehingga menjadikannya agama yang memiliki keistimewaan di banding dengan agama lain. Islam adalah agama yang tidak memiliki batasan waktu dan ruang gerak. Oleh karena itu, Islam selalu selaras dengan pertumbuhan dan perkembangan yang ada hingga akhir masa.

Kelima; efektivitas pembahasan dan penggunaan pola pandang ilmiyah dalam penelitian dan pengambilan keputusan. Abduh memaparkan, bahwa al-Qur’an sejak awal telah mendorong umat Islam untuk melakukan penelitian dan perenungan terhadap ayat-ayatnya, terutama yang berkaitan dengan ayat penciptaan. Dengan kata lain, al-Qur’an adalah kitab suci yang dibaca sebagai perantara bagi manusia untuk melakukan penelitian dan perenungan.

Keenam; pemaksimalan fungsi akal dalam memahami al-Qur’an. Al-qur’an dan akal adalah bukti utama keberadaan Allah. Al-qur’an sebagai wahyu dan firman Allah bersifat mutlak, sedangkan akal manusia menjadi perantara mencapai kemutlakan. Maka sangatlah aneh jika akal dikatakan bertentangan dengan al-Qur’an.
Ketujuh; meniadakan kalimat yang berlebih-lebihan dalam menyikapi kalimat al-Qur’an yang tertulis secara samar. Abduh menolak penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang berlebihan. Bagi Abduh, pembahasan tersebut hanya menyita waktu dan tidak memiliki manfaat yang signifikan. Lebih lanjut Abduh mengatakan bahwa pola tafsir tesebut dipengaruhi oleh isyrâîliyât yang tidak memiliki kandungan makna ilmiyah.

Kedelapan; kehati-hatian dalam mengadopsi tafsir dari tafsir bi al-ma’tsûr dan cerita isyrâîliyât. Bagi Abduh tafsir bi al-ma’tsûr memiliki kelemahan-kelemahan yang terkadang muncul dari periwayatan yang tidak shahîh. Lebih lanjut Abduh mengatakan, bahwa kelak di hari akhir, manusia tidak akan ditanya tentang pendapat dan pemahaman orang lain, melainkan akan ditanya tentang kitab yang diturunkan-Nya dan tentang hadis yang menjelaskannya. Apakah ayat-ayat tersebut telah disebarkan? Dan apakah ayat-ayat yang ada telah direnungi larangan dan perintahnya?

Kesembilan; perhatian Abduh terhadap tatanan sosio-masyarakat dengan menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman atau petunjuk. Ketika al-Qur’an menyuruh untuk menafkahkan sebagian harta di jalan Allah, maka secara umum berkaitan dengan pendirian lembaga-lembaga amal, rumah sakit, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebangkitan masyarakat. Karena tanpa adanya hal tersebut, masyarakat tidak akan berkembang.
Kesepuluh; Usaha melindungi Islam dari rong-rongan pihak lain, terutama dari pengaruh Barat yang mengatakan bahwa agama adalah komunitas terbelakangan. Komunitas yang tidak memiliki ruh kemajuan.

Melihat alasan-alasan yang dijadikan sandaran tersebut, tak heran kiranya jika M. Abduh menasehati murid-muridnya agar terus membaca al-Qur’an dan memahami kandungan nilai, perintah, larangan, nasehat, dan pelajaran (ibrah) sebagaimana al-Qur’an dibaca pertama kali, oleh orang-orang Islam pada masa-masa awal diturunkannya. Serta menasehati para muridnya untuk berhati-hati dalam melakukan pembacaan terhadap tafsir terdahulu. Bahkan Abduh hanya menyarankan untuk membaca tafsir terdahulu, ketika mengalami kesusahan dalam memahami kaidah-kaidah atau makna ayat. Lantas Abduh menyarankan agar tiap-tiap muridnya membawa dirinya pada kepribadian yang dibentuk oleh al-Qur’an.

Di sinilah bisa dikatakan bahwa Abduh telah membuka kembali penafsiran al-Qur’an dengan bersandarkan pada kekuatan rasa yang sehat dan daya penglihatan. Abduh telah membongkar sistem tradisi penafsiran yang hanya mengekor pada pendahulunya. Selama akal manusia bersih dan sehat, selama manusia masih menikmati indahnya kemampuan daya akalnya yang sehat, maka dia memiliki hak untuk membuka rahasia-rahasia yang tersimpan dalam al-Qur’an tanpa harus menjadi pengekor dari pendahulunya.

Rasyid Ridha sebagai murid dari M. Abduh memiliki metodologi tafsir yang memiliki kesesuaian. Namun Rasyid Ridha lebih bersifat terbuka terutama masalah pembacaan tafsir-tafsir terdahulu. Rasyid Ridha banyak mengutuip tafsir Ibn Katsir dalam metodo tafsirnya.

Tidak jauh berbeda dengan M. Abduh, Sayyid Qutb juga menggunakan analisa sosiologi dalam tafsirnya. Namun Sayyid Quth lebih menekankan pendekatannya pada konteks agamis. Hal itu bisa dilihat ketika Sayyid Quth menyatakan bahwa Islam adalah solusi bagi problematika masyarakat.

Dalam pengantar tafsirnya, Sayyid Quth mengatakan bahwa hidup dalam naungan al-Qur’an sangatlah nikmat. Kenikmatan yang tidak dapat dinikmati kecuali bagi orang-orang yang merasakannya. Kenikmatan yang menyebabkan kehidupan manusia menjadi mulia, terhormat dan suci.

Sayyid Qutb menyakini bahwa tidak ada kemaslahatan di dunia serta kebahagiaan, ketenangan, ketentraman, keberkahan bagi manusia kecuali kembali kepada Allah. Jalan menuju Allah hanya satu yaitu dengan kembali kepada al-Qur’an dan Hadis dengan kekuatan imam.

Al-qur’an telah melakhirkan individu-individu dan masyarakat baru. Al-qur’an sebagai manhaj Ilahi telah mengajak pada produktivitas manusia. Al-qur’an yang turun pada masa Jahiliyah, masa kemunduran, masa yang tidak memiliki arah dan etos kerja. Di sinilah Sayyid Qutb memulai langkah tafsirnya dalam mensinergikan antara al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan realita serta kemajuan masyarakat.

Secara garis besar, metode sosiologi yang dipake oleh para mufassir bertujuan untuk menghidupkan kembali ruh Islam, yang tersirat dalam al-Qur’an. Serta membuktikan bahwa al-Qur’an adalah mu’jizat yang selaras dengan kemajuan dan pertumbuhan jaman.
Al-qur’an adalah wahyu Ilahi yang di sisi lain diturunkan dalam bentuk bahasa Arab. Keberadaan al-Qur’an dengan bahasa Arab itulah yang pada akhirnya memunculkan berbagai bentuk penafsiran. Pada dasarnya tafsir linguistik telah ada pada masa diturunkannya al-Qur’an. Hal itu terjadi ketika para sahabat berusaha menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemampuan bahasa masing-masing.

Namun pada abad ke II H. tafsir meluas ke berbagai disiplin ilmu, sehingga daya tarik untuk mempelajari keindahan seni al-Qur’an mulai terkikis. Pun jika ada kesadaran itu hanya terbatas pada lafadz dan makna. Keterkikisan itu diperkuat dengan adanya keyakinan bahwa al-Qur’an tidak hanya terdiri dari lafadz dan makna, akan tetatpi mencangkup berbagai hal yang berkaitan dengan penglihatan, pendengaran dan daya khayal.

Penulis menilai, pertumbuhan dan perkembangan tafsir hanya akan bisa dilakukan, ketika mengembalikan al-Qur’an sebagai teks yang tersusun dari kaidah-kaidah bahasa Arab. Dengan demikian maka, pemahaman terhadap al-Qur’an akan terus mengalir seiring dengan perkembangan bahasa. Tentu saja dalam konteks ini, penafsiran al-Qur’an akan bersifat esklusif, dengan kata lain hanya akan bisa di pahami oleh orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan berbahasa.

Namun di sisi lain, tujuan dari al-Qur’an adalah menjadi petunjuk dan pedoman bagi yang mempecayainya, sehingga sejauh mana pengaruh al-Qur’an tersebut tergantung pada tujuan dan kemampuan masing-masing. Dalam konteks ini, al-Qur’an bisa dipahami oleh siapa saja yang bertujuan menjadikannya sebagai petunjuk dalam mencari kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Tafsir Isyâry

Al-qur’an adalah kitab suci yang tidak ada duanya, kitab suci yang dianggap syair sekaligus sihir. Kitab suci yang pada akhirnya menjadikan orang yang ingkar menjadi beriman, atau bahkan semakin mengingkarinya. Dalam riwayat dikatakan bahwa Umur bin Khathab ketika mendengar al-Qur’an hatinya bergetar, air matanya mengalir dan akhirnya ia pun meyakini Islam.

Tafsir Isyâry pertama kali muncul pada masa Rasulullah. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Ibn Abbas dan Umar bin Khathab. Mereka menafsirkan surat al-Nasr sebagai pertanda ajal Nabi Muhammad Saw telah dekat.

Tafsir mengalami perkembangan pesat terutama pada masa Abbasiyah. Masing-masing orang melakukan penafsiran berdasarkan minat dan kegemarannya. Ahlu Hadis menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan hadis Nabi Muhammad Saw. Ahlu Kalam menafsirkannya berdasarkan keyakinan mazhab atau alirannya. Para filosof menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan teori filsafatnya , sehingga seringkali mereka melakukan penafsiran yang terkadang tidak nampak dalam alam fisika. Kaum tasawuf menafsirkan al-Qur’an dengan makna bâthiniyyah tanpa peduli dengan makna zhâhiriyyah, sehingga terkesan melupakan asbâb al-nuzûl dan lebih memilih takwil, dengan menafsirkan ayat berdasarkan lafadz dan makna.

Syeikh Imam al-Jauzi mengategorikan tafsir isyâry dengan konsep Qiyas yang dipake para fuqaha dalam menentukan hukum syari’ah. Sejauh mana faliditas tasfir disesuaikan dengan standarisasi Qiyas.

Menurut Imam al-Banna metode terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt adalah dengan menggunakan hati. Ketika membaca al-Qur’an dengan penuh khusyu’ dan diperkuat dengan penghayatan serta pengetahuan tentang sejarah Nabi Muhammad Saw dan al-Qur’an sendiri akan mendatangkan penafsiran yang luar biasa.

Tafsir isyâry yang mengarah pada makna bâthiniyyah diumpamakan dengan perkataan kaum sufi. Tafsir yang terkadang tidak memiliki landasan secara epistemologi dalam makna aslinya. Secara khusus tafsir tersebut dinisbatkan kepada Muhyiddin ibn Araby.
Muhyiddin Ibn Araby dalam mukaddimah tafsirnya mengungkapkan kisah spritualnya sebagaimana yang dialami oleh Umar bin Khattab. Ibn Araby mengisahkan pengalamannya ketika membaca al-Qur’an dengan penuh keimanan. Hatinya bergetar, jiwanya merasa cemas. Kecemasan yang tidak mampu diselesaikan kecuali setelah ia merasakan manisnya perasaan yang ia rasakan. Bagi Ibn Araby, ayat-ayat al-Qur’an pada dasarnya memiliki makna zhâhiriyyah yang disebut dengan tafsir dan bâthiniyyah yang disebut dengan takwil. Selain itu, Ibn Araby mengatakan bahwa pada tiap-tiap ayat al-Qur’an memiliki batasan-batasan dan tangga atau landasan pacu.

Batasan yang dimaksud adalah akhir dari ketidakmampuan seseorang dalam memahami makna yang terkandung di dalamnya. Sedangkan yang dimaksud dengan tangga adalah segala sesuatu yang menuju kepadanya, sehingga dapat menghasilkan penyaksian akan adanya Dzat Maha Diraja.

Ibn Araby mengutip riwayat yang diriwayatkan oleh Ja’far bin Shadiq bahwa Allah Swt menjelma dalam firman-Nya, akan tetapi tidak satupun yang mampu melihat-Nya. Ibn Araby pun meriwayatkan bahwa barangsiapa yang menafsirkan ayat-ayat bâthiniyyah tanpa memperhatikan ayat-ayat zhâhiriyyah dan batasan-batasan yang ada, maka ia telah kufur.

Namun bagi Ibn Araby hal itu tidak berkesesuaian dengan kondisi masing-masing pendengar atau penikmat al-Qur’an. Semakin sering seseorang membaca dan mendengarkan al-Qur’an, maka semakin banyak pintu-pintu baru yang terbuka lebar.

Secara garis besar tafsir isyâry menghendaki adanya pembacaan al-Qur’an dengan berlandaskan pada kesadaran dan kekuatan perasaan dalam memahami makna-makanya yang tersurat dan tersirat. Sepanjang perkembangan tafsir ini, hanya dimiliki dan dialami oleh orang-orang tertentu yang telah mencapai tahapan-tahapan khusus.

Epilog

Al-qur’an selain wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, ia telah menjelma menjadi kumpulan teks bahasa yang memiliki makna luar biasa. Teks yang tidak menemukan padanan sejak ia diturunkan. Teks yang dianggap sebagai kumpulan syair, namun tidak ada satu sastrawanpun yang mampu menandingi keindahannya. Teks yang dikatakan sihir, namun tak satupun ahli sihir yang mampu menyamainya.

Semakin indah susunan kata dalam teks, maka semakin banyak kandungan kata di dalamnya. Teks yang akan terus berkembang dengan adanya pemahaman-pemahaman baru. Teks yang akan terus menghasilkan produktivitas individu dan masyarakat.

Teks akan terus berjalan sepanjang ia dilestarikan dengan makna-makna baru yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan jaman. Kemampuan menyikap makna-makna akan mempengaruhi kekuatan dan pengaruh teks. Hal inilah yang menjadi tema kajian hermeneutik. Dan salah satu landasan tafsir sosiologi, dengan kata lain, kandungan bahasa yang ada dijadikan pijakan dengan akal sebagai alat untuk terus menafsirkan teks. Toh walalupun terkadang tafsir sosiologi terkesan materialis yang kaku dan menganggap bahwa tiap-tiap ayat memiliki asbâb al-nuzûl. Padahal berdasarkan riwayat yang shahîh ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki asbâb al-nuzûl tidak lebih dari 472 ayat dari 6236 ayat atau sekitar 7,5 %.

Pun demikian yang terjadi pada tafsir isyâry. Bahasa menjadi pijakan utama dengan kesadaran dan kekuatan perasaan sebagai media untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Namun pada konteks ini, tafsir terkesan esklusif yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Tentu saja hal itu bertentangan dengan ruh al-Qur’an yang pada dasarnya adalah pedoman bagi tiap-tiap orang yang mengimaninya tanpa ada pengecualian.

Terlepas dari itu semua, pemahaman terhadap al-Qur’an sebagai teks harus selalu diperbaharui dengan pembacaan dan penafsiran yang intensif, tentu saja tanpa mengurangi rasa iman akan kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu yang telah sempurna.
Wallahu a’lam...

Daftar Pustaka:
1. Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Muqaddimah Ibn Khuldûn, ditahqiq oleh Dr., Ali Abdul Wahid Wafi, Maktabah al-Usrah, Kairo, jilid 3, 2006
2. Dr., Ahmad Zayid, Shuwr al-Khithâb al-Dîny al-Mu’âshir, Maktab al-Usrah, Kairo, 2007
3. Paul Ricouer, min al-Nash ilâ al-Fi’l Abhâts al-Ta’wîl, ditrjm., Muhammad Barrad dkk, EIN for Human and Social Studies, Alharam, November, 1986
4. Dr., Muhammad Abid al-Jabiry, Madkhal ilâ al-Qur’ân al-Karîm al-Juz al-Awwal fî al-Ta’rîf bi al-Qur’ân, Markaz Dirâsât al-Wihdah al-’Arabiyyah, Beirut, jilid 1, 2006
5. Al-a’lâmah Sayyid Muhammad Husaien al-Thabâthabâiy, al-Mizân fî Tafsîr al-Qur’ân, Muassasah al-‘Alamy li al-Mathbû’ât, cet., I,1991
6. Jum’ah Amien Abdul Aziz, Silsilah min Turâts al-Imâm al-Bannâ al-Kitâb al-Tsâmin al-Tafsîr, Dâr al-Da’wah, Iskandariyah, cet., I, 2005
7. Dr., Abdullah Mahmud Syahata, al-Imâm Muhammad Abduh Baina al-Manhaj al-Dîny wa al-Manhaj al-Ijmimâ’iy, al-Haiah al-Mishriyah al-‘Âmah li al-Kitâb, Kairo, 2000
8. Al-Sayyid Yusuf, al-Imam Muhammad Abduh râid al-Ijtihâd wa al-Tajdîd fî al-‘Asyr al-Hadîts, Maktabah al-Usrah, Kairo, 2007
9. Sayyid Qutb, fî Zhilâl al-Qur’ân, Dâr al-Syrûq, Beirut, cet. XVII, jilid. I, 1992
10. Sayyid Qutb, al-Tashawur al-fanny fî al-Qur’ân, Dâr al-Syurûq, Beirut, cet. V, 2001
11. Dr. Musthafa Labib Abdul Ghani, Tafsîr al-Fâthihah wa Juz ‘Ammâ li’l Ustâdz al-‘Imâm al-Syêikh Muhammad Abduh, al-Hay’ah al-‘Âmah li Qushûr’l Tsaqâfah, Kairo, al-Dzakhâir 162, 2007
12. Muhyiddin Ibn Araby, Tafsîr Ibn ‘Araby, Dâr Shâdir, Beirut, jilid I


1 Comments:

  • Assalamu'alaikum

    Saya pernah membaca sebuah selebaran yang isinya insyaAllah: "Barang siapa mengartikan Al qur'an dengan logika, maka akan disediakan kursi kelak di neraka Jahannam". Saya lupa dari HR mana di ambil.

    Yang mau saya tanyakan:
    1. Apakah ahl tersebut benar?
    2. Klo benar, tolong carikan HR yang menuatkan pernyataan tersebut.

    Makasih sebelumnya.

    Wassalamu'alaikum

    nb: blsnya di Mastequar@gmai.com aj y? klo bs yang cepet. hehehehe.... ^_^

    By Blogger GLAVANIA, at May 4, 2009 at 4:54 AM  

Post a Comment

<< Home


Kehidupan bagaikan panggung sandiwara, problematika tak ubahnya lakon yang harus diperankan. Manusia adalah aktor dari sandiwara ini, peran nyata harus ia mainkan. Adakalanya peran itu kocak, adakalanya tragis. Hanya mereka yang mampu memainkan peran dengan baik yang akan menjadi aktor utama. Manusia merupakan makhluk yang unik, unik karena manusia memiliki dua dimensi. Pada satu sisi manusia dituntut untuk menjadi individu yang kuat, tegas, pemberani, dan bebas. Namun pada sisi lain manusia dihadapkan pada dimensi sosial yang terkadang bertentangan dengan pribadi. Kekuatan, ketegasan, keberanian dan kebebasan yang bersifat individu sering kali terbatasi oleh kenyataan sosial. Untuk menyatukan keunikan manusia, tiap-tiap individu harus berusaha terus-menerus mendaki, berjalan mencari jati diri. Jati diri adalah kunci utama dalam menentukan peran dan lakon yang harus ia mainkan. Tentu saja pencarian memerlukan proses, semakin panjang proses yang dilakukan maka semakin matang hasil yang akan diperoleh. Ketahuilah bahwa dunia adalah lelucon bagi mereka yang melakukannya, atau tragedi bagi mereka yang merasakannya. Dalam proses pencarian manusia dibekali dengan akal, nurani dan agama. Tanpa akal manusia bagaikan hewan yang hanya memainkan kehidupan berdasarkan kebutuhan biologis, tanpa nurani manusia bagaikan binatang buas yang memangsa binatang lemah, tanpa agama manusia bagaikan berjalan di tengah kegelapan tanpa memegang lentera. Apapun yang menjadikanmu bergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah hati seorang pecinta Tuhan lebih besar daripada Singgasana-Nya. . .