Monday, November 26, 2007

Kebebasan Wanita; Paparan Tentang Sejarah dan Realita (Seri 2)

Tinjauan Antropologis
Setiap lingkungan memiliki tradisi dan keyakinan yang mengakar di tengah-tengah masyarakat. Tradisi dan keyakinan tersebut dibentuk berdasarkan keinginan dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karena itu, kajian tentang antropologi merupakan keharusan dalam menilai sejarah secara objektif. Maka tidak lengkap kiranya jika kajian tentang wanita tanpa dilengkapi dengan kajian antropologis yang melatar belakangi adanya pengekangan dan tuntutan kebebasan wanita.

Arab pada abad ke-VI M masih berupa jazirah yang berada di kawasan Timur Tengah. Masyarkat yang berdomisili masih bersifat nomaden. Hal itu dikarenakan kebutuhan akan bahan makanan dan minuman yang menjadi kebutuhan pokok dalam melangsungkan kehidupan, sehingga apabila persediaan makanan telah habis maka mereka harus mencari tempat lain yang masih menyediakan kebutuhan bahan pokok tersebut. Kehidupan nomaden menjadikan watak dan sifat bangsa Arab keras dan kasar. Suasana itulah yang pada akhirnya menjadikan orang-orang Arab lebih bangga memiliki anak laki-laki dari pada wanita. Hak waris hanya diberikan kepada laki-laki, sementara wanita hanya menerima caci-maki yang tidak manusiawi.

Di Mesir, wanita memiliki penghormatan yang luar biasa. Wanita memiliki hak veto dalam memimpin pasukan. Kisah Cleopatra, Arlena Cawis, Nefertiti, menjadi bukti sejarah bahwa wanita di Mesir memiliki kekuatan dan kemampuan untuk memimpin pasukan atau kerajaan. Tercatat dalam sejarah, peristiwa Fir’aun dan bala tentaranya yang tenggelam ketika melakukan pengejaran terhadap nabi Musa. Peristiwa itu menyebabkan keberadaan wanita Mesir lebih banyak dibanding laki-laki sehingga pada waktu itu laki-laki memanggil kaum wanita dengan sebutan
sitti (sayyidatĩ). Bahkan wanita diagungkan dengan menyembah kepadanya. Namun pada masa Turki Utsmani, kebebasan terhadap wanita telah mengalami pengurangan dan pengekangan. Pada masa itu pula muncul berbagai aliran yang menghendaki adanya kebangkitan wanita kembali. Abad XIX merupakan awal bangkitnya kembali wanita Mesir. Diantara para pembaharu yang menghendaki kebangkitan kembali wanita Mesir antara lain; Rifâ’ al-Thahtâwiy dalam bukunya talkhĩsh al-ibrĩz ilâ talkhĩsh bâriz (1834). Dalam buku ini al-Thahtâwiy menuliskan tentang perjalanannya ke Paris dan pada masa-masa berdomisili di sana dalam rangka mencari ilmu pengetahuan. Namun yang paling urgen dari kitab ini adalah pemaparan dia tentang kemajuan dan gaya hidup masyarakat Perancis. Di dalamnya terangkum tentang sistem pemerintahan Perancis, sistem penanganan kesehatan, sistem penerapan hukum atau konstitusional dan sistem pendidikan serta adat-istiadat bangsa Eropa. Kemudian buku manâhij al-albâb al-misriyyah fĩ manâhij al-adab al-Ashriyyah (1870), di dalamnya tertulis arti pentingnya perekonomian masyarakat. Al-thahtâwiy berpendapat bahwa majunya sebuah bangsa bisa ditempuh dengan dua hal yaitu dengan berpegang teguh pada ajaran agama dan perbaikan ekonomi. Kemudia di dalam buku al-mursyid al-amĩn li al-banât wa al-banĩn (1872), al-Thahtâwiy menerangkan bahwa pendidikan harus bersifat universal dengan tidak membedakan antara golongan laki-laki dan wanita. Kaum ibu harus memiliki pendidikan yang sama sehingga diharapkan kaum ibu bisa menemani suami dalam kehidupan intelektual dan dapat mendidik anak-anaknya yang diharapkan dikemudian hari akan menjadi aset bangsa. Selain al-Thahtâwiy, Mesir juga memiliki Ali Mubârak yang dengan gigih memperjuangkan dan menyuarakan kebebasan wanita pada tahun 1823-1893 M. Muhammad Abduh berpendapat bahwa kaum wanita dalam Islam sebenarnya memiliki kedudukan yang tinggi, namun karena pengaruh adat-istiadat masyarakat yang berkembang, akhirnya wanita memiliki nilai rendah di mata masyarakat. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, kebebasan wanita yang disuarakan lebih banyak mengarah pada tuntutan akan hak pendidikan, ekonomi dan politik.

Sementara di Eropa, wanita diperlakukan sebagai mahluk kedua setelah laki-laki. Wanita tidak memiliki hak pendidikan, ekonomi dan politik sebagaimana laki-laki. Di Inggris, wanita dilarang membaca kita suci Perjanjian Lama, hal itu karena dipengaruhi oleh kekuatan Gereja yang menempatkan wanita sebagai sumber kesalahan dan kesesatan. Di Perancis, wanita baru diberi haknya dalam bidang pendidikan pada tahun 1892 walaupun sebelumnya pada tahun 1875 telah ada seorang wanita yang meraih gelar doktor di bidang kedokteran. Berbeda dengan sumber di atas, Ahmad Amin menulis bahwa wanita Barat lebih maju daripada wanita Timur, hal itu karena wanita Barat memiliki kebudayaan jauh lebih luas. Wanita Barat menerapkan metodologi ilmiah dalam mendidik dan mengajar anak-anaknya, sementara wanita Timur lebih mengedepankan metodologi hayalan (baca; khurâfat). Wanita Barat memiliki keberanian dan keteguhan dalam menuntut dan menjalankan hak-haknya, sementara wanita Timur hanya menunggu dan tidak mau tahu tentang hak-haknya. Sehingga wanita Timur selalu hidup dalam kekangan laki-laki.

Tinjauan Teoritis
Berbagai sumber menyebutkan bahwa salah satu penyebab adanya dikotomi antara wanita dan laki-laki karena disebabkan oleh fungsi organ tubuh dan kebutuhan biologis yang tidak sama sejak mereka diciptakan. Masalah biologis, pisikologis, struktur sosial dan sebagainya merupakan tema besar yang sering kali diusung dalam isu-isu feminisme, gender atau kebebasan wanita.

Manusia adalah mahluk biologis yang memiliki keistimewaan lebih dari pada mahluk lainnya. Keistimewaan itulah yang menjadikan manusia terutus sebagai khalifah di muka bumi. Bagi sebagian ilmuan menyatakan bahwa perbedaan unsur-unsur biologis yang terdapat pada tubuh laki-laki dan wanita akan berpengaruh besar terhadap perkembangan emosional dan keintelektualan. Secara garis besar perbedaan laki-laki dan wanita secara emosional bisa digambarkan sebagai berikut:
Laki-laki
- Sangat Agresif
- Independen
- Tidak emosional
- Dapat menyembunyikan emosi
- Lebih Objektif
- Tidak mudah terpengaruh
- Tidak submisif
- Sangat menyukai pengetahuan eksakta
- Tidak mudah goyang terhadap krisis
- Lebih aktif
- Lebih kompetitif
- Lebih logis
- Lebih mendunia
- Lebih terampil berbisnis
- Lebih berterus-terang
-Memahami seluk beluk perkembangan dunia
- Berperasaan tidak mudah tersinggung
- Lebih suka bertualang
- Mudah mengatasi persoalan
- Jarang menangis
-Umumnya selalu tampil sebagai pemimpin
- Penuh rasa percaya diri
- Lebih banyak mendukung sikap agresif
- Lebih ambisi
- Lebih mudah membedakan antara rasa dan rasio
- Lebih merdeka
- Tidak canggung dalam penampilan
- Pemikiran lebih unggul
- Lebih bebas berbicara
Wanita
- Tidak terlalu agresif
- Tidak telalu independen
- Lebih emosional
- Sulit menyembunyikan emosi
- Lebih subjektif
- Mudah terpengaruh
- Lebih submisif
- Kurang menyenangi eksakta
- Mudah goyang menghadapi krisis
- Lebih pasif
- Kurang kompetitif
- Kurang logis
- Berorientasi ke rumah
- Kurang terampil berbisnis
- Kurang berterus-terang
- Kurang memahami seluk-beluk perkembangan dunia
- Berperasaan mudah tersinggung
- Tidak suka bertualang
- Sulit mengatasi persoalan
- Lebih sering menangis
- Tidak umum tampil sebagai pemimpin
- Kurang rasa percaya diri
- Kurang senang terhadap sikap agresif
- Kurang ambisi
- Sulit membedakan antara rasa dan rasio
- Kurang merdeka
- Lebih canggung dalam penampilan
- Pemikiran kurang unggul
- Kurang bebas berbicara
Menurut Sigmund Freud, kenyataan seorang laki-laki mempunyai alat kelamin menonjol yang tidak dimiliki perempuan menimbulkan masalah kecemburuan alat kelamin yang mempunyai implikasi lebih jauh; anak laki-laki merasa superior dan anak perempuan merasa inferior.
Agust Comte (1798-1857 M) yang menyamakan antara teori sosiologi dan biologi menyatakan dengan teori fungsionalismenya bahwa kesatuan dalam masyarakat hanya akan terbentuk ketika elemen-elemen biologis dan sosial yang terdapat pada tubuh organik telah solid. Herbert Spencer (1820-1930 M) yang menjadi penerus teori Comte berusaha membedakan antara konsep “struktur” dan konsep “fungsi” yang terdapat pada organisme masyarakat dan organisme individu. Ia menyatakan;
“Apabila sebuah organisasi terdiri dari serangkaian konstruksi yang menyatu di mana setiap bagian hanya dapat berfungsi melalui cara saling ketergantungan antara satu sama lainnya, maka pemisahan salah satu bagian dari kesatuan organisasinya akan menyebabkan berubahnya fungsi dari bagian-bagian lain secara kelesuruhan”
Sementara Emile Durkheim (1858-1917 M) menyatakan bahwa kelangsungan hidup dalam masyarakat hanya akan bisa diperoleh ketika para elemen masyarakat telah memiliki kesadaran dalam pembagian tugas atau kerja (division of labor).

Dari pembahasan sederhana di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa Adanya perbedaan biologis antara laki-laki dan wanita nyaris tidak mendapatkan pertentangan, namun yang menjadi perselisihan adalah pengaruh atau efek dari perbedaan biologis itu dalam penyikapan perilaku manusia.




Read more!


Kehidupan bagaikan panggung sandiwara, problematika tak ubahnya lakon yang harus diperankan. Manusia adalah aktor dari sandiwara ini, peran nyata harus ia mainkan. Adakalanya peran itu kocak, adakalanya tragis. Hanya mereka yang mampu memainkan peran dengan baik yang akan menjadi aktor utama. Manusia merupakan makhluk yang unik, unik karena manusia memiliki dua dimensi. Pada satu sisi manusia dituntut untuk menjadi individu yang kuat, tegas, pemberani, dan bebas. Namun pada sisi lain manusia dihadapkan pada dimensi sosial yang terkadang bertentangan dengan pribadi. Kekuatan, ketegasan, keberanian dan kebebasan yang bersifat individu sering kali terbatasi oleh kenyataan sosial. Untuk menyatukan keunikan manusia, tiap-tiap individu harus berusaha terus-menerus mendaki, berjalan mencari jati diri. Jati diri adalah kunci utama dalam menentukan peran dan lakon yang harus ia mainkan. Tentu saja pencarian memerlukan proses, semakin panjang proses yang dilakukan maka semakin matang hasil yang akan diperoleh. Ketahuilah bahwa dunia adalah lelucon bagi mereka yang melakukannya, atau tragedi bagi mereka yang merasakannya. Dalam proses pencarian manusia dibekali dengan akal, nurani dan agama. Tanpa akal manusia bagaikan hewan yang hanya memainkan kehidupan berdasarkan kebutuhan biologis, tanpa nurani manusia bagaikan binatang buas yang memangsa binatang lemah, tanpa agama manusia bagaikan berjalan di tengah kegelapan tanpa memegang lentera. Apapun yang menjadikanmu bergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah hati seorang pecinta Tuhan lebih besar daripada Singgasana-Nya. . .