Monday, October 15, 2012

CINTA

Cinta, kata yang begitu mudah diucapkan. Kata yang tak pernah hilang dalam kehidupan manusia. Entah, adakah alat hitung yang mampu menghitung seberapa banyak manusia melafadkan kata cinta. Cinta, begitu orang mengenalnya. Namun, adakah makna Cinta yang dipahami memiliki kesamaan antara satu sama lainnya? 

Cinta seringkali terucap dalam perbincangan sehari-hari, cinta orang tua dan anak, antara guru dan murid, dan tentu saja cinta para pemuda dan pemudi. Cinta yang begitu mudah dilantunkan. Ia hadir dalam berbagai bentuk mengisi ruang-ruang kehidupan manusia. Cinta bagaikan udara yang terhirup secara alami, laksana orang yang menghirup udara di pagi hari. Udara yang tak terlihat secara kasat mata, udara yang hanya bisa dirasakan kehadirannya. Udara yang menghadirkan kesegaran. Udara yang memberikan kenikmatan yang tak terbahasankan bagi penghirupnya. 

Adakah cinta memiliki arti yang sama? Cobalah kita bertanya kepada masing-masing individu, niscaya akan kita temukan berbagai makna atau definisi cinta. Ya, ketika kita dihadapkan pada seorang yang jatuh cinta, atau paling tidak bersinggungan dengan cinta. Tanpa disadari terlantun dari kata-katanya, betapa cinta begitu indah, nikmat, bahagia. Namun ketika kita bertemu dengan seseorang yang kehilangan cintanya, maka ia pun akan mengatakan betapa cinta telah menciptakan kesengsaraan, kesedihan, dan sebagainya. 

Cinta orang tua pada anak akan melahirkan perhatian, kasih sayang, pengorbanan, tanggungjawab. Tak heran kiranya jika pepatah berkata ‘orang tua kaya anak jadi raja, anak kaya orang tua jadi budak’.  Pun demikian cinta seorang guru pada murid. Barangkali disinilah perumpamaan seorang guru dengan sang surya yang senantiasa menyinari dunia mendapatkan kebenarannya.
  
Aneka ragam makna atau definis cinta muncul karena cinta sejatinya tidak memiliki wujud yang utuh atau dalam kata lain bukan berupa benda mati yang bisa dilihat secara kasat mata. Tentu saja  sesuatu yang tidak nampak bukan berarti tiada, karena pada dasarnya sesuatu yang ada berawal dari ketiadaan.  

Cinta berupa rasa yang abstark. Wujud atau kehadiran cinta hanya bisa diketahui melalui tingkah laku, dalam kata lain, cinta melebur ke dalam jiwa manusia, kemudian menghasilkan gerak-gerik atau laku. Gerak-gerik atau laku inilah yang kemudian menjadi petanda wujud cinta. Petanda yang sejatinya hanyalah simbol-simbol unik yang mengandung beribu-ribu makna. Dengan kata lain, cinta hanya bisa dipahami melalui petanda-petanda yang ada. Tidak satupun yang mampu menyentuh cinta tanda menerima kehadiran petanda-petanda yang ada. Di sinilah makna cinta hanya bisa dipahami dengan menghadirkan makna-makna yang memiliki kesesuaian dengan petanda atau simbol. Atau barangkali dengan mengahadirkan makna lain sebagai pebanding bagi makna cinta. Atau dengan menghadirkan makna-makna yang mendekati arti dari makna cinta. Atau pun dengan menyajikan makna-makna yang saling bertentangan.  

Dengan demikian, kata cinta tidak hadir secara lagu, ia memiliki unsur-unsur yang dikemudian hari diyakini sebagai cinta itu sendiri. Oleh karena itu, wujud cinta memiliki fariasi yang tak terbatas. Cinta yang sejatinya melampaui batasan-batasan ruang dan waktu, pada akhirnya harus berpendar dalam tata aturan yang terkonsepkan oleh ruang dan waktu. Karena hanya dengan demikian itulah wujud cinta bisa diterima dan dipahami oleh manusia secara umum. Dengan kata lain, kesiapan tata aturan yang dibangun oleh ruang dan waktu akan mempengaruhi kedalaman pendaran cinta. Pun demikian halnya dengan kesiapan diri manusia dalam menerima kehadiran cinta. Dengan demikian, pemaknaan cinta akan terus mengalir tanpa batas dengan beraneka ragam makna sesuai dengan kesiapan tata aturan dan kemampuan manusia dalam menerima wujud cinta.

Lantas apakah sebenarnya hakekat cinta? Apakah cinta yang selama ini dirasakan oleh manusia adalah cinta itu sendiri? Atau bahkan hanyalah ciri-ciri atau tanda-tanda yang sejatinya tidak menyentuh makna cinta itu sendiri? Atau bahkan cinta memiliki tingkatan-tingkatan yang harus dilalui oleh sang pecinta? Adakah rahasia-rahasia cinta yang masih belum terbongkar?  Adakah cinta sejati? Siapakah para pecinta yang sebenarnya?


3 Comments:

Post a Comment

<< Home


Kehidupan bagaikan panggung sandiwara, problematika tak ubahnya lakon yang harus diperankan. Manusia adalah aktor dari sandiwara ini, peran nyata harus ia mainkan. Adakalanya peran itu kocak, adakalanya tragis. Hanya mereka yang mampu memainkan peran dengan baik yang akan menjadi aktor utama. Manusia merupakan makhluk yang unik, unik karena manusia memiliki dua dimensi. Pada satu sisi manusia dituntut untuk menjadi individu yang kuat, tegas, pemberani, dan bebas. Namun pada sisi lain manusia dihadapkan pada dimensi sosial yang terkadang bertentangan dengan pribadi. Kekuatan, ketegasan, keberanian dan kebebasan yang bersifat individu sering kali terbatasi oleh kenyataan sosial. Untuk menyatukan keunikan manusia, tiap-tiap individu harus berusaha terus-menerus mendaki, berjalan mencari jati diri. Jati diri adalah kunci utama dalam menentukan peran dan lakon yang harus ia mainkan. Tentu saja pencarian memerlukan proses, semakin panjang proses yang dilakukan maka semakin matang hasil yang akan diperoleh. Ketahuilah bahwa dunia adalah lelucon bagi mereka yang melakukannya, atau tragedi bagi mereka yang merasakannya. Dalam proses pencarian manusia dibekali dengan akal, nurani dan agama. Tanpa akal manusia bagaikan hewan yang hanya memainkan kehidupan berdasarkan kebutuhan biologis, tanpa nurani manusia bagaikan binatang buas yang memangsa binatang lemah, tanpa agama manusia bagaikan berjalan di tengah kegelapan tanpa memegang lentera. Apapun yang menjadikanmu bergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah hati seorang pecinta Tuhan lebih besar daripada Singgasana-Nya. . .